
Terminal Kampung Rambutan
Teori Postmodernisme Seni Kerajinan. Terminal Kampung Rambutan sore itu riuh seperti biasa. Suara klakson bersahutan, para calo berlomba jadi yang paling nyaring, dan aroma khas gorengan campur solar memenuhi udara. Di antara keramaian, tiga orang duduk di bangku besi panjang di bawah papan bertuliskan “Jalur 3 Tujuan Sumatera & Jawa Tengah.”
Pak Ardi duduk paling ujung, membetulkan letak topi fedora cokelat tuanya sambil membaca buku tipis berjudul Simulacra and Simulation, yang jelas tidak cocok dengan suasana terminal.
Beberapa bangku darinya, Rara duduk menekuri sketsa dalam buku catatannya. Jaket jeans-nya penuh emblem kampanye seni lokal, dan tas totenya nyaris tumpah oleh buku, pensil warna, dan charger ponsel. Sesekali dia melirik lelaki tua itu.
“Pak Ardi?” suara Rara pelan, ragu.
Pak Ardi menoleh, agak menyipitkan mata. “Eh… iya. Kamu siapa, ya?”
“Rara. Rara Zhafira. Mahasiswa Bapak dulu. Tahun 2019. Saya yang skripsinya tentang ‘Visualisasi Kekacauan Urban dalam Instalasi Kaleng Bekas’…”
Pak Ardi terkekeh. “Oh! Iya, iya. Yang pernah pasang instalasi di depan kantin sampai satpam ngira itu tempat sampah darurat.”
“Hehe… Itu bagian dari konsep, Pak.”
Mereka tertawa. Di saat itulah, seorang pria bertubuh besar dengan tas ransel berat duduk di antara mereka. Dia melepas kopiahnya dan menyeka keringat dengan handuk kecil. Aroma minyak kayu putih menyeruak.
“Maaf ganggu, saya duduk sini ya. Bus ke Padang belum datang-datang. Bisa lemes kalo nunggu sambil berdiri.”
Pak Ardi dan Rara mengangguk ramah.
Bang Rido—begitu nama yang tertulis di tag koper besarnya, memperhatikan buku di tangan Pak Ardi.
“Wah, baca buku juga, Pak? Hebat. Tapi itu bukunya judulnya kayak menu makanan alien.”
Pak Ardi tertawa, “Ini soal teori postmodernisme. Tentang realitas, simulasi, semacam itulah.”
Bang Rido mengangguk-angguk sok paham. “Oh iya, iya. Saya dulu juga bikin yang semi-semi simulasi. Lemari dapur. Modelnya dari Prancis, tapi kayunya dari kampung. Harganya dari neraka.”
Rara tak bisa menahan tawa. “Bapak tukang kayu?”
“Dulu, dek. Sebelum jadi pegawai dinas pariwisata. Sekarang kerjaannya promosi kerajinan rakyat, tapi rapatnya lebih sering bahas seragam batik ketimbang senimannya.”
Pak Ardi tertarik. “Kerajinan? Wah, ini topik yang menarik. Saya dan Rara memang suka bicara soal itu.”
“Ah, saya nggak pinter teori, Pak. Tapi soal ukir-ukiran, saya tahu bedanya jati asli sama jati-jatian. Hehe.”
Obrolan pun mulai mengalir. Tiga orang asing, dari dunia yang berbeda, duduk bersebelahan karena kebetulan. Tapi dari caranya mereka tertawa, menyela, dan mengangguk, bisa ditebak: ini bukan sekadar obrolan biasa di terminal. Ini akan jadi diskusi panjang yang tak direncanakan, tapi tak akan mudah dilupakan.
Bus mereka belum datang. Tapi percakapan sudah berjalan jauh.
Baca juga : Teori Embeddedness dalam Seni Kerajinan
Apa itu Seni Kerajinan di Era Digital?
Teori Postmodernisme Seni Kerajinan. Setelah percakapan pembuka yang menghangatkan suasana, ketiganya makin nyaman duduk di bangku terminal itu. Di belakang mereka, calo masih teriak-teriak, “Jogjaaa! Jogjaaaa! AC reclining seat! Bisa rebahan sampe kampung halaman!”
