
“Benang-Benang Ingatan”
Memotret Kerajinan di Sulbar. Langit sore di Mamuju menyambut Reza dengan semburat jingga yang hangat dan memanjakan mata, seolah langit sendiri tengah bercerita—tentang pelaut-pelaut tua yang menantang ombak, tentang nyanyian nelayan yang tak pernah tertuliskan, dan tentang cinta-cinta yang di simpan di balik anyaman kain.
Ia turun dari mobil sewaan dengan langkah pelan, kamera analog tergantung di leher dan buku catatan kecil di tangan.
Angin laut menyapa wajahnya, membawa aroma garam yang menggoda nostalgia.
“Selamat datang di Mandar, Reza,” sapa sopir lokal, Pak Daeng, yang sudah beruban tapi wajahnya masih penuh tawa.
“Hati-hati Mandar, angin sini suka membawa kenangan”
Reza terkekeh, “Kalau begitu, semoga kenangannya manis. Saya kurang suka drama-dramaan.”
Pak Daeng tertawa keras. “Wah, di sini, Bos banyak drama, bahkan angin pun bisa bikin orang baper.”
Memotret Kerajinan di Sulbar. Perjalanan dari Mamuju menuju Polewali Mandar memakan waktu kurang labih empat jam lebih tiga puluh menit. Di sepanjang jalan, Reza melihat rumah-rumah panggung rumah Adat Boyang Khas di Sulawesi Barat berdiri anggun di tengah hamparan sawah, anak-anak berlari sambil menggiring layangan, dan para ibu duduk di teras sambil ngerumpi atau sekedar momong anak.
Baca juga : Jejak Tangan Di Atas Kain: Seni Kerajinan Sulawesi Selatan
Penyihir benang
Ia membuka catatannya dan membaca ulang: Ibu Mariani—penenun legendaris. Kain tenunnya orang Mandar menyebutnya Lipa’ Saqbe Mandar tidak hanya indah, tapi percaya membawa makna. Beberapa orang menyebutnya penyihir benang.
“Penyihir benang, ya…” gumam Reza. “Entah itu pujian atau warning.”
Sesampainya di rumah Ibu Mariani, mata Reza langsung tertuju pada halaman depan yang penuh dengan jemuran kain tenun warna-warni, seperti pelangi yang sedang istirahat.
Seorang perempuan tua berdiri di tengahnya, dengan rambut perak di gulung rapi dan tatapan mata tajam seperti bisa membaca isi hati orang.
“Assalamu’alaikum,” sapa Reza sopan.
“Wa’alaikumussalam. Kau yang dari Jakarta itu?” tanya si nenek, tanpa senyum, hanya menaikkan alis.
“Betul, Bu. Nama saya Reza. Saya…”
“Wartawan? Penulis? Atau mau belajar tenun supaya bisa buka butik di ibu kota?”
Memotret Kerajinan di Sulbar. Reza terdiam, agak salah tingkah. “Ehm, lebih ke penulis dokumenter. Saya ingin menulis tentang ibu. Karya-karya ibu. Dan budaya di sini.”
Cuci kakimu
“Hm,” Ibu Mariani meliriknya dari ujung kaki sampai ujung kepala. “Kau bisa cuci kaki dulu sebelum masuk. Di sini banyak debu kenangan, takutnya nempel ke sepatu dan kau bawa kota Jakarta yang katanya suka Banjir”
Reza tak bisa menahan tawa kecilnya. “Siap, Bu. Saya akan cuci kaki dan hati saya, bar bersih dan nyaman ketika kita diskusi”
Begitu masuk ke dalam rumah panggung itu, Reza langsung merasa seperti melangkah ke dunia lain.
Ruangan itu penuh dengan kain tenun, gulungan benang, dan alat tenun kayu kuno. Bau kayu tua bercampur dengan aroma rempah yang entah dari mana datangnya.
Di pojok ruangan, seekor kucing berwarna coklat keabu-abuan tidur di atas tumpukan kain, seolah dia penjaga warisan budaya.
