
APAKAH STUDI FUTURISTIK? Masa Depan Itu Bukan Cuma Soal Teknologi, Bro!
Pernah denger nama Alvin Toffler?
Kalau belum, nggak apa-apa. Tapi buat yang belum kenal, dia ini salah satu tokoh keren yang udah mikirin masa depan dari jauh-jauh hari, bahkan sebelum kita kenal yang namanya internetan pakai Wi-Fi sambil rebahan.
Di tahun 1980, Toffler bikin geger dunia pemikiran dengan bukunya yang nyeritain soal “gelombang perubahan”. Jadi katanya, peradaban manusia tuh mengalami tiga gelombang besar:
Pertama, Peradaban Agrikultur – zaman nenek moyang kita bercocok tanam, hidup deket sama alam, dan makan hasil kebun sendiri.
Kedua, Peradaban Industri – saat pabrik-pabrik mulai berdiri, mesin jalan terus, dan manusia mulai kerja shift.
Ketiga, Peradaban Informasi – zaman sekarang ini, di mana informasi bisa viral dalam hitungan detik, dan hidup kita nggak bisa jauh-jauh dari gadget.
Tapi… here’s the twist!
Toffler juga bilang kalau gelombang-gelombang ini nggak selalu datang secara berurutan. Ada negara yang masih hidup di dua gelombang sekaligus. Misalnya, di satu sisi udah pakai AI buat bisnis, tapi di sisi lain masih ada desa yang hidupnya sangat agraris.
Nah, Di Sini Mulai Banyak yang Salah Paham
Banyak orang mengira, masa depan itu hanya tentang teknologi digital. Kayak semuanya bakal digantikan robot, semua kerjaan remote, semua serba otomatis.
Padahal… itu cuma satu sisi dari cerita besar soal masa depan.
Toffler sebenernya ingin kasih tahu bahwa teknologi bukan satu-satunya jawaban. Dia cuma alat. Alat yang powerful, iya. Tapi tetap alat.
Yang lebih penting adalah bagaimana manusia membangun peradaban lewat beragam ilmu dan nilai.
Masa Depan Itu Butuh Lebih dari Sekadar Teknologi
Teknologi itu kayak kompor gas: bisa bikin masakan enak, tapi kalau nggak ada bahan, resep, dan tangan yang ngerti caranya masak—ya tetap nggak jadi apa-apa.
Begitu juga masa depan.
Kita butuh:
Ilmu sosial: supaya tahu bagaimana membangun masyarakat yang adil dan seimbang.
Filsafat: biar ngerti arah dan tujuan kita ke mana.
Ekologi dan lingkungan: buat jaga bumi yang jadi rumah kita.
Ekonomi kreatif: karena ide-ide out of the box bisa jadi solusi masa depan.
Pendidikan: supaya semua orang bisa ikut naik perahu menuju masa depan.
Intinya? Masa depan itu bukan cuma soal seberapa canggih teknologinya, tapi juga seberapa bijak manusianya memakainya.
Bangun Masa Depan dengan Pikiran yang Luas

Kita hidup di zaman yang luar biasa. Informasi berhamburan, teknologi berkembang supercepat, dan peluang datang dari berbagai arah. Tapi jangan sampai kita jadi sempit pikiran—ngira bahwa masa depan itu hanya milik para coder dan programmer.
Masa depan butuh petani yang melek digital, seniman yang berani bereksperimen, guru yang adaptif, pemimpin yang peka, dan kita semua yang mau belajar hal-hal baru.
Karena sejatinya, membangun masa depan itu kerja tim. Teknologi mungkin jadi pemain bintang, tapi ilmu-ilmu lain adalah pemain pendukung yang bikin cerita jadi lengkap.
So… kamu mau jadi bagian dari peradaban masa depan yang futuristik seperti apa?
Masa Kini Milik Kita, Masa Depan Milik Anak Cucu
Zaman sekarang tuh kayak roller coaster—cepat banget berubahnya!
Teknologi melesat, cara hidup geser ke digital, dan hal-hal yang dulu kita anggap mustahil, sekarang jadi kenyataan. Tapi di tengah segala hiruk-pikuk ini, pernah nggak kamu mikir:
“Nanti anak cucu kita bakal hidup di dunia seperti apa, ya?”
Karena faktanya, kita ini memang pemilik masa kini,
tapi mereka—anak cucu kita—adalah pemilik masa depan.