Namun perhatian Pak Ardi, Rara, dan Bang Rido sudah tak terganggu. Mereka sudah masuk ke dunia mereka sendiri—dunia yang penuh tanya, tawa, dan teori seni rupa.
“Jadi, gimana menurut Bapak,” Rara membuka topik, “kondisi kerajinan tradisional sekarang, di era marketplace digital? Shopee, TikTok Shop, semua jadi barang serba instan.”
Pak Ardi menyilangkan kaki, meletakkan bukunya di pangkuan. “Dalam postmodernisme, tidak ada lagi hirarki yang jelas antara seni tinggi dan seni rakyat. Bahkan, batas antara seni dan barang jualan pun kabur. Semua bisa jadi artefak visual—asal punya nilai tukar.”
Bang Rido mengerutkan dahi. “Jadi… kalau guci keramik di rumah saya, yang dibeli istri di online shop, itu termasuk artefak visual juga, Pak?”
Rara tertawa. “Kalau ada unsur estetik dan narasi di baliknya, bisa aja. Tapi ya… kalau itu cetakan pabrik dengan motif cetak ulang, mungkin nilai seninya sekadar… diskon 30%.”
“Wah,” Bang Rido mengangguk, “berarti saya salah selama ini. Saya kira yang penting warna cocok sama tirai. Ternyata kita sedang berdosa estetik.”
Pak Ardi tersenyum kecil. “Begini, ya. Di era digital, seni kerajinan mengalami komodifikasi. Tapi itu bukan cuma persoalan ekonomi. Ini soal bagaimana identitas budaya dikemas ulang demi selera pasar.”
“Kayak batik yang jadi motif casing HP?” sela Rara.
“Betul. Dan saat itu terjadi, kita sedang menyaksikan apa yang disebut Baudrillard sebagai ‘simulacra’—representasi yang tak lagi punya referensi pada realitas aslinya.”
Bang Rido mengangguk-angguk walau agak bingung. “Jadi… ini semacam batik yang udah lupa sama nenek moyangnya?”
“Persis,” jawab Pak Ardi sambil terkekeh.
“Atau malah batik yang udah lupa kalau dia pernah jadi simbol perjuangan.”
Rara ikut menambahkan, “Saya pernah wawancara pengrajin di Bantul. Katanya, dia dulu bikin batik tulis motif kontemporer dengan cerita lokal. Tapi setelah masuk e-commerce, semua jadi seragam. Pembeli maunya ‘yang laris di pasar’.”
“Yah, namanya juga cari makan, dek. Kalau motif batiknya terlalu filosofis, takutnya pembeli cuma paham warnanya aja,” celetuk Bang Rido. “Jualan batik tapi penjelasan motifnya kayak skripsi. Nggak kebeli-beli nanti.”
Tawa kembali pecah di antara mereka. Tapi ada keheningan sesaat setelah itu, seakan masing-masing sedang mencerna.
Pak Ardi melirik jam tangannya. “Yang menarik, dalam postmodernisme, justru di situlah letak tantangannya. Kita nggak bisa lagi memisahkan seni dari pasar. Yang bisa kita lakukan adalah menyadari permainan ini, dan mungkin… menyusup di dalamnya.”
Rara mengangguk penuh semangat. “Jadi bukan soal menolak sistem, tapi menyiasatinya?”
Bang Rido menepuk paha. “Kaya orang kampung buka kedai kopi industrial. Namanya ‘Warung Woles’, desainnya full aesthetic, tapi kopi saset juga. Hahaha!”
Tawa meledak lagi. Obrolan makin seru. Dan mereka belum sadar—mereka sedang membangun ruang diskusi di tempat paling tak terduga: terminal bus.
