Anyaman Rindu Menjelang Lebaran

Anyaman Rindu Menjelang Lebaran

Sinopsis Cerita

Anyaman Rindu Menjelang Lebaran. Dalam perjalanannya ke Banyuwangi, Basmar, penulis lepas yang menelusuri jejak pelaku ekonomi kreatif—bertemu dengan Pak Giman, seorang buruh pabrik rotan berusia senja. Ia tinggal bersama istrinya, Bu Lastri, di rumah kontrakan kecil dekat pelabuhan. Sementara tangan mereka terus menganyam rotan demi upah harian, hati mereka diam-diam menganyam rindu yang tak tersampaikan, untuk dua anak mereka yang telah sukses dan tinggal di kota besar, namun nyaris tak pernah memberi kabar.

Melalui obrolan hangat di beranda rumahnya, kisah hidup Pak Giman terungkap perlahan. Ia dan istrinya meninggalkan kampung halaman di Samarinda demi mencari pekerjaan. Mereka hanya pulang sesekali karena ongkos mahal, dan kini, di usia senja, mereka hanya berharap dua anaknya pulang menjelang Lebaran.

Namun ketika hari raya semakin dekat, harapan itu menjadi luka yang dalam. Lewat narasi reflektif dan sapaan-sapaan hangat yang tak terbalas, cerita ini mengajak pembaca merenungi arti keluarga, kesetiaan, dan harga rindu yang tak selalu bisa tertukar dengan keberhasilan materi.

Baca juga : Surat Dari Bulukumba: Perempuan Pengrajin Perahu Phinisi

Pertemuan di Banyuwangi

Anyaman Rindu Menjelang Lebaran. Langit Banyuwangi pagi itu seperti kain katun tipis yang belum sempat di setrika—biru pudar dengan sedikit kerutan awan. Angin dari arah pelabuhan membawa aroma laut yang bertemu dengan bau kayu dan rotan basah dari gang kecil tempat saya berjalan. Saya sedang mencari pabrik rotan rumahan yang katanya cukup tua, tapi tetap hidup karena tangan-tangan yang tak pernah menyerah.

Namanya Pabrik Anyam Sejahtera, tapi jangan bayangkan gedung dengan neon besar atau mesin-mesin canggih. Yang saya temukan justru sebuah bangunan semi permanen, berdinding anyaman bambu, dengan suara khas “krek-krek-krek” yang datang dari para pengrajin yang duduk bersila, memintal rotan seperti sedang merajut waktu.

Saya memperkenalkan diri dengan senyum kaku (karena belum ngopi), dan langsung di sambut seorang bapak tua dengan topi sobek di kepala dan jemari yang tampaknya lebih akrab dengan rotan daripada kulit manusia. Namanya Pak Giman.

“Penulis ya?” katanya sambil terus menganyam. “Wah, jangan di tulis jelek-jelek ya. Takut rotannya mogok.”

Saya tertawa. Humornya sederhana, tapi cukup untuk mencairkan suasana. Saya duduk di sebelahnya, mengeluarkan buku catatan dan mulai mengobrol. Dari cara bicaranya, saya tahu ia bukan tipe yang suka curhat, tapi bukan juga yang menutup diri. Seperti rotan yang lentur, ia cukup terbuka, asal di bengkokkan dengan hati-hati.

“Sudah berapa lama kerja di sini, Pak?” tanya saya.

Ia menghela napas, memotong seutas rotan dengan pisau kecil, lalu menjawab pelan, “Dua puluh… eh, tiga puluh tahun mungkin. Dulu rotan saya masih kaku, sekarang malah saya yang kaku.”

Kami tertawa lagi. Tapi di sela tawa itu, saya menangkap sekilas tatapan yang berbeda. Ada semacam kehampaan yang sempat lewat di matanya—seperti orang yang mendadak teringat sesuatu yang jauh, lalu buru-buru menyimpannya kembali.

Saya lanjut bertanya tentang teknik anyaman, proses pengolahan rotan, dan sedikit sejarah pabrik. Tapi saya tahu, ada cerita yang lebih penting dari sekadar produk: cerita manusianya.