Dan masa depan itu bukan datang begitu saja. Dia adalah hasil dari apa yang kita pilih, kita rancang, dan kita lakukan hari ini.
Masa Depan Bukan Buat Ditunggu, Tapi Disiapkan
Kita pasti nggak mau dong, mewariskan dunia yang kacau, lingkungan yang rusak, atau peradaban yang suram ke generasi setelah kita?
Justru di sinilah tanggung jawab kita dimulai.
Kita bukan cuma penumpang di kereta waktu, tapi kita adalah masinis yang bisa menentukan ke mana arahnya.
Bukan cuma ngikut arus, tapi ikut ngarahin arus.
Masa Depan Itu Simbol Harapan dan Makna
Seorang pemikir bernama McHale (1969) pernah bilang:
“Masa depan adalah simbol penting, di mana manusia bisa membuat masa kini terasa diterima, dan memberikan arti bagi masa lalu.”
Kalimat itu sederhana tapi dalam banget.
Artinya gini: masa depan itu semacam tujuan bersama—tempat kita memproyeksikan harapan, visi, dan juga pelajaran dari masa lalu.
Supaya kita nggak jalan tanpa arah, dan supaya hidup kita hari ini punya makna yang lebih dari sekadar rutinitas.
Lalu, Apa Tantangannya Buat Kita?
Tantangannya jelas:
Gimana caranya kita bisa menciptakan ‘kemungkinan-kemungkinan’ yang baik di masa depan?
Apakah kita cukup berani untuk:
Meninggalkan kebiasaan lama yang sudah nggak relevan?
Berpikir lebih jauh dari sekadar untung-rugi sesaat?
Melihat generasi mendatang sebagai alasan utama kita berbenah?
Karena membentuk masa depan bukan soal canggih-canggihan teknologi doang.
Tapi tentang kesadaran kolektif kita hari ini—bagaimana kita menjaga nilai, lingkungan, budaya, ilmu pengetahuan, dan keadilan sosial, supaya semuanya bisa sampai ke masa depan dalam kondisi terbaik.
Jadi Generasi Penjembatan!
Kita hidup di titik penting.
Di antara masa lalu yang penuh pelajaran, dan masa depan yang penuh harapan.
Jadi mari kita jadi generasi penjembatan—yang nggak cuma bangga dengan masa lalu, tapi juga siap menciptakan masa depan.
Karena ketika masa depan akhirnya tiba, semoga ia bisa berkata: “Terima kasih, kalian telah menyiapkan jalan yang baik buat kami.”
Kolaborasi Itu Bukan Pilihan, Tapi Keniscayaan
Dunia riset hari ini udah jauh berubah.
Gone are the days di mana satu orang duduk sendirian di balik tumpukan buku, nulis riset tebal-tebal, dan berharap dunia berubah karena satu paper.
Sekarang, kolaborasi itu jadi napas utama dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Karena kita tahu, masalah yang dihadapi dunia ini—dari perubahan iklim, krisis pangan, sampai disrupsi teknologi—nggak bisa diselesaikan sendirian. Apalagi cuma dari satu sudut pandang.
Satu Kepakaran Aja Nggak Cukup
Sekarang emang lagi tren banget yang namanya “spesialisasi” atau keahlian super spesifik.
Misalnya: ahli biomolekuler, ahli desain etnografis, ahli kebijakan publik di bidang transportasi laut daerah tertinggal—keren kan?
Tapi… apa satu keahlian bisa nyelesain satu masalah besar sendirian?
Ya, nggak juga.
Justru sekarang makin terlihat bahwa satu masalah butuh ditinjau dari banyak kacamata. Perspektif ekonomi, sosial, budaya, teknologi, pendidikan, bahkan spiritualitas kadang saling berkaitan dan ngasih insight yang nggak disangka-sangka.
Membentuk Kelompok Studi Futuristik (KSF)!
Apa itu KSF?
Kelompok Studi Futuristik adalah komunitas terbuka yang saya gagas untuk para dosen, peneliti, akademisi, dan siapa pun yang peduli sama masa depan.
Bukan cuma masa depan teknologi, tapi masa depan peradaban manusia secara luas.
Di KSF, kita bisa: Diskusi santai di warung kopi. Ngobrol ringan atau serius lewat Zoom. Tukar gagasan antar bidang ilmu. Merancang riset kolaboratif lintas disiplin. Berkontribusi untuk ide-ide besar masa depan bangsa dan dunia
Kenapa Harus KSF?