Ibu Mariani mulai menenun tanpa berkata apa-apa. Suara tek-tek-tek alat tenun menjadi latar belakang pembicaraan mereka.
“Sudah lama Ibu menenun?” tanya Reza, membuka percakapan.
“Nenekku menenun. Ibuku menenun. Aku lahir di atas kain tenun, mungkin. Dulu, waktu bayi, aku di tidurkan di atas kain sarung buatan ibuku. Sekarang? Aku menenun waktu, Nak. Biar masa lalu nggak hilang begitu saja.”
Jangan nanya yang biasa!
Reza mencatat cepat. “Menarik. Jadi setiap motif punya makna?”
“Jangan tanya itu,” sahut Ibu Mariani dengan lookat Mandarnya sambil memelotot, “Kalau setiap wartawan nanya hal yang sama, nanti motifnya bosan jelaskan.”
Reza tersenyum kecut. “Maaf, Bu. Saya coba tanya yang beda deh. Misalnya… kenapa kain tenun ini berwarna biru, kuning, dan merah muda? Apakah itu simbol…”
“Itu karena benangnya yang tersedia cuma itu waktu itu. Jangan terlalu puitis, Nak. Kadang warna ya cuma warna.”
Keduanya tertawa. Reza merasa mulai nyaman. Ibu Mariani memang keras, tapi lucu juga dan jujurnya, menyenangkan. Memotret Kerajinan di Sulbar.
Kain bikin catuh cinta
Hari mulai gelap. Ibu Mariani menawarkan teh dan kue cucur, dan di teras mereka mengobrol lebih santai. Reza membuka-buka beberapa kain sambil terus bertanya tentang cerita di baliknya.
“Ada kain yang katanya bikin orang jatuh cinta kalau dipakai?” tanya Reza penasaran.
“Ah, itu mitos,” jawab Ibu Mariani sambil tersenyum nakal. “Tapi, ada satu yang pernah dipakai cucuku waktu dia naksir anak kepala desa. Tiga hari kemudian, anak itu ngajak nikah. Jadi ya… mitos yang lumayan berguna.”
“Kalau saya pakai, bisa nggak bikin mantan saya menyesal?” goda Reza.
Ibu Mariani tertawa terbahak. “Bisa, asal mantannya masih hidup dan punya akun Instagram. Pakai itu, terus upload selfie. Biar nyesek.”
Malam itu, Reza menginap di rumah kecil sewaan dekat rumah Ibu Mariani. Tapi pikirannya masih penuh dengan cerita-cerita yang baru ia dengar.
Ia menulis dengan cepat di buku catatannya, menyalin suara-suara yang seolah masih bergema: suara tenun, suara tawa, dan suara angin yang entah mengapa malam itu terdengar seperti nyanyian lama.
Kena sihir Mandar
Besoknya, Reza berniat meliput proses pembuatan pewarna alami. Tapi sebelum berangkat, Pak Daeng mampir dan menawarkannya kopi.
“Sudah mulai jatuh cinta sama tempat ini?” tanya Pak Daeng sambil menyeruput kopinya.
“Sudah sejak anginnya bilang ‘selamat datang’,” jawab Reza. “Dan sejak saya sadar, bahkan kain bisa menyimpan kenangan lebih kuat dari memori digital.”
Pak Daeng mengangguk. “Nah, berarti kamu sudah resmi ‘kena sihir Mandar’. Selamat.”
Reza hanya bisa tersenyum. Di lehernya, kamera tergantung, siap menangkap dunia.
Tapi dalam hatinya, ia tahu—cerita terbaik kadang tidak terlihat lensa. Ia harus ditenun perlahan, dengan sabar, seperti kain yang dirajut tangan-tangan bijak.
Sandeq dan Laut yang Cemburu
Pagi-pagi benar, Reza sudah duduk di atas perahu kecil bermotor tempel, melaju pelan membelah laut tenang yang memantulkan langit seperti cermin.
Di kejauhan, garis pantai terlihat samar, seolah dijahit oleh benang tipis antara laut dan daratan. Suara mesin perahu menderu, tapi tetap tidak bisa menutupi detak kagum di dada Reza.