Saat istirahat siang, saya di ajak mampir ke rumahnya, tak jauh dari pabrik. Sebuah rumah kontrakan kecil di ujung gang, di kelilingi pot-pot bekas cat yang kini berubah fungsi jadi tempat cabe dan tomat. Di depan pintu, ada kursi plastik tua dan sepeda butut yang katanya sudah lebih sering ngambek daripada jalan.

Di dalam, saya bertemu Bu Lastri, istrinya. Wajahnya teduh, tangan keriputnya sigap menyiapkan teh manis dan pisang goreng. Mereka tampak sederhana, tapi tidak murahan. Miskin materi, mungkin. Tapi kaya cara mencintai.

Di atas meja, ada dua bingkai foto: satu laki-laki muda berseragam dinas, satu lagi perempuan dengan toga wisuda. Saya tidak bertanya. Tapi Pak Giman tahu saya memperhatikannya.

“Itu anak-anak kami,” katanya lirih. “Sudah lama nggak pulang. Sudah sukses semua, Alhamdulillah.”

Lalu ia diam. Sejenak tak ada suara selain kipas angin kecil yang berdengung malas. Saya tak mendesak. Kadang, cerita terbaik memang keluar bukan karena di tanya, tapi karena di dengarkan.

Dan saya tahu, saya akan kembali besok. Karena ada sesuatu yang lebih kuat dari rotan di rumah ini—rindu yang terikat dalam diam.

Anyaman Waktu dan Rindu

Anyaman Rindu Menjelang Lebaran. Keesokan harinya, saya datang lagi ke rumah Pak Giman. Saya bawa oleh-oleh roti pisang dari warung dekat penginapan. Bukan karena sok baik, tapi karena saya tahu betul, dalam obrolan panjang, roti dan teh itu bisa jadi jembatan menuju cerita yang lebih dalam.

Pak Giman sedang duduk di beranda, menyulam sisa rotan jadi keranjang kecil. Bu Lastri di dalam rumah, menyiram tanaman sambil bersenandung pelan lagu lama yang entah mengapa terdengar lebih pilu dari biasanya.

“Rotan ini, Mas,” katanya, “kalau nggak lentur, patah. Tapi kalau terlalu lentur, nggak bisa di bentuk.”

Saya angguk pelan. Rasanya seperti nasihat hidup yang menyamar jadi obrolan biasa.

Lalu tanpa di minta, cerita itu mulai mengalir.

“Dulu kami tinggal di Samarinda. Buka warung kecil. Saya yang jaga, Bu Lastri masak. Anak-anak masih kecil waktu itu. Tapi ya, zaman makin sulit. Harga-harga naik, pelanggan berkurang, akhirnya tutup juga.”

Pak Giman berhenti sejenak. Ia memegang gelas teh, tapi tak langsung di minum.

“Anak kami dua. Arif sama Rani. Arif dulu dapet beasiswa kuliah teknik di Bandung. Rani ke Jakarta, kerja di perusahaan besar, katanya marketing apa gitu… saya nggak paham.”

Suara Bu Lastri dari dapur menyambung, “Dulu mereka rajin telepon. Apalagi pas awal-awal kerja, masih sering cerita. Sekarang… ya paling setahun sekali. Kadang nggak sama sekali.”

Saya bisa merasakan perih halus di balik nada itu. Bukan marah. Bukan kecewa. Tapi semacam kehilangan yang di biarkan hidup karena tak punya pilihan lain.

“Lalu kenapa ke Banyuwangi, Pak?” saya tanya pelan.

“Karena teman saya dulu kerja di pabrik rotan sini. Katanya ada lowongan. Ya udah, saya coba. Gaji kecil, tapi cukup buat makan. Daripada nganggur.”

“Kenapa nggak tinggal sama anak-anak?”

Pak Giman tersenyum kecut. “Nggak enak. Rumah mereka kecil. Sibuk. Kita ini orang tua, Mas… kalau terlalu dekat, di bilang nyusahin. Terlalu jauh, di bilang nggak peduli.”

