Refleksi Hardiknas, Kunci Suksesnya Bukan Teknologi, Tapi Guru! Pernyataan ini smoga saja tidak berlebihan pada saat hari ini kita merayakan Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025. Bertema “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua”.
Saya optimis pada tahun 2045, Negara kita yang tercinta ini. Indonesia memasuki kemerdekaannya genap berusia 100 tahun Insya Allah, dengan kemajuan dunia pendidikan Nasional bermutu sebagaimana yang kita cita-citakan.
Artinya, jika itu adalah umur manusia pada umumnya, maka negara kita sudah seperti kakek nenek yang wajahnya keriput. Bahkan mulai rentan dengan berbagai penyakit.
Tapi jika sebuah negara, saya membayangkan masih sehat dan terus berkembang. Bandingkan saja dengan negara Amerika yang konon dapat bisa dikdaya ketika lebih dari 200 tahun, demikian juga china. Saat ini mulai menjadi negara yang mampu bersaing dengan negara pamansam.
Nantinya, jika Indonesia sudah 100 tahun, Sebuah usia yang matang bagi bangsa mana pun. Lalu kita akan bertanya: sebenarnya Siapa nantinya yang menjadi turbin penggerak bangsa ini di masa depan?
Jawabannya, Buat saya yang tepat mengawal bukan hanya teknologi, bukan pula kekayaan alam. Tapi pendidikan, ya jawabannya lebih tepatnya adalah GURU.
Jika tema Hardiknas tahun 2025 ini adalah Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua. Maka sudah tepat, jika peran itu berada pada pundak para Pendidik dan tenaga kependidikan kita saat ini.
Baca Juga : Ketika Robot Mengambil Alih: Refleksi Hari Buruh Internasional
Kenapa harus Bicara Generasi Emas sekarang?
Jika saat ini kita berada pada tahun 2025, sementara generasi emas tahun 2045. Berarti masa tanam untuk generasi emas Idonesia kurang lebih 20 tahun lagi, maka tahun ini menjadi periode yang sangat menentukan.
Apa yang menjadi peluang dan tantangannya? Yakni manakala mayoritas pendudukan Indonesia berda pada usia produktif.
Maka yang perlu kita garis bawahi bersama. Bahwa pendidikan bukan hanya sekedar proses transfer ilmu pengetahuan, bukan sekedar rutinitas mengajar di kelas. Tapi yang terpenting adalah pembentukan karakter, penanaman nilai moralitas dan perilaku yang bertanggungjawab, integitas dan tanggungjawab sosial
Mungkin saja sistem pendidikan kita saat ini dalam proses transformasi untuk melakukan yang terbaik agar tidak tidak terkesan kaku. Tidak terkesan seolah dalam tekanan birokrasi administrasi, atau pendidikan yang lebih mementingkan matrialistik. (: semoga)
Guru Bukan sekedar Profesi, Tapi Penentu peradaban
Berkaitan dengan Refleksi Hardiknas, Sebenarnya jika merencanakan untuk menuju pada generasi emas. Bisa saja gagal tercapai bahkan runtuh seketika bila Guru terabaikan.
Menganggap bahwa teknologi saat ini dapat mengatasinya. Ada teknologi ChatGPT, ada Youtube, Tiktok yang dengan mudahnya kita mendapatkan jawaban apapun yang kita tanyakan.
Padahal teknologi itu adalah “tools” yang hanya bisa membantu, tapi tidak bisa kita percayakan sepenuhnya 100%. Bagaimanapun itu adalah “mesin” yang memiliki keterbatasan, secerdas apapun AI dia tidak akan mungkin memiliki empati dan kreativitas layaknya manusia.
Saya beranggapan bahwa Guru adalah jantung pendidikan. Sehebat apapun kurikulum yang di terapkan, entah itu kurikulum merdeka belajar. Deep learning atau apapun namanya, jika guru tidak di berdayakan, hasilnya akan stagnan.