“Desa nelayan itu di balik tanjung sana,” ujar Pak Daeng yang kali ini bertugas jadi juru arah. “Kau akan bertemu Aco, pembuat miniatur Sandeq yang katanya bisa bicara lebih lancar sama kayu daripada manusia.”
“Wah, cocok itu. Kamera saya juga sering merasa lebih nyambung sama pemandangan daripada orang-orang,” jawab Reza, tertawa kecil.
Begitu sampai di pantai kecil berpasir putih, Reza disambut oleh seorang pria kurus berkulit legam, mengenakan kaus lusuh dan celana pendek, duduk bersila di bawah pohon kelapa.
Di depannya, potongan kayu kecil, lem, dan pisau ukir berserakan. Sebuah miniatur perahu Sandeq, ramping dan cantik, hampir selesai dirakit.
Aco menengok, menyipitkan mata melihat Reza.
“Kamu bawa kamera?” sapa Aco sambil menunjuk kamera analog di leher Reza. “Hati-hati, laut bisa cemburu. Nanti ombaknya jadi bergelombang gaya.”
Sandeq itu bukan cuma kapal
Reza tertawa geli. “Wah, kalau ombaknya mulai nge-dance, saya akan bilang itu karena kamu terlalu keren bikin Sandeq.”
Aco tertawa lebih keras. “Wah, bisa juga kamu. Jarang-jarang turis bales becanda. Biasanya langsung nanya ‘toilet di mana?’ atau ‘sinyal ada gak?’”
Mereka duduk bersama di atas tikar pandan, di bawah rindang pohon. Reza menyalakan alat perekam suara sambil tetap membuka bukunya, mencatat setiap detail.
Aco mengambil potongan kayu kecil dan mulai menghaluskannya dengan sabut kelapa.
“Orang-orang kota suka lihat Sandeq di festival, ya? Wah, kapal kecil ramping lari kencang di laut. Tapi mereka lupa… Sandeq itu bukan cuma kapal. Dia itu jiwa.”
“Jiwa?” tanya Reza, penasaran.
“Iya. Sandeq itu hidup. Dia diajarkan arah. Dikenalkan pada angin, dikenalkan pada laut. Bukan cuma dipaku dan dilem, tapi didoakan.”
Sejak jaman leluhur
Reza terdiam, menatap miniatur Sandeq yang sekarang tampak semakin hidup di bawah tangan Aco.
“Dulu,” lanjut Aco sambil berhenti sebentar untuk meniup serpihan kayu, “leluhur kami pakai Sandeq untuk berlayar jauh. Ada yang ke Kalimantan, ada yang ke Filipina. Hanya dengan angin dan doa. Tapi bukan itu yang bikin dia hebat. Yang hebat adalah… Sandeq selalu kembali.”
“Seperti rumah?” tanya Reza.
“Lebih dari rumah,” jawab Aco. “Dia penunjuk arah. Kalau kau bingung, naik Sandeq. Angin akan tunjukkan.”
Suara ombak mengalun pelan, menyatu dengan tawa anak-anak yang bermain di tepi pantai. Seekor anjing lokal menggonggong santai sambil mengejar kepiting, dan burung camar sesekali melintas, menambahkan sentuhan harmoni yang tak bisa ditulis di partitur manapun.
“Lalu kenapa kau membuat miniatur Sandeq?” tanya Reza sambil mengambil satu yang sudah selesai.
“Karena zaman sekarang orang lupa ukuran besar. Mereka sibuk mengecilkan segalanya. Ukuran data. jumlah memori. Ukuran cinta. Nah, aku kecilkan Sandeq, tapi tetap kupertahankan jiwanya. Biar orang bisa bawa pulang laut dalam tasnya.”
Bukan untuk penghargaan
Reza tersenyum, menuliskan cepat kata-kata Aco—penuh filosofi dan kehangatan. Tapi Aco tiba-tiba melirik dan menyenggolnya.
“Eh, jangan ditulis semua. Nanti kamu dapat penghargaan, saya tetap di sini jual miniatur. Nggak adil dong.”
