
Pertemuan di Halte Bus
Teori Kritik Sosial terhadap Globalisasi. Jakarta belum sempat marah hari itu, tapi udaranya sudah lembap seperti handuk basah yang lupa di peras. Di halte bus Tosari, jam masih menunjukkan pukul 07.12 pagi—waktu yang ganjil antara kesiangan dan terlalu dini untuk menyerah.
Dr. Seno Aji duduk di ujung bangku besi berkarat, memeluk sebuah buku tebal yang tampak seperti sudah ikut perang kemerdekaan.
Judulnya mencolok dalam huruf kapital: Kerajinan Tradisional dan Politik Budaya. Kacamatanya bertengger miring di ujung hidung, dan rambut peraknya terikat seperti samurai yang nyaris pensiun.
Tiba-tiba, datanglah Maya Prameswari.
Langkahnya cepat, rok tenunnya bergoyang mengikuti ritme langkah tergesa-gesa.
Headset menggantung di lehernya, memainkan lagu indie folk yang hanya ia dan 12 orang lain di dunia yang tahu.
“Wah, bukunya berat, Pak. Gedean itu dari skripsi saya,” celetuknya sambil duduk di sebelah Dr. Seno.
Dr. Seno mendongak, tersenyum tipis. “Skripsi bisa di cetak ulang. Buku ini… sudah di coret-coret mantan saya tahun 1983.”
“Wah, jadi ini bukan buku biasa, ini… peninggalan sejarah cinta!” Maya tertawa kecil.
Sebelum mereka sempat masuk lebih dalam ke dunia romantisme akademik, seorang pria berkeringat dengan topi caping lusuh muncul membawa karung anyaman. Ia duduk berat-berat di bangku dan mengelap dahinya dengan tisu yang entah sejak kapan bertugas di sana.
“Duh, maaf ya. Numpang duduk. Udah jalan dari pagi, nganter rotan ke Tanah Abang. Eh, eh… itu buku kerajinan ya?” tanyanya sambil menunjuk ke arah Dr. Seno.
“Betul, Mas. Tentang politik budaya dalam kerajinan tradisional,” jawab Dr. Seno ramah.
“Wah, saya kerja di kerajinan rotan. Tapi belakangan ini bos nyuruh bikin kursi ‘skandinavia style’. Kaki-kakinya kurus-kurus kayak belum makan,” gumamnya sambil nyengir.
Maya tertawa geli.
“Iya tuh, desainnya minimalis tapi bikin hidup makin rumit. Gak ada sandaran kepala, gak bisa rebahan.”
Dr. Seno mengangguk pelan. “Itu yang kita sebut komodifikasi budaya. Saat estetika lokal harus tunduk pada selera global.”
“Lah, saya sih gak ngerti bahasanya, Pak. Tapi yang saya tahu, kalau terus nurutin selera orang luar, yang lokal mau beli apa?” tanya si pria yang belakangan mereka ketahui bernama Darto.
Hening sebentar. Bus belum datang. Tapi percakapan mulai berjalan seperti angin yang tahu arah.
“Kayak saya waktu kecil,” Maya tiba-tiba berkata. “Main congklak, tapi sekarang anak-anak mainnya Candy Crush. Kita kalah lucu dari game buatan luar negeri.”
“Congklak masih lebih masuk akal dari Candy Crush,” Dr. Seno berkomentar sambil mengelus dagunya. “Paling tidak, congklak ngajarin strategi. Candy Crush ngajarin… belanja koin.”
Tawa mereka meledak bersamaan. Orang-orang di halte melirik penasaran.
Teori Kritik Sosial terhadap Globalisasi. Dan entah bagaimana, di tengah kebisingan Jakarta dan aroma ketupat sayur dari warung pinggir jalan, tiga orang dari dunia yang berbeda mulai terhubung oleh satu hal yang sama: cinta pada sesuatu yang perlahan menghilang dari pandangan—seni kerajinan yang dilupakan.
