
Dari sakral ke komersial. Dulu punya makna, sekarang cuman estetika? Benarkah demikian? Jika kita hanya melihat produk visualnya saja, bisa jadi kita sepakat dengan pernyataan tersebut. Tapi hal ini harus kita konfirmasi lebih jauh lagi, mulai dari pembuat, produk hingga pembelinya.
Kita mulai berbicara tentang sakralisasi atau ke komersalisasi. Pada sebuah karya seni tradisional Nusantara yang banyak kita lihat pada pusat kerajinan masing-masing daerah.
Pertanyaan sederhana adalah dahulu karya-karya seni tradisional Nusantara itu memiliki makna mendalam. Namun apakah sekarang, hal tersebut tetap memiliki makna atau hanya sekedar mengungkapkan nilai-nilai estetika atau nilai keindahan visual tanpa makna.
Karena setahu saya motif motif tradisional Nusantara. Dulu kalau kita melihat karya-karya dari pengrajinnya dan senimannya membuat karya tradisional itu bukan hanya sekedar anyaman atau sekedar ukiran. Tapi buat mereka berkarya selalu ada yang peruntukannya.
Baca juga: Bolang di Bagas Godang: Ngulik Ornamen Mandailing (Part #01)
Sekedar keindahan visual
Dari sakral ke komersial. Sepengetahuan saya, dulunya, orang membuat karya tradisional untuk kegiatan-kegiatan spiritual bahkan ada yang menganggapnya sakral. Contoh yang jelas adalah masyarakat Bali. Karya yang mereka buat selalu ada kaitannya dengan ritual keagamaan mereka.
Jadi kita sebenarnya nggak boleh main-main dan seenaknya main caplok aja dengan karya masyarakat lokal. Karya mereka itu memiliki makna kejujuran, mengandung filosofi yang sangat dalam loh!
Pertanyaannya sekarang. Apakah saat ini di era teknologi digital dan memasuki era AI (kecerdasan buatan). Karya tradisional yang mereka buat sudah kehilangan makna esensi?
Apakah sudah tidak ada lagi nilai spiritual, filosofi atau sakralitasnya? Sehingga Ornamen, motif atau dekorasi itu hanya sekedar untuk keindahan visual saja!
Bisa jadi karya tradisional saat ini hanya mengejar keindahan visual. Apakah masih ada yang benar-benar merupakan karya yang murni untuk memtradisikan atau melestarikan budaya lokal nenek moyang kita?
Ataukah ini meruapakan peristiwa awal dari sebuah evolusi menuju disruption budaya. Selain bentuk eksploitasi dari karya-karya yang sebelumnya kita temui di pasaran.
Dari Batik hingga Tenun semua punya cerita
Saat ini, terkadang kita tidak mengetahui mana karya lokal yang sakral! beberapa penerapan motif motif yang menurut kita adalah motif sakral, namun sebagian menganggapnya sebagai bentuk hiasan hiasan biasa saja.
Misalkan saja motif batik Parang yang dulunya hanya boleh gunakan oleh keluarga keraton sekarang jadi seragam pegawai dengan berbagai latarbelakang
Bukan berarti saya tidak setuju penggunanya siapa saja, tapi penempatan motif itu sebaiknya sesuai siapa yang menggunakan artinya tidak sembarang.
Menurut saya inilah salah satu cara untuk merawat makna dan filosofi yang diwariskan oleh nenek moyang kita.
Sama saja misalkan motif Dayak itu kan tidak sembarang orang menggunakan, tapi sekarang kita ngelihat penempatan motif dan ragam hiasnya sembarang saja, yang penting indah terlihat.
Motif yang tidak memiliki “roh dan jiwa” jika tidak menempatkannya sesuai motif yang layak akhirnya motif itu kelihatan hambar.
Seperti juga kalau kita ngelihat bagaimana kain songket yang ada di sumatera itu kan yang menggunakan itu memiliki status sosial tertentu bahkan dengan bahan bahan yang sangat pertimbangan.
Tapi sekarang jika anda punya uang itu tidak harus memilik “status tradisi” anda bisa dapat memiliki motif yang lebih bagus tanpa memikirkan, apakah ini punya nilai, sakral atau tidak?
Perubahan Status: Dari Ritual ke Mass Production
Dari sakral ke komersial. Saya Ingin juga mengungkapkan bahwa makna-makna yang terkandung dalam setiap karya tradisional itu sebenarnya yang memiliki makna ritual itu.
Saat ini karena pembuatannya secara secara massal, maka terjadi dilema yang pada satu sisi kita ingin mempertahankan sebuah makna yang ada di dalam, tapi pada satu sisi pembuatannya secara besar-besaran (Massal).
Pengrajin saat ini berbeda dengan saat dulu kalau pengrajin saat dulu mereka membuat untuk kebutuhan tertentu, tapi saat ini yang sifatnya lebih ke massal gitu.
Inilah yang saya katakan bahwa pengaruh dari sebuah kerajinan yang pengerjaannya secara industrialisasi, mau tidak mau akan mempengaruhi terhadap nilai atau ruh yang ada di dalam.
Setiap karya seni orang mengatakan bahwa nilai-nilai estetik itu tetap ada, tapi berbeda ketika nilai seni itu terbuat dari tangan, kemudian pertimbangan fungsi dan siapa yang harus menggunakannya.
Komersialisasi: Kreativitas atau Penghancuran Makna?
Dari sakral ke komersial. Sejak awal artikl ini, saya sudah katakan bahwa komersialisasi dalam bentuk industri sebenarnya tetap mempertahankan kreativitas atau memang penghancuran makna.
ini sebuah dilematis yang harus kita hadapi buat industri industri kerajinan yang “khas dan memiliki filosofi” yang dalam.
Pada satu sisi kita butuh area seni yang murah, tapi pada sisi lain sebenarnya kita sudah “membunuh pemilik sah” karya tradisi tersebut.
“Membunuh” dalam mata tanda petik, membunuh para pengrajin atau seniman seniman di lokal yang memang menghasilkan karya kerajinan yang benar-benar mereka buat untuk kehidupan dan yang memiliki makna makna filosofis
Ketika Pasar Mengontrol Budaya

Realitas yang kita hadapi ketika pasar mengontrol budaya, permintaan pasar yang tinggi membuat motif-motif yang tadinya kita anggap sakral itu kehilangan konteks dan maknanya.
Tentunya tidak bisa kita hindari misalkan keinginan wisatawan atau para pendatang yang menginginkan karya karya mereka.
Hal yang lain adalah motif-motif yang dulu anggap eksklusif atau hanya orang-orang tertentu yang dapat memilikinya skarang dengan bebasnya orang miliki, yang penting punya uang.
Akibatnya ya kita bisa lihat sendiri bagaimana karya-karya yang eksklusif untuk buat oleh para pengrajin lokal sudah tidak kita tidak bisa hanya peruntukannya oleh orang-orang tertentu karena sudah terjual secara bebas.
Brand Lokal & Global: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Dari sakral ke komersial. Kita selalu berbicara tentang bagaimana brand-brand lokal kemudian mengglobal, tapi sebenarnya jika kita ingin bertanya antara brand lokal kemudian diangkat ke Global siapa sih yang bertanggung jawab dalam hal menjaganya, yang selama ini dirawat oleh masyarakat.
Banyak brand-brand itu mengklaim sebagai mereka melestarikan budaya, tapi saya sendiri ya mohon maaf ini secara pribadi saya melihat bahwa hal itu cuma sekedar menjual ketika menjual keindahan atau menjual ragam ragam hias.
Sebenarnya jujur bahwa mereka semuanya mencuri dari hasil karya-karya orang-orang lokal yang sudah berusaha menjaga karya mereka dari dulu hingga saat ini.
Contoh kecil misalkan sebuah batik motif batik yang hanya diperuntukkan oleh orang-orang keraton di jogja atau di solo atau di daerah madura beberapa justru baru dibuat sebagai desain untuk pakaian renang ini mohon maaf apakah ini sebuah apresiasi atau sebuah pelecehan budaya?
Nah inilah yang saya katakan bahwa memang benar kita bagus untuk mengangkat brand-brand lokal menjadi global, tapi harus juga dipertimbangkan bahwa ada yang mengawal.
Dalam arti karya-karya masyarakat setempat tidak diambil begitu saja kemudian dibuat dengan berbagai aplikasi tanpa melihat esensi dari karya tersebut siapa yang menggunakan dimana tempatnya dan bagaimana asal usul dari karya tersebut ini yang harus menjadi pertimbangan buat kita semua.
Generasi Z, Kita Harus Gimana?
Dari sakral ke komersial. Jadi yang perlu perhatian adalah bagaimana anda sebagai Gen Z! Pertama tetaplah menggunakan karya-karya dari masyarakat tradisional atau katakanlah masyarakat lokal, tetapi jangan hilangkan makna dari karya mereka.
Gunakan sebagai dukungan desain modern tetapi dengan memahami maknanya maka anda pun memanfaatkan atau mengaplikasikan motif-motif tersebut secara benar dan secara yang baik.
Bisa Adaptasi, Tapi Jangan Hilangkan Makna
Yang kedua sebagai Gen Z saat ini anda sebenarnya boleh ikut tren berkaitan dengan pengembangan pengembangan karya visual tradional!
Anda perlu belajar, perlu ada pengenalan, serta pembelajaran dari makna-makna yang sudah dibuat sebelumnya. Sehingga makna ini betul betul anda ketahui secara detil apa makna dan filosofi.
Kedepannya, saya menganggap bahwa anda tidak akan mengalami kesulitan ketika anda membuat mengaplikasikannya dalam bentuk bentuk lain.
Edukasi Dulu, Baru Ikut Tren
Ketiga tentunya harus ada usaha yang keras atau usaha yang besar untuk mengenalkan filosofi-filosofi dari motif tradisional. Tugas berat pada pemerintah, tenaga pendidik atau para pemerhati seni motif tradisional untuk mengawalnya.
Karena dengan cara ini, maka pembuat seni ragam motif tradisional tersebut juga akan akan turun turun sesuai dengan apa yang dipelajari oleh generasi sebelumnya.
Dukung Produk yang Menghormati Warisan Budaya
Terakhir, yang paling utama juga adalah bagaimana para produksi secara massal kerajinan ini bekerjasama dengan pengrajin lokal.
Jangan meninggalkan mereka, pemiliki sah hasil tradisi tidak banyak menuntut yang penting dihargai dengan penuh bijak. Perlu kita hargai pembuat konten teks, pengrajinnya atau senimannya
Budaya bukan sekedar tren
Tibalah pada akhir tulisan ini, perkenankan saya ingin mengungkapkan bahwa memang budaya tradisional yang kita miliki itu bukan sekedar tren. Bukan hanya sekedar mengikutin apa yang mnjadi keinginan global serta kamauan pasar.
Tapi budaya itu juga perlu kita rawat dan pertahankan. Budaya perlu kita kawal dengan baik. Motif motif tradisional yang telah ada sejak zaman nenek moyang kita, penting kita jaga kelestariannya tentu dengan cara yang lebih arif dan bijaksana
Karya-karya Tradisional di Nusantara bukan sekedar gambar keren, Ornamen yang unik, Hasil Ragam hias yang eksotik miliki “masyarakat lokal” tidaklah elok jika kita gunakan seenaknya.
Tentu ini ada tradisi, filosofi ada makna yang harus kita hormati bersama. Bukan saja dari karya yang mereka hasil tapi lebih dari, hargailah pembuat sebagai “pemilik sah” karya tradisi
Jadi saya dapat katakan, bahwa ada tantangan besar yang menjadi tanggungjawab kita bersama. Mempertahankan nilai budaya atau membiarkannya menjadi hiasan tanpa arti.
Bukan hanya generasi kita yang semakin tua, tapi Gen Z dan bahkan Gen Alpha yang saat ini banyak berkecimpung di dunia industri kreatif penting memikirkan dan melakoninya secara baik.
Trims buat kamu yang peduli akan tradisi Nusantara.