Reza tertawa lepas. “Tenang, kalau saya dapat penghargaan, saya balik ke sini bawa kopi dan kamera baru.”
“Lebih baik bawa bensin. Di sini yang mahal bukan prestasi, tapi solar,” balas Aco sambil tertawa juga.
Setelah beberapa jam mengobrol, Reza ikut membantu Aco mengamplas bagian layar miniatur perahu. Tangannya kotor, tapi ada rasa puas yang sulit dijelaskan. Seakan ia sedang menenun cerita, seperti Ibu Mariani, tapi kali ini dengan kayu dan angin.
“Sandeq itu juga simbol perjuangan,” kata Aco tiba-tiba, kali ini nadanya lebih dalam. “Dulu, waktu laut masih liar dan orang-orang belum punya mesin, perahu ini jadi harapan. Kalau angin tenang, mereka harus sabar. Kalau angin kencang, mereka harus berani. Mirip hidup, kan?”
Reza mengangguk, terpesona. “Jadi kamu pernah naik Sandeq?”
Aco tersenyum samar. “Pernah. Sekali. Waktu ayahku masih hidup. Kami berlayar tiga hari dua malam. Dia bilang, ‘kalau kau bisa tidur di tengah ombak dan bangun tetap tahu ke mana arahmu, berarti kamu sudah jadi lelaki Mandar.’”
Reza memejamkan mata sejenak, membayangkan dirinya di atas Sandeq, hanya dengan layar, bintang, dan napas laut sebagai penunjuk arah. Dunia yang sunyi tapi penuh makna.
Kamu butuh bukan arah, tapi diam sebentar
Hari mulai beranjak sore. Reza mengambil beberapa foto Aco bersama miniatur-miniatur perahunya, lalu menyalakan alat perekam untuk terakhir kalinya.
“Apa pesanmu buat orang-orang yang membaca tulisanku nanti?” tanya Reza.
Aco menatap laut yang kini berkilau keemasan. “Tulis begini: Kalau hidupmu tersesat, jangan buru-buru cari jalan pulang. Duduklah dulu. Dengarkan angin. Kadang yang kamu butuh bukan arah, tapi diam sebentar.”
Mereka tertawa lagi, tapi kali ini ada rasa damai dalam tawa itu, seperti Sandeq yang akhirnya bersandar di pantai setelah perjalanan jauh.
Reza kembali ke penginapan malam itu dengan langkah lebih ringan. Buku catatannya penuh, pikirannya mengembara. Ia merasa cerita ini mulai menenun dirinya sendiri, helai demi helai. Seperti kain Ibu Mariani. Seperti layar Sandeq Aco.
Dan ia tahu, cerita ini belum selesai. Masih banyak arah yang belum dituju.
“Benang Lama, Pola Baru”
Matahari mulai condong ke barat saat Reza tiba di rumah Rina, sebuah bangunan sederhana dengan sentuhan modern.
Atap seng dipadu dengan dinding bambu beranyaman halus, dan halaman kecil dipenuhi tanaman hias dalam pot dari anyaman serat kelapa.
Di teras, benang-benang berwarna cerah tergantung di tali jemuran, tampak seperti pelangi yang sedang istirahat sejenak.
Rina muncul dari dalam rumah, membawa secangkir es kopi dan senyum hangat. Ia mengenakan atasan linen putih dan celana kulot dari tenun yang sudah dimodifikasi, tampak nyaman sekaligus bergaya.
“Kamu Reza, ya? Yang katanya disuruh laut untuk nulis cerita,” sapa Rina sambil menyodorkan kopi.
Reza tertawa. “Iya. Katanya juga harus hati-hati karena kamera saya bisa bikin ombak cemburu.”
“Wah, kamu sudah ketemu Aco, ya?” Rina mengangguk paham. “Dia memang penyair yang nyasar jadi tukang kayu.”
Mereka duduk di teras. Di sebelah mereka, sebuah alat tenun berdiri, tapi bukan seperti yang Reza lihat di rumah Ibu Mariani. Ini lebih kecil, dilengkapi bagian logam, dan benangnya lebih beragam—dari kapas alami sampai benang daur ulang warna neon.