Baca Juga : Seni Kerajinan dalam Teori Budaya Konsumerisme
Bus Datang, Perjalanan Dimulai
Bus TransJakarta akhirnya datang dengan suara mendesah seperti orang tua yang disuruh bangun pagi. Pintu otomatisnya membuka pelan, dan suara “ting!” dari sistem otomatis terdengar seperti sambutan dari robot yang tidak terlalu ramah.
“Yuk, naik. Nanti keburu kita jadi patung di halte,” celetuk Maya sambil melirik Darto yang sibuk mengangkat karung rotannya.
Darto bersungut, “Kalau patung, minimal gak perlu bayar e-toll…”
Mereka naik dan duduk berderet: Dr. Seno di pojok jendela, Maya di tengah, dan Darto di pinggir sambil menjaga karungnya agar tidak menginvasi ruang penumpang lain.
Bus melaju pelan, menyusuri jalanan Jakarta yang mulai terpanggang matahari. Di dalam, AC bekerja keras, meskipun lebih mirip angin kipas angin kelurahan.
Maya membuka topik, “Tadi kita ngomongin soal komodifikasi. Saya tuh kadang bingung. Bukannya kalau kerajinan lokal bisa tembus pasar global itu bagus ya, Pak?”
Dr. Seno melipat kacamatanya perlahan. “Pertanyaannya bukan hanya ‘apakah tembus’, tapi ‘dengan harga apa’? Jika warisan budaya dijual tanpa konteks, itu bukan ekspor budaya. Itu ekspor bentuk kosong.”
Darto mengangguk setuju. “Saya pernah diajak pameran di Singapura. Tapi waktu saya bawa rotan motif Kalong, mereka bilang, ‘Too ethnic, make it more minimalist.’ Lah, saya disuruh bikin rotan rasa IKEA!”
Maya tertawa geli.
“Minimalis tuh kadang terlalu maksimal nyusahinnya.”
Dr. Seno tersenyum, “Dalam teori kritik sosial, kita menyebut itu sebagai penyesuaian struktural budaya. Tradisi dipaksa menyesuaikan, bukan berkembang dari dalam.”
Darto garuk kepala. “Kalau saya bilang sih… itu namanya ‘budaya ngikut pasar.’ Pokoknya yang penting laku.”
“Masalahnya,” timpal Maya, “yang laku kadang bukan yang bernilai. Yang viral di TikTok misalnya, kerajinan jadi aksesoris aesthetic. Padahal filosofi aslinya hilang.”
Darto menimpali, “Wah, saya punya tetangga yang bikin gantungan kunci wayang, tapi semua tokohnya dikasih filter anime. Semar jadi mirip Naruto.”
Maya dan Dr. Seno tertawa bersamaan. “Semar pakai bandana kuning? Wah, itu pertemuan budaya yang nggak diundang,” kata Dr. Seno sambil geleng-geleng kepala.
“Ya, Mas Darto juga bisa bikin rotan jadi Gundam. Siapa tahu laku!” Maya menyenggol bahunya sambil terkekeh.
Darto nyengir. “Gundam rotan. Waduh, itu saya harus nyantet bambu dulu kali.”
Percakapan yang tadinya canggung, kini berubah jadi obrolan hangat. Perbedaan usia dan latar belakang malah membuat dinamika jadi lebih hidup.
Bus terus melaju melewati Harmoni, dan sinar matahari yang menembus kaca menyorot wajah mereka bertiga—tiga orang dengan pandangan berbeda, tapi terikat dalam satu keresahan yang sama.
Teori Kritik Sosial terhadap Globalisasi. Sesekali mereka saling bertukar cerita, mengupas dunia kerajinan dari sudut yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Yang satu dari dunia akademik, satu lagi dari ruang kelas kreatif anak muda, dan satu lagi dari lapangan—dari tangan-tangan kasar yang justru paling paham bagaimana tradisi disusun oleh kenyataan, bukan teori.
Dialog Memanas – Tantangan Digital
Bus terus melaju melewati Sawah Besar. Lalu lintas padat mulai membentuk orkestra klakson tak berirama. Di dalam bus, percakapan justru makin berwarna.
Maya mengeluarkan ponselnya, membuka Instagram. “Kalau ngomongin soal seni dan pasar, saya jadi mikir. Sekarang itu zamannya digital, Pak. Saya upload karya batik daur ulang ke TikTok—langsung 20 ribu views dalam sehari. Laku pula.”
Darto melongo. “Daur ulang? Jadi batiknya dipake ulang? Atau diulang pake lagu remix?”
Maya tertawa. “Ya bukan gitu, Mas! Bahan sisa batik dijahit jadi tas kekinian. Nama project-nya: From Java With Love.”
“Wah, romantis juga ya. Kayak kirim mantan lewat paket JNE,” celetuk Darto.
Dr. Seno tertawa, walau wajahnya tetap serius. “Saya akui, digitalisasi memberi peluang. Tapi kita harus waspada terhadap ilusi kebebasan. Di balik layar, kita tunduk pada algoritma yang tidak paham nilai budaya.”
Maya mengangkat alis. “Maksudnya?”
“Algoritma itu buta. Yang ditonjolkan bukan kualitas, tapi kuantitas. Yang banyak disukai, itu yang naik. Padahal, karya bernilai kadang justru tidak populer. Sama seperti tempe daun jati—enak, tapi kalah pamor dari sushi di kafe mahal.”
Darto mengangguk. “Saya pernah upload video bikin anyaman rotan. Dikasih musik dangdut. View-nya cuma 37. Tapi waktu ponakan saya upload video joget depan rotan, langsung viral. Padahal dia gak bikin apa-apa, cuma goyang.”
Maya tertawa ngakak. “Berarti rotannya cuma jadi latar estetik, Mas. Bukan isi cerita.”
“Nah, itu dia!” seru Dr. Seno. “Seni jadi dekorasi, bukan narasi.”
Bus berbelok ke arah Pasar Baru. Di luar, mural-mural warna-warni berjejer di dinding tua, sebagian besar ditutupi iklan kopi sachet. Pemandangan itu memantik sesuatu dalam benak Maya.
“Kita ini kaya banget, tapi malah dijajah visual dari luar. Estetika lokal dianggap kuno, kecuali kalau udah diviralkan bule. Lucu ya?”
“Lucu tapi ngenes,” gumam Darto. “Saya bikin lampu gantung motif Dayak, gak laku. Tapi waktu temen saya endorse di TikTok pakai caption: ‘Vibes-nya Bali banget!’, eh… sold out.”
Maya mendecak. “Dunia ini memang lebih percaya vibes daripada value.”
Dr. Seno menatap mereka berdua, matanya menyala. “Tapi justru di sinilah tugas kita. Membuat nilai jadi keren. Membuat makna jadi menarik. Kalau hanya ikut tren, kita bukan pelaku seni. Kita cuma… operator konten.”
Hening sejenak. Bus melaju dengan tenang.
Darto akhirnya membuka suara, pelan. “Jadi kita harus bikin karya yang ngerti budaya… tapi juga ngerti cara bikin orang berhenti scroll, ya?”
Maya menyeringai. “Betul. Gak cukup indah, harus nge-hook.”
Dr. Seno mengangguk, lalu berbisik seperti sedang membocorkan rahasia besar, “Dan lebih dari itu… harus bikin orang mikir setelah dia nge-like.”
Mereka bertiga saling berpandangan. Mungkin belum ada jawabannya. Tapi pertanyaannya sudah cukup kuat untuk menyatukan mereka.