Karena:
Kamu pasti punya insight yang nggak dimiliki orang lain
Kamu nggak sendirian—ada banyak orang yang juga mikirin masa depan dari berbagai bidang
Kita butuh sinergi: dari ilmu sosial sampai teknik, dari sastra sampai data science
Kadang, ide-ide besar lahir dari obrolan santai sambil nyeruput kopi hangat
Masa depan itu lagi ditulis, dan kita semua bisa ambil bagian di dalamnya.
Melalui Kolaborasi Keilmuan, kita nggak cuma memperkaya riset dan gagasan, tapi juga memberi arah baru bagi ilmu pengetahuan agar lebih berguna, relevan, dan berdampak.
Jadi…
Kalau kamu adalah dosen, peneliti, pemikir, atau siapa saja yang punya keinginan untuk berpikir jauh ke depan—mari bergabung bersama kami di KSF.
Nggak ada syarat ribet. Cukup bawa semangat belajar, terbuka, dan siap berbagi.
Karena masa depan yang cerah itu, ya… dimulai dari obrolan hari ini.
Apa Sebenarnya yang Mendasari Kelompok Studi Futuristik (SF)?
Di tengah arus perubahan zaman yang makin cepat, kita semua—baik dosen, peneliti, maupun masyarakat umum—sebenarnya punya satu pertanyaan besar yang sama:
“Ke mana arah masa depan kita?”
Kelompok Studi Futuristik (SF) hadir bukan sekadar untuk menjawab pertanyaan itu, tapi untuk menyelami, membaca ulang, dan membayangkan ulang masa depan secara lebih jernih dan kolaboratif.
Nah, setidaknya ada tiga prinsip dasar yang jadi alasan kenapa kelompok ini penting dan layak untuk tumbuh bersama.
Prinsip Pertama: Antara Ilmu Pengetahuan dan Hasrat
Dalam memikirkan masa depan, kita selalu berada dalam satu dilema:
Di satu sisi, kita mengandalkan ilmu pengetahuan, data, dan logika untuk memahami arah peradaban.
Tapi di sisi lain, kita juga punya hasrat, harapan, kecemasan, bahkan ketakutan terhadap apa yang akan terjadi.
Filsuf Bertrand de Jouvenel menyebut ini sebagai ketegangan antara yang “mungkin” (possibles) dan yang “diinginkan” (desirables).
Yang mungkin adalah segala hal yang bisa dianalisis secara rasional—berdasarkan tren, data, dan pola.
Sedangkan yang diinginkan (atau bahkan ditakuti) sering kali lebih bersifat emosional dan subjektif.
Di sinilah SF mengambil posisi tengah
memediasi antara pengetahuan dan harapan, membangun jembatan agar kita tidak hanya realistis, tapi juga tetap punya visi dan empati terhadap masa depan manusia.
Prinsip Kedua: Masa Depan Adalah Ruang Aktif Kita
Masa lalu? Kita cuma bisa memaknainya.
Masa kini? Ia berjalan terus, bahkan saat kita mencoba memahaminya.
Tapi masa depan?
Di sinilah kita punya ruang nyata untuk berbuat dan memengaruhi.
Dalam SF, kita percaya bahwa masa depan adalah satu-satunya ruang di mana manusia benar-benar bisa berpikir strategis, bertindak kolektif, dan menciptakan arah baru.
Kita tidak ingin hanya jadi penumpang dalam sejarah yang terus bergerak, melainkan ingin menjadi bagian dari mereka yang mengemudikannya.
Prinsip Ketiga: Masa Depan Itu Tidak Tunggal
Sering kali kita terjebak dalam pikiran bahwa masa depan itu cuma satu, seolah dunia ini bergerak ke satu arah pasti.
Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Kelompok Studi Futuristik percaya bahwa ada banyak kemungkinan masa depan—tergantung pada pijakan budaya, disiplin ilmu, pengalaman sejarah, dan nilai-nilai yang kita pegang.
Kita menolak konsep “koloni masa depan” yang memaksa satu cara pandang sebagai kebenaran tunggal.
Justru sebaliknya, kita ingin membuka ruang alternatif.
Memberi tempat bagi keberagaman cara pandang, dari berbagai generasi, latar belakang, dan bidang keilmuan—karena di situlah letak kekayaan masa depan.
Jadi, Apa Motivasi SF Sebenarnya?
Motivasi kami sederhana tapi kuat:
Kami ingin ikut menciptakan masa depan yang lebih baik—bukan hanya untuk diri sendiri, tapi untuk semua.
Melalui riset, diskusi, refleksi, dan kolaborasi lintas ilmu, kami percaya bahwa masa depan bisa dijinakkan, diarahkan, dan dimanusiakan.
Dan yang lebih penting:
Kami percaya, kita semua punya peran.
Karena masa depan yang baik nggak akan datang sendiri. Ia harus dirancang, dipertanyakan, dan dibangun bersama.
Ngebayangin Masa Depan

Pernah nggak sih kamu bengong terus mikir, “Dunia ini 10 tahun lagi bakal kayak gimana, ya?” Nah, kamu nggak sendiri. Banyak orang—termasuk para ilmuwan, peneliti, dan futuris—juga kepo berat soal masa depan. Tapi bedanya, mereka nggak cuma nebak-nebak kayak ramalan zodiak. Mereka punya ilmunya! Namanya studi futuristik.
Eh, ini bukan ilmu meramal pake bola kristal, ya. Ini pendekatan serius tapi seru, buat bantu kita membaca masa depan pakai data, ilmu pengetahuan, dan logika. Nah, di dunia studi futuristik, masa depan itu bisa dikategorikan ke dalam empat jenis. Yuk, kita bahas satu-satu, tapi santai aja—kayak lagi ngobrol di coffee shop.
1. Kemungkinan (Possibles)
Ini versi “semua bisa terjadi”. Kayak… mungkin di masa depan kita bisa liburan ke Mars, atau semua kendaraan udah terbang. Serius, secara teknologi mungkin aja. Tapi ya, apakah pasti kejadian? Belum tentu. Pokoknya ini ranah “bisa aja sih, kenapa enggak?”
2. Pilihan yang Diinginkan (Preferables)
Nah ini tipe masa depan yang kita pengen terjadi. Misalnya, semua orang hidup damai, nggak ada lagi kelaparan, teknologi makin ramah lingkungan, dan semua negara bahu-membahu nyelametin bumi. Indah banget, ya? Tapi… apakah keinginan doang cukup? Tentu nggak. Harus ada aksi nyata supaya hal ini bisa kejadian.
3. Kemungkinan Besar (Probables)
Kalau yang ini udah masuk zona realistis. Berdasarkan tren sekarang, data yang kita punya, dan arah perkembangan teknologi, ini adalah masa depan yang paling mungkin bakal kejadian. Misalnya, AI makin canggih dan ngaruh ke semua lini hidup kita—dari cara kerja sampai cara belanja. Gak sekadar angan-angan, tapi emang on track ke sana.
4. Masuk Akal (Plausibles)
Nah, ini dia yang sering jadi andalan dalam ngebangun skenario masa depan. Masa depan yang masuk akal itu artinya dibangun dari kombinasi pengetahuan, data, dan logika. Kita lihat tren, lihat pola, dan dari situ disusun proyeksi yang make sense. Gak terlalu liar, tapi juga gak terlalu konservatif. Ini yang biasanya paling dipegang buat ngambil keputusan atau bikin strategi jangka panjang.
Jadi… Masa Depan Itu Bisa Diatur?
Yes, masa depan itu bukan cuma untuk dipikirkan, tapi juga bisa dibentuk. Kita bisa milih mana yang paling masuk akal, dan mulai bergerak ke sana. Nggak sekadar nunggu dunia berubah, tapi ikut ambil peran buat nentuin arah perubahan itu sendiri.
Kunci utamanya? Ya itu tadi—pakai ilmu, data, dan pemahaman yang dalam soal tren dan perkembangan zaman. Kalau kita udah paham cara baca masa depan dari sekarang, kita bisa siapin strategi biar nggak cuma jadi penonton, tapi jadi pemain utama dalam cerita besar masa depan.
Penutup
Ngomongin masa depan tuh nggak harus bikin dahi berkerut. Justru harusnya bikin kita semangat! Karena setiap langkah hari ini, sekecil apa pun, bisa jadi bagian dari versi masa depan yang kita pilih.
Jadi, yuk bareng-bareng pikirin dan bangun masa depan yang nggak cuma mungkin, tapi juga masuk akal, realistis, dan pastinya bikin hidup kita (dan dunia) makin keren.
Tinggalkan Balasan