“Ini hasil eksperimenku,” kata Rina sambil menunjuk alat itu. “Aku coba gabungkan teknik tenun Mandar dengan pola-pola kontemporer. Kadang jadi tas, kadang jadi jaket. Kalau mood-nya bagus, bisa juga jadi lampu gantung.”
Reza mengangguk-angguk, mencatat cepat. “Keren banget. Tapi… ini pasti sempat bikin kontroversi, ya?”
Rina hanya tertawa pelan, tapi di balik tawanya, Reza menangkap bayangan kelelahan.
“Ibu Mariani sempat nggak bicara denganku seminggu. Katanya aku ‘merusak roh tenun.’”
“Wah. Lalu sekarang?”
Hadir sebagai penyeimbang
Rina mengangkat bahu. “Masih suka nyeletuk pedas sih, tapi setidaknya sekarang beliau mau mampir ke sini, kalau cuma buat nyicip kue.”
Beberapa menit kemudian, seakan dipanggil semesta, Ibu Mariani muncul di halaman rumah. Dengan langkah tenang, beliau masuk tanpa salam, seperti seseorang yang sudah terlalu lama akrab dengan tempat ini untuk basa-basi.
“Masih main-main dengan benang, Rina?” tanya Ibu Mariani sambil melihat alat tenun kecil itu.
“Bukan main-main, Bu. Ini eksperimen seni,” jawab Rina, setengah santai, setengah siaga.
“Benang bukan bahan percobaan. Dia menyimpan doa, ingat itu,” kata Ibu Mariani, lalu duduk tanpa diminta.
Reza terdiam, tapi matanya berbinar. Ia merasa seperti sedang menyaksikan duel dua samurai, bukan dengan pedang, tapi dengan kata-kata dan pandangan hidup.
“Tapi kalau doa itu disampaikan dengan cara yang lebih banyak orang paham, bukankah dia bisa sampai lebih jauh?” balas Rina lembut.
“Lebih jauh ke mana? Ke mall? Ke Instagram?” Ibu Mariani mendengus. “Tradisi itu bukan konten. Dia napas. Kalau terlalu banyak diubah, dia bisa sesak.”
Rina menahan napas sejenak, lalu mengeluarkan sesuatu dari rak. Sebuah potongan anyaman tas, dengan motif geometris warna biru dan merah tua.
“Ibu kenal motif ini?”
Ibu Mariani memicingkan mata. “Itu motif tappere’.”
“Betul. Aku sisipkan motif Mandar ini ke desain tas modernku. Ini dijual di galeri desain di Makassar. Setiap pembeli dapat kartu cerita tentang asal motifnya. Bahkan ada QR code yang ngarah ke video tenun Mandar. Bukankah itu cara baru menjaga, Bu?”
Menyimpan nafas nenk moyang
Ibu Mariani tak langsung menjawab. Matanya menatap anyaman itu lama sekali, seolah mencari apakah benangnya masih menyimpan napas nenek moyang.
Reza nyaris tak bernapas. Ini bukan sekadar perdebatan teknik. Ini pertemuan dua generasi, dua cara mencintai hal yang sama: warisan!
Akhirnya, Ibu Mariani meletakkan potongan anyaman itu dengan hati-hati di pangkuannya.
“Kau tahu, waktu aku masih kecil, ibuku pernah menenun motif yang tak pernah diajarkan siapa-siapa. Katanya itu motif ‘cinta pertama.’ Tapi karena tak ada yang meneruskan, motif itu hilang. Kalau kau bisa simpan satu saja motif dan membuat orang lain mengenalnya lagi… ya, mungkin memang ada banyak cara menjaga.”
Rina tersenyum kecil. “Jadi… damai, Bu?”
“Damai itu tenun juga, Rina. Benangnya bisa kusut dulu.”
Reza akhirnya bisa bernapas lega. Ia menulis cepat—momen-momen kecil yang terasa besar. Tak ada tepuk tangan, tak ada pelukan dramatis. Tapi di antara mereka, ada benang pengertian yang mulai terjalin.
motif ‘cinta pertama’ yang hilang itu
Malam itu, ketiganya makan malam sederhana di rumah Rina. Ikan bakar, sambal mangga, dan nasi hangat. Mereka berbicara tentang kain, laut, dan kadang tentang hal-hal konyol—seperti Aco yang pernah mencoba menenun dan hasilnya malah jadi jaring ikan bolong.
Di akhir makan, Ibu Mariani berkata pelan, “Mungkin suatu hari, aku mau kau ajari alat kecilmu itu, Rina. Tapi jangan sampai kau ajarkan dia lupa pada alat besar.”
Rina tertawa. “Deal. Tapi Ibu juga harus ajari aku motif ‘cinta pertama’ yang hilang itu.”
Ibu Mariani hanya tersenyum, tapi kali ini senyumnya tidak pelit.
Reza duduk bersandar di kursi, memandang dua perempuan dari generasi berbeda yang akhirnya menemukan nada yang selaras. Ia tahu—di tangan mereka, benang-benang lama akan terus hidup. Bukan hanya dengan menjaga, tapi juga dengan mengembangkan.
Dan tugasnya sebagai penulis? Menenun kisah ini ke dalam kata-kata, agar dunia tahu bahwa warisan budaya bukan museum yang membeku, tapi taman yang tumbuh—asal disirami dengan cinta dan saling pengertian.
“Festival Laut, Benang, dan Tawa”
Hari itu, laut tampak tenang seperti sedang ikut menahan napas. Langit Sulawesi Barat membentang biru lembut, dihiasi awan tipis yang bergerak perlahan, seolah alam pun tengah bersiap menyambut sesuatu yang istimewa.
Di sepanjang garis pantai kecil desa itu, bendera kain warna-warni berkibar, dipasang dengan tali dari serat kelapa dan tiang bambu. Anak-anak berlari kesana-kemari sambil menggenggam miniatur perahu Sandeq buatan tangan.
Festival kecil itu diberi nama sederhana: “Benang Laut Mandar.” Gagasannya datang dari tiga orang yang dulu nyaris tak mungkin duduk satu meja: Rina si pembaru, Aco si seniman laut, dan Ibu Mariani si penjaga warisan.
Tapi pagi ini, ketiganya berdiri berdampingan, menyambut warga dan tamu yang mulai berdatangan.
“Astaga, aku lupa naskah pembukaan!” Aco tiba-tiba panik sambil mengacak rambutnya sendiri. “Tapi tenang… MC hebat selalu bisa improvisasi!”
“Kalau nggak bisa juga, pura-pura kesurupan laut aja,” celetuk Rina, tertawa.
“Jangan-jangan malah kesurupan kamera Reza,” timpal Ibu Mariani dengan nada datar tapi penuh senyum tersembunyi.
Reza yang sedang mengatur tripod hanya mengangkat tangan. “Saya tidak ikut-ikutan dunia persurupan, ya. Saya hanya menangkap momen, bukan makhluk halus.”
Tawa meledak. Suasana cair. Tapi di balik itu, semua tahu: festival ini bukan sekadar acara seni biasa. Ini adalah ujian. Apakah tenun dan anyaman bisa menarik minat generasi muda?
Apakah perahu Sandeq yang dulu dipakai berlayar antar pulau, masih bisa ‘berlayar’ di hati orang-orang hari ini?
Festival dimulai dengan pembukaan dari Aco. Berdiri di atas panggung kecil dari kayu kelapa yang baru dipaku pagi tadi, ia berteriak lantang:
“Assalamu’alaikum, saudara-saudaraku dari darat dan laut!”
Orang-orang bersorak. Bahkan seekor ayam kampung ikut berkokok dari balik warung gorengan.
“Kalau kalian heran kenapa saya pakai sarung dan topi nelayan… itu karena saya MC multifungsi. Bisa tampil, bisa jualan ikan!”
Festival Benang Laut Mandar
Tawa menggema di antara hadirin.
“Selamat datang di Festival Benang Laut Mandar! Di sini, kita tidak hanya melihat, tapi juga menyentuh, mencium aroma laut dan benang, mendengar kisah yang disulam dan diikat sejak ratusan tahun lalu!”
Di balik panggung, Rina mengatur stan kecil berisi karya-karyanya: tas dengan motif Mandar, sandal tenun, bahkan sebuah gaun dari limbah kain yang memikat perhatian ibu-ibu muda.
Sementara itu, Ibu Mariani duduk di bagian tenun tradisional, dikelilingi oleh anak-anak lokal yang belajar mewarnai benang dengan pewarna alami. Ia mengajari dengan kesabaran seorang guru yang akhirnya percaya bahwa ilmunya memang patut dibagikan, bukan disimpan.
“Ini bukan hanya warna merah,” kata Ibu Mariani sambil menunjuk benang yang direndam dalam rebusan kulit kayu. “Ini warna darah nenekmu waktu dia potong jari karena tertusuk jarum tenun. Jangan anggap enteng!”
Anak-anak tertawa geli. Tapi mereka mencatat. Dalam kepala, dan dalam hati.
Perahu ini tidak akan ke mana-mana
Reza sibuk mondar-mandir, merekam momen dengan kameranya. Ia menangkap gambar Rina tertawa bersama para remaja yang membuat gantungan kunci dari anyaman mini. Ia merekam tangan Ibu Mariani yang tak goyah meski usia sudah lanjut.
Ia menangkap tawa Aco, dan cahaya mata orang-orang yang biasanya hanya melihat laut sebagai tempat mencari makan, kini melihatnya sebagai panggung kebanggaan.
Salah satu puncak acara adalah pameran miniatur Sandeq buatan Aco. Tapi kali ini, Aco membawa sesuatu yang lebih besar dari biasanya—sebuah replika perahu Sandeq setinggi pinggang orang dewasa.
Badannya ramping, halus, dan di atasnya, terbentang kain tenun Mandar sebagai layar simbolis. Layar itu berwarna merah biru dengan motif balunna, simbol arah dan harapan.
“Perahu ini tidak akan ke mana-mana,” kata Aco saat memperkenalkannya, “tapi dia bisa mengantar ingatan kalian jauh, ke masa lalu, dan mungkin… ke masa depan.”
Orang-orang mengelilingi perahu itu. Beberapa anak menyentuh layarnya dengan hati-hati, seperti menyentuh bendera negaranya sendiri.
Bisa jadi festival tahunan
Tiba-tiba, seorang pria asing berdasi, dengan papan nama di dada bertuliskan “Agus – Dinas Pariwisata Provinsi,” datang bersama dua staf. Ia mengangguk-angguk melihat-lihat karya.
“Wah, menarik ini. Mungkinkah kita angkat ke level provinsi,” katanya kepada Reza. “Bisa jadi festival tahunan. Bisa juga kita datangkan sponsor, bawa ke Jakarta.”
Reza menoleh. “Festival ini masih baru. Kecil. Tapi lahir dari banyak cinta dan perdebatan panjang. Jangan buru-buru dijadikan brosur wisata.”
Pak Agus tertawa, “Santai saja, Mas. Kita hanya bantu… promosi budaya lokal. Kita jaga bareng.”
Tapi saat dia melangkah pergi, Reza tak yakin: apakah ‘promosi’ itu akan tetap menjaga makna, atau justru menggerusnya?
Menjelang malam, cahaya jingga kembali melukis langit. Warga duduk bersama, menonton layar tancap yang menampilkan dokumenter singkat buatan Reza tentang proses tenun, anyaman, dan pembuatan Sandeq. Suara Aco narasi latarnya, penuh humor dan sentuhan puitis.
Rina duduk di sebelah Reza, menyodorkan pisang goreng.
“Capek?” tanyanya.
Reza mengangguk. “Capek yang bikin ketagihan.” Mereka tertawa.
Dari kejauhan, Ibu Mariani berdiri di depan perahu Sandeq mini. Ia menyentuh layarnya pelan. Matanya tampak berkaca, tapi wajahnya tenang.
“Lihat itu,” kata Rina, “Ibu Mariani tidak menangis saat ibunya meninggal. Tapi tadi… dia hampir menangis karena layar itu.”
Reza mengarahkan kameranya sekali lagi. Tapi kali ini, ia tak menekan tombol. Ia hanya ingin mengingatnya—dengan mata, dengan hati.
Festival kecil itu mungkin hanya sehari. Tapi bagi mereka, ini adalah hari yang menandai sesuatu. Perubahan. Harapan. Dan benang-benang baru yang mulai terjalin di antara generasi.
“Benang Terakhir, Ombak Pertama”
Senja terakhir Reza di Mandar datang dengan langkah pelan.
Matahari menurun seperti mata tua yang lelah tapi bahagia, dan langit menjelma jadi kanvas jingga keemasan.
Ombak bergulung lembut di bibir pantai, seperti suara ibu yang sedang menidurkan anaknya. Di kejauhan, perahu nelayan satu per satu kembali ke darat, siluetnya melintas pelan, anggun dan abadi.
Reza duduk di atas batu datar di tepi pantai, sendirian. Kamera sudah ia kemas. Buku catatan sudah penuh halaman. Tapi ada satu hal yang belum ia rekam: dirinya sendiri.
Ia mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi rekaman suara, dan menekan tombol merah.
Suara ombak masuk lebih dulu. Angin laut menyapa mikrofon dengan bisikan khasnya. Lalu suara Reza, tenang dan jernih, mengisi ruang sunyi itu.
“Jurnal suara. Mandar, hari keempat belas.
Hari ini aku tidak lagi merasa seperti orang luar.
Mungkin karena aku tak lagi sibuk mencari cerita. Aku hanya duduk… dan cerita itu datang sendiri.
Di festival kemarin, aku melihat tangan-tangan tua dan muda bekerja bersama.
Mereka bukan hanya membuat kerajinan, mereka sedang merajut waktu, menganyam laut, dan menenun ingatan.
Setiap simpul benang, setiap lengkung kayu Sandeq, menyimpan lebih dari teknik. Ada rindu, ada harap, dan ada amarah yang pelan-pelan dijahit jadi bentuk baru.
Aku datang ke sini untuk menulis. Tapi aku pulang dengan sesuatu yang lebih:
keyakinan bahwa budaya akan terus hidup…
selama masih ada yang menceritakan, dan menjaganya.
Dan… menjaga tak selalu berarti memagarinya. Kadang, menjaga adalah melepaskannya tumbuh dengan bentuk baru. Seperti yang dilakukan Rina.
Datang membawa lensa, pulang membawa benang
Atau menjadikannya permainan yang menyenangkan bagi anak-anak. Seperti Aco.
Atau menyulamnya dengan kesabaran, seperti Ibu Mariani—yang tahu, bahwa warisan sejati bukan yang dibekukan, tapi yang diberi napas lagi, dan lagi.
Aku bukan penduduk sini. Tapi… sekarang, rasanya sebagian dari diriku tinggal di antara benang-benang itu.”
Ia berhenti. Tak ada naskah. Tak ada kata yang sudah disiapkan. Tapi hatinya penuh.
Reza memejamkan mata sejenak. Angin malam mulai naik, membawa aroma laut, tanah basah, dan… sesuatu yang tak bisa dinamai. Mungkin kenangan yang belum sempat jadi tulisan.
Dari jauh, terdengar suara gitar dan tawa. Mungkin anak-anak yang masih bermain. Mungkin Aco sedang menyanyikan lagu aneh tentang laut yang jatuh cinta pada kamera. Siapa tahu.
Reza membuka matanya, lalu tersenyum. Ia menekan tombol stop di perekam suara. Jurnalnya selesai. Tapi ceritanya—belum.
Ia berdiri, menepuk-nepuk celana dari pasir, lalu melangkah pelan ke arah penginapan. Di lehernya tergantung kamera, bukan lagi sebagai alat kerja, tapi teman perjalanan. Di kantongnya ada batu kecil dari pantai ini. Dan di hatinya, satu kalimat terus terulang:
“Aku datang membawa lensa. Tapi aku pulang membawa benang.”