Di ruang tengah, saya melihat kalender yang di gantung miring. Tanggal-tanggal di bulan Ramadan di lingkari. Di hari Lebaran, ada tulisan kecil dengan spidol merah:
“Mereka pulang?” dengan tanda tanya.

Bu Lastri masuk ke ruang tamu. Ia membawa toples kue yang sudah tersusun rapi, meskipun belum terbuka. Lalu dia berkata dengan senyum yang setengah hidup:
“Saya bikin nastar kemarin. Bukan karena mereka pasti pulang… tapi karena kalau tiba-tiba mereka datang, saya nggak mau terlihat nggak siap.”

Saya terdiam.

Di rumah kecil itu, tak ada lukisan mahal, tak ada sofa empuk, tapi ada cinta yang di pelihara seperti tanaman di pot kecil—di siram terus, meski belum tentu akan berbunga lagi.

Dan saya tahu, cerita ini bukan soal rotan. Bukan soal ekonomi kreatif. Tapi soal manusia-manusia sederhana yang menganyam harapan, bahkan ketika benangnya nyaris putus

Menjelang Lebaran

Suasana Banyuwangi berubah seiring masuknya hari terakhir Ramadan. Di jalan-jalan kecil, anak-anak berlarian membawa petasan, warung-warung mulai menumpuk stok sirup dan kue kering, dan masjid-masjid tak henti-hentinya melantunkan tadarus yang menggema sampai ke atap rumah-rumah tua.

Tapi di rumah Pak Giman, waktu seolah berjalan lebih lambat.

Saya kembali mampir sore itu, membawa beberapa bahan makanan sebagai alasan untuk datang—padahal sebenarnya, saya hanya tak ingin mereka menunggu sendirian.

Bu Lastri sedang menggulung daun pisang untuk lontong. Di meja, sudah ada ketupat mentah dan ayam yang di marinasi santan. Ia memasak seperti orang yang akan kedatangan banyak tamu, padahal tamunya belum tentu datang.

“Nggak capek, Bu?” saya tanya sambil membantu.

“Tubuh boleh capek, Nak… tapi hati ini harus tetap siap,” jawabnya sambil tersenyum kecil.

Sore itu, kami duduk bertiga di ruang tengah. Di TV, acara siraman rohani berjalan dengan volume pelan. Pak Giman sesekali menoleh ke ponselnya, memeriksa layar kosong. Tak ada notifikasi. Tak ada pesan.

“Biasanya Arif ngirim WA paling nggak malam-malam gini,” katanya lirih. “Kalau Rani… dia dulu suka ngasih video call, lihat kue yang Ibunya bikin. Tapi sekarang… ya mungkin sibuk.”

Saya tak tahu harus menjawab apa. Kadang, tak ada kata yang cukup pantas untuk menenangkan harapan yang terus di patahkan waktu.

Tetangga-tetangga di gang mulai sibuk menyiapkan mudik. Ada yang membawa kardus besar, ada yang mengecat pagar rumah, seolah semua bersiap menyambut hangatnya hari raya bersama keluarga.

Bu Lastri menatap mereka lewat jendela.

“Anak tetangga sebelah, baru datang tadi pagi dari Surabaya. Langsung peluk ibunya sambil nangis,” katanya.
Ia tertawa kecil, tapi air matanya sudah meleleh lebih dulu.
“Kadang saya iri, tapi cepat-cepat saya istighfar. Takut dosa iri sama kebahagiaan orang.”

Saya hanya bisa menunduk.

Lalu Pak Giman berdiri, berjalan ke kamar dan kembali dengan dua kain sarung baru.

“Kami belikan ini dua tahun lalu. Waktu itu Rani janji mau pulang. Tapi batal. Tahun kemarin, Arif bilang mungkin bisa, tapi mendadak ada dinas ke luar kota. Jadi kami simpan lagi.”

Ia letakkan sarung itu di meja. Di belainya perlahan seperti sedang menyentuh wajah yang jauh.