Dekonstruksi dan Identitas Budaya
Teori Postmodernisme Seni Kerajinan. Langit Jakarta mulai berubah warna. Sisa-sisa jingga menggantung di antara asap bus dan lampu temaram terminal. Tapi di bangku Jalur 3, percakapan tiga orang asing yang kini sudah seperti sahabat lama masih terus menyala.
“Aku jadi ingat, Pak,” ujar Rara sambil memainkan pulpen di jarinya, “teori dekonstruksi yang pernah Bapak ajarkan. Tentang membongkar makna yang dianggap tetap. Rasanya cocok banget diterapin ke seni kerajinan sekarang.”
Pak Ardi mengangguk, matanya berbinar. “Tepat. Banyak orang masih berpikir bahwa seni kerajinan itu ‘mewakili budaya’. Tapi postmodernisme justru mempertanyakan: budaya yang mana? Siapa yang menentukan bentuknya? Dan untuk siapa ia dibuat?”
Bang Rido mengangkat alis. “Waduh, ini sudah masuk wilayah mistis, kayaknya.”
Rara tertawa. “Enggak, Bang. Misalnya begini: ukiran Minang, motifnya penuh filosofi. Tapi sekarang banyak dijual sebagai hiasan dinding ‘etnik-modern’ di cafe-cafe. Cuma jadi ornamen.”
Bang Rido menatap ke kejauhan, wajahnya berubah lebih tenang. “Dulu saya bikin ukiran rumah gadang, tiap lengkungannya ada arti. Ada yang lambang keluarga, ada tentang alam. Tapi sekarang… saya pernah lihat motif yang saya bikin dipakai jadi pola sablon hoodie. Nama produknya ‘Tribal Streetwear’. Nggak ada satu pun kata Minang di deskripsinya.”
Pak Ardi menyilangkan jari-jarinya. “Itulah dekonstruksi. Makna asli ditanggalkan, bentuknya direproduksi, dijual ulang dengan konteks baru. Identitas yang tadinya melekat jadi sekadar estetika visual.”
“Kayak kita ngelihat ondel-ondel diiringi musik DJ di tiktok, ya?” celetuk Rara.
“Ah, iya itu!” Bang Rido menyahut.
“Dulu ondel-ondel ditakuti, sekarang malah ikut challenge joget. Dari penolak bala jadi konten FYP.”
Pak Ardi tertawa pelan. “Realitas menjadi simulasi. Dan simulasi itu menggantikan realitas.”
“Halah, Pak. Jangan bikin saya merasa bersalah udah like video ondel-ondel joget. Lagunya lucu soalnya,” kata Rara sambil menyeringai.
Bang Rido ikut terkekeh. “Saya mah nggak masalah, Dek. Yang penting, pas ondel-ondelnya joget, dia masih inget kampung halamannya.”
Mereka terdiam sebentar. Tapi bukan karena kehilangan kata, melainkan karena kata-kata mereka mulai menyentuh sisi yang lebih dalam.
Pak Ardi lalu melanjutkan, dengan nada agak melankolis, “Masalahnya sekarang, siapa yang punya kendali atas narasi budaya? Apakah si pengrajin? Si pemodal? Atau algoritma pencarian pasar?”
“Kadang saya ngerasa,” kata Rara lirih, “kerajinan tradisional tuh kayak orang tua kita. Pelan-pelan dilupakan, tapi sesekali diingat pas butuh inspirasi tugas kuliah.”
Bang Rido mengangguk pelan. “Atau pas mau dekor rumah biar Instagramable.”
Tawa kecil pecah lagi, tapi kali ini terasa lebih reflektif. Terminal semakin gelap. Lampu-lampu bus mulai menyala, satu per satu, seperti bintang yang ragu-ragu muncul di langit Jakarta.
Tiga orang di bangku itu tahu: mereka sedang menyentuh sesuatu yang penting. Tentang identitas, makna, dan bagaimana kadang, yang paling dalam justru muncul di tempat paling sederhana.
Komodifikasi dan Resistensi
Teori Postmodernisme Seni Kerajinan. Suasana di terminal semakin malam, tapi obrolan mereka justru makin menyala. Dari tema dekonstruksi, kini mengalir ke pertanyaan yang lebih tajam—tentang komodifikasi dan resistensi.
“Jadi, kalau semua udah jadi komoditas,” ujar Rara sambil menggigit sisa roti gorengnya, “masih ada nggak ruang buat perlawanan dalam seni kerajinan?”
Pak Ardi menghela napas panjang, lalu menjawab tenang, “Ada. Tapi resistensinya tidak selalu dalam bentuk konfrontasi. Kadang justru lewat penyusupan. Kita hidup dalam sistem. Kalau mau bertahan, ya kita harus cerdas menanam benih makna di tengah lahan kapitalisme.”
Bang Rido menimpali sambil menyedot teh botolnya. “Jadi semacam sabotase halus, gitu ya? Kaya tukang sate yang nulis ‘sate madura’, padahal orangnya dari Klaten. Tapi satenya enak.”
Rara tertawa. “Analogi yang… cukup kreatif, Bang.”
Pak Ardi ikut tertawa. “Analogi lokal penuh makna. Tapi benar juga. Banyak pengrajin sekarang menyisipkan simbol-simbol atau cerita tersembunyi di karya mereka. Seolah bilang: ‘Kami tahu kami dijual, tapi kami tetap punya suara.’”
Rara mengangguk. “Aku pernah lihat pengrajin rotan yang bikin kursi model modern, tapi di baliknya dia ukir puisi dalam bahasa daerah. Nggak kelihatan kalau nggak dibalik.”
Bang Rido ikut semangat. “Wah, itu keren! Saya pernah juga lihat piring hias ukiran Aceh, kalau diperhatiin, ada ukiran angka-angka yang ternyata tanggal tragedi tsunami. Semacam doa diam-diam, diselipkan ke produk jualan.”
“Justru itu yang saya sebut resistensi,” kata Pak Ardi. “Bukan melawan dengan teriakan, tapi dengan cara menyelipkan makna, memelintir harapan pasar. Memberi napas pada produk yang diminta pasar, tanpa sepenuhnya tunduk padanya.”
“Tapi, Pak,” Rara menimpali, “gimana kalau justru orang-orang makin suka ‘kemasan kosong’—yang penting murah, estetik, bisa viral?”
Pak Ardi tersenyum. “Itu risiko. Tapi kalau semua seniman menyerah, dunia tinggal jadi etalase. Tak ada jiwa. Kita butuh mereka yang mau ‘bersembunyi’ dalam sistem, tapi tetap menciptakan kedalaman.”
Bang Rido mengangguk dalam.
“Kayak pengrajin di kampung saya. Dia sekarang bikin souvenir pernikahan. Tapi semua ukirannya masih pakai pola tua yang diajarkan kakeknya. Dia bilang, ‘biar anak cucu tetap kenal, walau mereka nggak tahu nama polanya.’”
“Luar biasa,” ujar Rara pelan. “Itu… bentuk cinta ya, Bang? Ke tradisi, ke masa lalu, tapi juga ke masa depan.”
“Cinta yang tahu diri,” tambah Pak Ardi. “Tidak melawan arus frontal, tapi menanam benih di dasar sungai.”
Seketika mereka terdiam. Sunyi, bukan karena kehilangan kata, tapi karena sepakat tanpa perlu banyak bicara. Hanya terdengar suara bus yang datang, dan calo yang berteriak setengah malas.
Dari kejauhan, terdengar pengumuman: “Bus tujuan Padang, segera diberangkatkan dari Jalur 3.”
Bang Rido berdiri perlahan, menepuk-nepuk celananya.
“Wah, kayaknya itu saya. Padang memanggil.”
“Padang menanti seni ukir yang disabotase penuh cinta,” celetuk Rara sambil tersenyum.
Mereka tertawa lagi, tapi kali ini dengan nada perpisahan yang mulai terasa di udara.
Perpisahan dan Renungan
Teori Postmodernisme Seni Kerajinan.Terminal semakin lengang. Lampu-lampu kuning di atas jalur bus berpendar samar, seperti mata lelah yang menolak tidur. Di bangku panjang Jalur 3, tiga orang kini duduk dalam keheningan yang bukan canggung, melainkan hening yang hangat—seperti sisa percakapan yang masih menggantung di udara.
“Wah, itu bus saya…” Bang Rido menunjuk ke kejauhan, sebuah bus bertuliskan “Padang – Eksekutif AC Toilet”.
Dia berdiri perlahan, lalu menoleh ke Pak Ardi dan Rara. “Jarang-jarang saya bisa ngobrol kayak gini, lho. Biasanya saya cuma diskusi sama Excel dan laporan bulanan.”
Pak Ardi tertawa kecil. “Terima kasih sudah berbagi, Bang. Cerita Bapak jauh lebih hidup dari teori mana pun.”
Rara mengangguk. “Iya. Kalau saya, nulis skripsi kayaknya bakal lebih seru setelah ngobrol ini.”
Bang Rido menjabat tangan mereka berdua, hangat dan mantap. “Kalau kalian main ke Padang, cari saya. Kita lanjut diskusi sambil makan rendang. Tapi ingat, rendang itu juga identitas budaya yang sudah lama dikomodifikasi. Hati-hati kalau tiba-tiba dijual dalam bentuk es krim.”
Mereka tertawa keras.
Bahkan Pak Ardi sampai menepuk lututnya. Rara menutup mulut, hampir tersedak tawa.
Bus Padang mulai mengaum pelan, siap meninggalkan terminal. Bang Rido menaiki tangga, lalu melambaikan tangan. “Hati-hati di jalan, ya. Terus jaga api seni kalian. Jangan padam.”
Bus perlahan melaju, membawa pergi satu jiwa yang menyisakan tawa dan filosofi dalam balutan logat Minang.
Beberapa menit kemudian, terdengar pengumuman baru.
“Bus tujuan Yogyakarta, segera diberangkatkan dari Jalur 2.”
“Wah, saya,” ujar Rara sambil berdiri. “Terima kasih banyak, Pak Ardi. Saya nggak nyangka obrolan random di terminal bisa sekaya ini.”
Pak Ardi tersenyum. “Tidak ada tempat yang remeh kalau isi percakapannya tulus.”
Rara meraih tasnya. Sebelum pergi, dia berkata pelan, “Bapak tahu… saya sempat mikir dunia seni itu udah kehilangan arah. Tapi malam ini, saya percaya: kadang, arah ditemukan bukan di galeri, tapi… di bangku terminal.”
Pak Ardi hanya mengangguk.
Matanya berkaca, tapi bibirnya tetap tersenyum.
Rara melangkah menuju busnya, menoleh sebentar. “Sampai jumpa, Pak. Semoga kita ketemu lagi… di ruang diskusi yang tak diduga.”
Dan kini, tinggal Pak Ardi sendiri. Ia merapatkan jaket batiknya, membetulkan letak topi fedora yang sedikit miring. Di pangkuannya, buku Simulacra and Simulation yang tadi dibacanya belum juga dibuka kembali.
Dia menatap langit terminal yang redup.
Di tengah riuh kota yang tak pernah tidur, ia merasa… sejenak dunia berhenti.
Bukan karena terminal ini istimewa, tapi karena di sini, tiga cerita yang berbeda sempat bertemu, saling memantulkan makna, dan kemudian berjalan lagi—ke arah masing-masing.
Bus tujuan Semarang akhirnya datang.
Pak Ardi berdiri, melangkah pelan, dan bergumam sendiri:
“Kadang, yang paling indah dari perjalanan… adalah jeda singkat yang membuat kita percaya bahwa dunia belum sepenuhnya kehilangan makna.”
Teori Postmodernisme Seni Kerajinan. Dan malam pun terus bergulir. Terminal kembali jadi terminal—riuh, sibuk, biasa. Tapi di satu bangku yang kosong, percakapan itu masih menggema, menyisakan jejak yang tak kasat mata… tapi tak akan benar-benar hilang.
TAMAT
Tinggalkan Balasan