Realitas saat ini Refleksi Hardiknas, tak bisa membangun masa depan pendidikan yang berkualitas jika hanya bermain sebata “jargon” semuanya harus bergerak bersama.
Refleksi Hardiknas 2 Mei 2025
Sekedar renungan untuk kita merefleksi terhadap perjalanan pendidikan kita, maka beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian
1. Peningkatan Anggaran Pendidikan
Ditengah maraknya kita mengkampanyekan “Indonesia Emas 2045”, peningkatan anggaran pendidikan selalu saja menjadi wacana klasik yang selalu di anggap “gagal”. Penyebabnya karena seringkali peningkatan anggaran realisasinya tidak berdampak langsung hingga keruang kelas.
Meskipun alokasi anggaran 20% dari APBN untuk sektor pendidikan, pada kenyataannya distribusi anggaran tersebut terkadang lebih banyak tersedot dalam pembiayaan rutin birokrasi. Yang tidak ada sama sekali kaitannya dengan peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
Bisa kita lihat kenyataannya, bahwa ketimpangan itu sangat jelas kita saksikan. Misalkan sekolah kota besar cenderug mendapatkan fasilitas lengkap, sementara ada daerah yang tertinggal dan terpencil tidak memiliki kursi atau ruang kelas yang berdinding gedek’.
Bahkan ada guru yang masih mengajar di ruang kelas yang nyaris roboh, bahkan dengan fasilitas seadanya. Ini yang saya katakan bahwa perlunya alokasi anggaran pendidikan yang alokasinya sesuai kebutuhan.
Hal ini mensyaratkan bahwa bukan hanya sekedar jumlah anggaran pendidikan yang di perjuangan. Tapi bagaimana anggaran pendidikan tersebut di rancang dan di awasi secara berkeadlian dan berkeadaban.
2. Manajemen pendidikan yang profesional
Manajemen pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata profesional jika kita cermati berbagai praktik lapangan yang sarat kepentingan birokratis dan politis.
Banyak kepala sekolah dan pejabat dinas yang di pilih bukan berdasarkan kompetensi. Melainkan karena kedekatan struktural atau faktor non-akademik, yang akhirnya melahirkan kebijakan sektoral tanpa arah yang jelas.
Akibatnya, proses pendidikan kerap terjebak dalam rutinitas administratif ketimbang perbaikan substansi pembelajaran.
Kritik ini sepatutnya tidak dipandang sebagai tudingan, melainkan sebagai dorongan agar manajemen pendidikan kita berbenah: harus berbasis meritokrasi, berorientasi pada mutu, serta mengutamakan transparansi dan evaluasi yang berkelanjutan.
Pendidikan tidak bisa di pimpin dengan logika proyek, melainkan harus di kelola dengan semangat pengabdian dan integritas tinggi, karena di tangan manajemen yang tepat, arah masa depan bangsa di pertaruhkan.
3. Sekolah Bebas Komersialisasi
Komersialisasi pendidikan di Indonesia telah menjadi ironi yang memprihatinkan. Di saat pendidikan seharusnya menjadi hak dasar setiap warga negara. Justru banyak sekolah kini berubah wajah menjadi “lembaga bisnis terselubung” yang mengutamakan profit ketimbang kualitas pembelajaran.
Fenomena sumbangan ‘suka rela’ yang di wajibkan, pungutan dengan embel-embel program unggulan, hingga mahalnya biaya seragam dan kegiatan sekolah adalah potret nyata bahwa akses pendidikan sering kali di batasi oleh kemampuan ekonomi, bukan oleh semangat belajar.
Kritik ini perlu menjadi refleksi mendalam bagi para pemangku kebijakan, bahwa sekolah bukan ruang dagang, melainkan ruang pembebasan.
Refleksi Hardiknas. Jika bangsa ini ingin benar-benar memerdekakan pendidikan, maka sistem dan budaya komersialisasi harus di hentikan dengan regulasi tegas, pengawasan publik yang kuat, dan peneguhan kembali misi sosial sekolah sebagai pilar keadilan dan kemanusiaan.