Saya merasa sesak.

Sebelum saya pamit, saya sempat bertanya, dengan suara nyaris berbisik,
“Pak… Bu… kalau saya bantu hubungi anak-anak, mungkin mereka bisa—”

Pak Giman mengangkat tangan pelan, memotong kata-kata saya.
“Mas Basmar… kami nggak mau memaksa. Kalau mereka ingat, ya datang. Kalau belum… ya semoga Allah tetap kasih sehat buat mereka.”

Saya berjalan pulang malam itu sambil menghindari suara takbiran kecil dari warung-warung yang sudah mulai memutar kaset lawas. Biasanya suara itu membuat hati saya hangat.

Tapi malam itu, saya merasa dingin. Karena saya tahu ada dua orang tua di ujung gang yang sedang mempersiapkan hari raya bukan dengan gembira, tapi dengan diam-diam menahan luka

Malam Takbiran yang Sepi

Takbir berkumandang dari berbagai penjuru. Di kejauhan, bedug dipukul dengan semangat seperti ingin membangunkan seluruh kota. Anak-anak berlarian sambil membawa obor, suara mereka bersahut-sahutan dengan petasan kecil yang meletup di langit malam. Kota terasa seperti satu pesta besar yang penuh harap dan kebahagiaan.

Namun di rumah Pak Giman, suara takbir itu hanya terdengar seperti gema dari dunia yang lain—jauh dan tak bisa disentuh.

Saya datang lagi malam itu, membawa bingkisan kecil berisi buah dan kue. Bukan karena merasa harus, tapi karena saya tak sanggup membayangkan mereka melewati malam ini sendirian.

Bu Lastri membuka pintu dengan senyum lembut yang kelihatan dipaksakan. Ia memakai daster bermotif bunga, rambutnya diikat rapi. Di ruang tamu, meja sudah ditata: ada ketupat, opor ayam, sambal goreng kentang, dan dua piring tambahan yang dibiarkan kosong.

“Siapa tahu mereka datang tiba-tiba,” katanya sambil melirik ke arah pintu.

Pak Giman duduk di kursi plastik favoritnya, sarung barunya sudah dipakai. Ia tampak seperti seseorang yang menunggu penjemput yang tak kunjung datang. Di tangannya, ponsel butut bergetar sekali—hanya pesan iklan dari provider.

Saya duduk bersama mereka. Tak ada banyak obrolan malam itu. Kami hanya mendengarkan takbir dari masjid dekat gang, sesekali menatap ke luar jendela, berharap suara motor yang lewat adalah milik seseorang yang dikenal.

Jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Bu Lastri berdiri perlahan, mengangkat piring-piring kosong dari meja.

“Besok dipanasin lagi aja. Masih bisa buat makan, sebelm sholat ied,” katanya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Pak Giman tertawa kecil. “Kita Lebaran berdua lagi. Nggak papa, ya, Bu? Yang penting tetap ada ketupat.”

Bu Lastri hanya menjawab dengan anggukan, tapi matanya merah. Ia buru-buru pergi ke dapur. Saya tahu ia sedang menyembunyikan air mata yang tak bisa dia tahan lagi.

Saya duduk diam, tak tahu harus bicara apa. Di momen seperti itu, kadang kata-kata justru terasa kasar.

Pak Giman lalu menatap saya, nadanya tenang tapi tajam, seperti air sungai yang dalam.
“Mas Basmar… jadi orang tua itu aneh, ya. Kita ini… sudah ngasih semuanya. Waktu, tenaga, tidur, bahkan impian. Tapi nanti… mereka akan tetap pergi. Dan itu bukan salah siapa-siapa. Memang begitu jalannya.”

Ia lalu menunduk, menyeka matanya dengan sudut sarung.

“Yang bikin sesak itu bukan karena mereka nggak pulang. Tapi karena kita nggak tahu… masih pantaskah kita mereka panggil ‘rumah’.”

Kalimat itu menusuk saya lebih dari yang saya kira.