Teori Kritik Sosial terhadap Globalisasi. Dan di kursi bus TransJakarta itu, antara deru mesin dan aroma pendingin ruangan yang agak ragu-ragu, tiga orang dengan dunia berbeda sedang mencoba merumuskan ulang masa depan seni kerajinan Indonesia—di zaman yang serba cepat, serba pendek, dan serba ‘scroll down to forget’.
Mencari Titik Temu
Teori Kritik Sosial terhadap Globalisasi. Bus merayap melewati kawasan Pasar Baru. Dari jendela, terlihat kios-kios tua dengan papan nama yang setengah terkelupas, bersebelahan dengan toko-toko neon yang menjual fashion Korea. Kontras. Seperti hidup tiga orang di dalam bus ini.
Maya tiba-tiba mengeluarkan tablet dari tas rajutnya. Dengan cepat dia membuka galeri dan memperlihatkan sebuah desain.
“Ini salah satu proyek tugas akhir aku. Namanya Revive. Aku kolaborasi sama perajin anyaman di Tasik. Mereka bikin bentuk tradisional, aku bantu olah jadi produk kontemporer, tapi tetap pakai motif lokal. Kita jual online, tapi tiap pembeli dapat cerita sejarah di balik motifnya.”
Darto mendekat, matanya membulat. “Wih, keren juga ya. Ini kayak anyaman rotan model Kalong, tapi dibikin jadi tempat lampu. Elegan, tapi gak ilang bentuk aslinya.”
“Exactly!” seru Maya. “Aku pengen nunjukin kalau lokal itu bisa relevan tanpa harus jadi copycat luar.”
Dr. Seno mengangguk.
matanya berbinar. “Ini contoh resistensi yang sehat. Bukan menolak globalisasi, tapi menawarnya dengan harga budaya sendiri.”
Darto terlihat berpikir. “Kalau begitu… saya juga bisa gabung dong ya? Saya bisa bikin model rotan yang motifnya dari cerita rakyat. Tapi ya gitu, saya gak ngerti cara jualnya.”
Maya langsung berseru, “Nah itu! Gimana kalau kita bikin semacam platform kolaborasi? Anak muda kayak aku bantu bagian visual, promosi, dan narasi. Mas Darto dan perajin lain fokus di karya. Kita gabungin kekuatan.”
Darto menggaruk kepala, malu-malu tapi antusias. “Saya sih oke. Tapi jangan suruh saya joget depan kamera ya.”
“Tergantung, kalau itu bisa viral…” goda Maya sambil tertawa.
Dr. Seno ikut tersenyum. “Sebenarnya inilah bentuk seni masa depan: lintas generasi, lintas pendekatan. Selama esensi budaya dijaga, maka bentuk bisa menyesuaikan zaman.”
Darto menunjuk ke luar jendela, ke sebuah mural besar bergambar semar dengan gaya pop-art. “Liat tuh. Semar sekarang udah mirip superhero. Mungkin seni kita juga harus kayak dia—berubah bentuk, tapi tetap semar.”
Maya terkekeh. “Semar Multiverse!”
“Semar: Into the Kraton-Verse,” tambah Darto.
Tawa mereka meledak lagi. Beberapa penumpang melirik, ada yang ikut tersenyum simpul. Energi mereka menular.
Dr. Seno membuka buku tuanya lagi, lalu menyelipkan kertas catatan di dalamnya. “Dari tadi saya mendengarkan kalian, dan saya pikir… kita perlu bikin forum. Bukan seminar formal, tapi ruang dialog antara perajin, seniman muda, dan akademisi. Mungkin kita bisa mulai dari situ.”
“Forum di dunia nyata, bukan cuma di Zoom?” tanya Maya.
“Betul. Di mana orang bisa ngobrol sambil pegang rotan atau secangkir kopi, bukan cuma pointer dan slide.”
“Dan jangan lupa colokan buat charger!” sahut Darto cepat. “Biar gak mati gaya.”
Teori Kritik Sosial terhadap Globalisasi. Mereka bertiga tertawa lagi. Tapi kali ini, bukan karena lelucon. Ada semangat baru di antara mereka—campuran optimisme, ide, dan kemungkinan. Bus pun melaju semakin dekat ke tujuan, tapi obrolan mereka justru seperti baru saja dimulai.
Tapi Bukan Akhir
Bus berhenti perlahan di Halte Monas, menghela napas panjang seolah tahu bahwa perjalanannya, seperti percakapan mereka, hampir selesai.
Maya berdiri duluan. Ia merapikan tas rajutnya, lalu menoleh ke dua teman barunya. “Aku turun di sini ya. Ada pameran seni mahasiswa di seberang. Kalau Mas Darto atau Pak Seno sempat, mampir, ya?”
Kemudian Ia mengeluarkan dua kartu nama dari saku batiknya—berdesain penuh warna, dengan tulisan tangan kecil di bagian belakang: “Seni adalah warisan yang bisa diwariskan lewat tangan dan cerita.”
Darto menerimanya sambil senyum lebar. “Wah, saya biasa dapat kartu nama dari bos atau sales. Ini pertama kali dikasih seniman.”
“Disimpan baik-baik, Mas. Itu bisa jadi NFT suatu hari nanti,” jawab Maya sambil ngedip.
Selanjutnya Dr. Seno menatap Maya dengan bangga seperti ayah spiritual yang baru saja melihat anaknya lulus ujian hidup. “Teruskan idealismemu, Maya. Tapi jangan lupa… kadang yang paling radikal itu bukan yang paling keras bersuara, tapi yang paling sabar menjaga makna.”
Maya mengangguk.
“Terima kasih, Pak. Dan… makasih juga Mas Darto. Obrolan kita hari ini kayak ngerajut. Awalnya benang kusut, tapi lama-lama jadi pola.”
“Wah, itu kutipan bagus buat kaos,” celetuk Darto. “’Obrolan kita kayak ngerajut.’ Keren.”
Maya turun, melambaikan tangan sebelum pintu bus menutup. Suasana sedikit hening.
Dr. Seno dan Darto masih duduk berdampingan, mata mereka menatap ke luar jendela yang kini mulai dipenuhi cahaya siang.
“Lucu ya,” kata Darto pelan. “Saya cuma mau nganter anyaman rotan ke Tanah Abang, eh malah dapet kuliah gratis dari profesor dan tukang desain.”
Dr. Seno tertawa kecil. “Dan saya cuma mau baca buku di halte, malah dapat realita dari lapangan langsung.”
Darto mengangguk. “Berarti seni itu emang bukan soal bikin cantik doang, ya. Tapi soal bikin kita mikir: siapa kita, kenapa kita, dan buat siapa kita bikin ini semua.”
Dr. Seno menoleh, kagum. “Itu barusan… kalimat paling filosofis yang saya dengar hari ini.”
“Serius, Pak?” Darto menyeringai. “Soalnya biasanya saya cuma bilang: ‘yang penting laku, Pak.’”
Tawa mereka pecah sekali lagi.
Ketika bus berhenti di Halte Juanda, Darto berdiri sambil mengangkat karung anyamannya. “Saya turun di sini. Tapi kayaknya… saya gak akan lihat kerajinan rotan dengan cara yang sama lagi.”
Dr. Seno berdiri dan menyalami Darto erat. “Dan saya tidak akan menulis makalah tentang kerajinan tanpa ingat suara Mas Darto.”
Mereka berpisah di pintu bus. Saling lambaikan tangan. Di antara lalu lintas, debu, dan terik kota, sebuah percakapan telah menganyam ulang pengertian mereka tentang seni, budaya, dan masa depan.
Mungkin dunia tak berubah hari itu.
Tapi seseorang berubah. Dan dari situlah perubahan selalu bermula.
TAMAT
Tinggalkan Balasan