4. Kurikulum yang Fleksibel dan Kontekstual
Kurikulum di Indonesia selama ini sering kali di rancang dalam ruang rapat yang jauh dari denyut kehidupan nyata di ruang kelas, sehingga tidak heran jika ia terasa kaku dan seragam, tanpa mempertimbangkan keragaman konteks sosial, budaya, dan geografis tiap daerah.
Kurikulum yang tidak fleksibel menjadikan guru seperti operator instruksi, bukan fasilitator pembelajaran yang mampu menyesuaikan materi dengan kebutuhan siswa dan lingkungannya.
Kritik ini bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk mengingatkan bahwa kurikulum seharusnya memberi ruang bagi kreativitas, kearifan lokal, dan dinamika zaman.
Jika kita ingin mencetak generasi yang adaptif dan tangguh, maka kurikulum harus lentur terhadap perubahan dan relevan dengan realitas yang di hadapi siswa—bukan hanya mengejar capaian administratif, tetapi juga membangun nalar kritis dan kepedulian sosial.
5. Pemberdayaan Guru Secara Serius
Pemberdayaan guru di Indonesia selama ini masih sering terjebak dalam jargon dan program pelatihan formal yang seragam, tanpa menyentuh kebutuhan nyata para pendidik di lapangan.
Banyak guru, terutama di daerah terpencil, bekerja dalam keterbatasan fasilitas, beban administrasi yang menumpuk, serta minim dukungan profesional yang berkelanjutan.
Ironisnya, guru yang di harapkan menjadi agen perubahan justru jarang di libatkan dalam pengambilan keputusan kebijakan pendidikan.
Hal ini bukan untuk menyudutkan, melainkan menegaskan bahwa guru bukan hanya perlu dilatih, tapi juga didengar, difasilitasi, dan diposisikan sebagai pusat inovasi pendidikan.
Pemberdayaan yang sejati harus berbasis kepercayaan dan investasi jangka panjang terhadap kapasitas guru, karena mereka adalah ujung tombak kualitas generasi masa depan.
Bukan Sekedar Seremonial Tahunan
Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2025 seharusnya tidak berhenti pada seremonial tahunan yang dipenuhi pidato dan simbolisme semata, tetapi menjadi momentum reflektif untuk mengevaluasi secara jujur:
apakah sistem pendidikan kita benar-benar sedang berjalan ke arah penciptaan Generasi Emas Indonesia 2045?
Meski jargon “pendidikan berkualitas” terus digaungkan, realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan tajam antara visi besar dan praktik pendidikan harian—ketimpangan akses, beban kurikulum yang tidak kontekstual, hingga lemahnya budaya literasi kritis. Jika 2045 adalah tujuan emas, maka 2025 adalah dekade krusial yang menentukan arah.
Sayangnya, dalam banyak kasus, kita justru masih berkutat pada persoalan klasik: distribusi guru yang tidak merata, mutu pelatihan yang minim dampak, dan kebijakan pendidikan yang sering berubah tanpa pijakan filosofis yang kuat.
Hardiknas 2025 harus menjadi tonggak penguatan komitmen bahwa pendidikan bukan sekadar program kementerian, tetapi proyek peradaban yang membutuhkan kolaborasi lintas sektor dan keberpihakan nyata pada peserta didik dan guru.
Jika benar kita ingin menyambut Generasi Emas 2045—yakni generasi yang produktif, beretika, berwawasan global namun tetap berakar lokal—maka pendidikan hari ini harus lebih dari sekadar mengejar angka kelulusan.
Ia harus menjadi sistem yang memanusiakan, memerdekakan pikiran, dan menanamkan integritas sejak dini.
Tanpa keberanian untuk berbenah secara fundamental, cita-cita besar itu bisa saja tinggal narasi yang indah di atas kertas.
Semoga
Tinggalkan Balasan