Malam itu saya pulang dengan langkah berat. Suara takbir yang semula indah, kini terdengar seperti irama kehilangan. Dan di kepala saya, hanya ada satu pertanyaan:
Apakah kita terlalu sering menunda pulang, sampai rumah pun tak yakin kita akan kembali?

Esok Pagi dan Sebuah Surat

Pagi itu, matahari Lebaran muncul malu-malu di balik atap rumah. Langit cerah, tapi hati Pak Giman dan Bu Lastri masih mendung.

Saya ikut mereka berjalan menuju lapangan kecil dekat masjid untuk salat Ied. Tak banyak yang dibicarakan. Hanya gumam salam dari tetangga, dan suara takbir yang kini terdengar lebih lirih dibanding semalam.

Pak Giman mengenakan kemeja batik lama, warnanya sudah memudar di bagian lengan. Bu Lastri membawa sajadah kecil, wajahnya bersih tanpa riasan, tapi sorot matanya mengandung ribuan doa yang belum selesai.

Setelah salat, orang-orang saling berpelukan, anak-anak menggenggam tangan orang tua mereka sambil mencium punggungnya. Beberapa remaja laki-laki membawa ibunya duduk di bawah pohon, membagikan kue, tertawa kecil.

Tapi Pak Giman dan Bu Lastri hanya berdiri, tersenyum kepada orang-orang, lalu berjalan pulang dengan langkah perlahan.

Saya ikut ke rumah mereka sebentar, sekadar memastikan mereka tidak benar-benar sendiri.

Sesampainya di depan rumah, ada sebuah motor berhenti. Bukan Arif. Bukan Rani. Tapi seorang kurir.

Ia menyerahkan sebuah amplop cokelat dan sebuah kotak.
“Kiriman dari Jakarta dan Bandung, Pak,” katanya singkat sebelum berlalu.

Pak Giman membuka kotaknya perlahan. Isinya: dua baju koko baru, sepasang mukena, dan dua toples kue kering.

Lalu ia membuka amplop. Di dalamnya ada dua lembar uang seratus ribu yang dilipat rapi, dan selembar surat.

Kemudian Surat itu ditulis rapi dengan komputer. Bunyinya pendek. Formal. Tidak ada panggilan “Bapak” atau “Ibu” di awal. Hanya:

“Kami tidak bisa pulang tahun ini.
Semoga Bapak dan Ibu sehat selalu.
Mohon maaf lahir dan batin.”

Tidak ada tanda tangan. Hanya inisial nama mereka masing-masing.

Saya melihat Bu Lastri membaca surat itu berulang kali, seolah berharap ada kalimat yang berubah jika dibaca lebih pelan.

Kemudian, ia melipatnya kembali, menaruh di atas meja, lalu duduk.
Tangisnya pelan. Sunyi. Tak pecah, tapi menetes tanpa suara.

Pak Giman duduk di sebelahnya, memegang tangannya erat.

“Yah… paling tidak mereka masih ingat,” katanya. Tapi suara itu goyah.
Seperti jembatan tua yang menahan beban terlalu berat.

Tak ada pelukan. Tak ada suara motor anak-anak yang datang.

Hanya dua kursi yang tetap kosong. Dua toples kue yang tak dibuka. Dan dua pasang mata yang terus menatap pintu — tanpa harapan yang tersisa.

Selanjutnya Saya berdiri di ambang pintu. Tak mampu berkata apa-apa. Tapi saya tahu, dalam hati saya, saya sedang meminta maaf… bukan untuk mereka, tapi untuk kita semua — yang terlalu sering lupa, bahwa rumah adalah tempat yang paling sepi jika kita tak pulang.

Penutup

Lebaran tak selalu tentang kemenangan. Kadang, ia tentang kehilangan yang terus dirayakan dalam diam. Dan dari semua tempat yang pernah saya kunjungi, mungkin di rumah Pak Giman-lah saya paling ingin menangis.
Bukan karena mereka miskin.
Tapi karena mereka kaya cinta… yang tidak pernah sampai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *