
Kedatangan Fitri ke Sulawesi Selatan
Jejak Tangan di Atas Kain, cerita tentang penelusuran seni Kerajinan di Sulawesi Selatan. Langit Makassar tampak cerah, menyambut dengan gumpalan awan putih dan udara lembap yang menyelinap lembut ke kulit. Fitri menarik napas dalam-dalam saat menuruni tangga pesawat.
Matanya memindai landasan bandara Sultan Hasanuddin, lalu langit, lalu kembali ke tangannya, kamera merek Canon kesayangannya yang nampak tetap baru, walaupun sudah lama menemaninya dari Bali hingga Papua serta beberapa kota eksotik di Indonesia.
Kali ini, ia datang dengan perjalanan dan misi baru: menangkap kisah-kisah yang tertenun dalam kerajinan tangan khas Sulawesi Selatan.
Ia menyibak rambut yang tertiup angin ketika melihat seorang pria muda melambaikan tangan sambil memegang papan bertuliskan di depan pintu kedatangan Bandara Hasanuddin:
“FITRI – KEREN, KREATIF, KURANG TINGGI SEDIKIT.”
Juga Fitri yang menggunakan kaca mata hitam, mendekat, alisnya terangkat. “Serius nih? Kamu tulis itu di papan?”
Pria itu tertawa terkekeh. “Itu buat memastikan kamu tahu papan ini buat kamu. Kan beda dari yang lain, jangan mainstream lah heheh.”
Fitri menyeringai. “Aku Fitri.”
“Yusuf,” jawabnya sambil menjabat tangan. “Pengusaha lokal kecil-kecilan, calon miliarder kata adikku yang bungsu, dan sekarang supir pribadi kamu selama di Makassar”
“Wah, berat juga nih, honor kamu pasti mahal,” canda Fitri.
“Jangan khawatir, Bayarnya cukup dengan kopi Toraja dan tidak rewel soal AC mobil yang harus sedingin kutub utara,” balas Yusuf. “Yuk, kita langsung jalan. Kita langsung ke Sengkang ya Fit”
Baca Juga: Diferensiasi Produk Seni Kerajinan: Estetika dan Strategi Pasar
Menuju Sengkang Kota Sutra
Bersamaan di dalam mobil, Fitri tak bisa menahan kekagumannya pada pemandangan Kota Makassar.
Kota berganti Mulai dari kabupaten Maros, Masuk Pangkep dan Memasuki Kota Pare-pare. menjadi perbukitan dan hamparan sawah yang sangat indah.
Fitri, sibuk merekam video dengan kameranya dari jendela mobil Toyota tahun 2000an, sesekali bertanya pada Yusuf soal bangunan, pakaian khasnya orang Bugis dan Makassar, bahkan soal bentuk rumah panggung yang unik khas Makassar.
“Aku senang kamu antusias,” kata Yusuf sambil tetap menyetir. “Banyak orang datang ke sini cari pantai Losari, tapi lupa kalau di balik kain yang mereka beli di toko suvenir di daerah Sombaopu itu… ada tangan-tangan yang bekerja dengan cerita panjang.”
“Justru Itulah yang aku cari,” jawab Fitri. “Cerita di balik tangan-tangan itu.”
Yusuf menoleh singkat. “Kamu serius ya soal ini.”
Selanjutnya Fitri tersenyum kecil. “Aku pernah dapat email dari seorang ibu. Dia nonton salah satu video dokumenterku tentang pengrajin anyaman di Lombok. Dia bilang, anaknya yang biasanya cuma main game, tiba-tiba minta diajarin bikin anyaman.”
“Wah,” gumam Yusuf. “Dari gamer jadi pengrajin?”
“Belum tentu sih, tapi kalau anak itu jadi lebih menghargai karya tangan… itu sudah cukup buatku.”
Mereka terdiam sejenak, membiarkan suara jalan dan lagu-lagu daerah Bugis dari radio menemani perjalanan. Sampai Yusuf tiba-tiba berseru, “Lho! Aku lupa!”
Fitri tersentak. “Apa?! Ban bocor?!”
“Enggak. Aku lupa mampir beli jalangkote buat kamu. Itu snack khas sini. Bentuknya kayak pastel, tapi lebih… lokal.”
Fitri tertawa lega. “Kupikir darurat beneran.”
“Buatku, kelaparan tamu adalah darurat nasional,” balas Yusuf dramatis. “Tapi tenang, di Wajo kita bisa dapat yang lebih enak.”
Ibu Wandi
Setelah beberapa jam perjalanan, mereka tiba di Sengkang, sebuah kota kecil yang dikenal sebagai pusat pengrajin kain sutra Bugis. Jalan-jalannya sempit tapi bersih, dipenuhi rumah-rumah panggung yang berwarna cerah, seolah setiap rumah adalah kanvas hidup.
Yusuf menghentikan mobil di depan sebuah rumah kayu dengan pekarangan luas. Suara alat tenun terdengar samar dari dalam.
“Inilah rumah Ibu Wandi,” kata Yusuf. “Salah satu pengrajin paling legendaris di sini. Katanya, dia bisa menenun motif hanya dari mimpi.”
Fitri keluar dari mobil, langsung mengangkat kameranya. “Kalau bisa, aku juga pengin mimpiin motif. Mungkin motif tagihan listrik dan deadline.”
Yusuf terkekeh. “Itu sih motif nasional kita semua.”
Di depan rumah, seorang perempuan tua dengan rambut digelung rapi menyambut mereka. Wajahnya bersih, matanya tajam tapi hangat.
“Selamat datang. Kamu Fitri, ya?” sapanya.
“Betul, Ibu. Saya pengagum berat kain tenun Bugis.”
“Wah, kamu dari Jakarta tapi suka kain kampung. Bagus. Anak muda sekarang lebih banyak suka yang instan.”
“Mie instan pun saya tenun sendiri, Bu,” kata Fitri penuh gaya.
Ibu Wandi tertawa. “Kalau begitu, masuklah. Aku mau tunjukkan benang-benang yang sudah tua dari umur Yusuf.”
“Hei!” protes Yusuf.
Mengenalkan Motif Sutera
Mereka masuk ke rumah panggung itu. Di ruang tengah, ada alat tenun kayu besar dan beberapa gulungan benang warna-warni. Di sudut ruangan, kain-kain yang sudah jadi tergantung, memamerkan motif khas Bugis: balo lobang, balo renni, dan leja-leja.
Fitri berjalan pelan, menyentuh lembut salah satu kain. “Semua ini ditenun sendiri oleh Ibu?”
Ibu Wandi mengangguk. “Tanganku sudah seperti mesin tenun. Tapi bedanya, aku bisa menangis waktu menenun.”
Fitri menoleh, kaget.
“Setiap motif punya cerita. Ada yang aku buat saat anakku sakit. Ada juga yang aku tenun waktu suamiku pergi. Semua benang ini menyerap perasaan.”
Fitri menelan ludah. Ia mengangkat kameranya pelan, merekam wajah Ibu Wandi yang kini tampak lebih muda dalam cahaya sore yang masuk dari jendela.
“Kalau begitu, boleh saya rekam kisah-kisah itu, Bu?”
Ibu Wandi tersenyum lebar. “Asal jangan pas aku ngupil aja, ya.”
Fitri dan Yusuf tertawa keras. Suasana jadi hangat, seperti benang-benang yang bersilang di alat tenun: erat, rapat, dan penuh warna.
Setelah sore berganti malam, Fitri dan Yusuf duduk di beranda rumah. Angin membawa bau benang, kayu, dan sedikit aroma laut dari kejauhan.
“Besok kita lanjut ke Tana Toraja,” kata Yusuf. “Di sana beda. Lebih mistis, lebih… dalam.”
Fitri menatap langit yang mulai ditaburi bintang. “Aku siap. Tapi malam ini, aku mau duduk dulu di sini. Diam. Menyerap cerita-cerita yang tadi.”
Yusuf mengangguk. “Kadang, diam juga bagian dari merekam.”
Dan malam pun melanjutkan tenunannya sendiri—benang angin, cahaya bintang, dan langkah dua orang yang datang untuk mencari jejak tangan di atas kain.
Danau, Benang, dan Cerita Ramlah
Mobil Yusuf melaju pelan di jalan kecil yang diapit persawahan. Angin berembus membawa aroma air dan rerumputan basah. Dari kejauhan, Danau Tempe membentang tenang, seperti cermin besar yang memantulkan langit siang yang putih kebiruan.
Fitri menempelkan wajahnya ke jendela. “Itu Danau Tempe?”
Yusuf mengangguk. “Iya. Dan di tepinya, kita akan bertemu Ramlah. Perempuan paling sabar se-Sengkang, tapi juga paling galak kalau kamu sentuh kainnya tanpa cuci tangan.”
“Noted. Jangan sentuh kain, atau kena tampar benang,” kata Fitri sambil mencatat pura-pura serius di ponselnya.
Tak lama, mobil berhenti di depan rumah panggung tua yang berdiri kokoh di tepian danau.
Warnanya sudah pudar, tapi tetap terlihat anggun, seperti perempuan tua yang tetap berdiri tegak dengan kepala terangkat. Di bawahnya, perahu kayu kecil terikat di tiang, bergoyang pelan tertiup angin.
Ramlah muncul dari balik tirai rumahnya. Usianya sekitar lima puluh, tapi sorot matanya tajam seperti jarum tenun yang sedang bekerja. Ia mengenakan sarung sutra dan baju bodo sederhana, rambutnya disanggul rapi.
“Kalian dari Jakarta?” tanyanya sambil menuruni tangga rumah.
Fitri tersenyum dan menjulurkan tangan. “Saya Fitri. Ini Yusuf, pemandu, penyemangat, dan supir andalan.”
Yusuf menyambung cepat, “Juga tukang angkat kamera dan pengingat makan siang.”
Ramlah mengangguk, lalu matanya jatuh ke kamera Fitri. “Kamu rekam-rekam nanti ya? Tapi jangan hanya kainku. Rekam juga tanganku. Karena kain bisa dibuat ulang, tapi tangan yang membuatnya tidak bisa diduplikasi.”
Ibu Ramlah
Kalimat itu membuat Fitri terdiam sejenak. Ia langsung menyalakan kameranya, mulai merekam langkah Ramlah yang kembali naik ke rumah panggung.
“Masuk, silakan,” kata Ramlah. “Tapi jangan takut kalau rumah ini berderit. Itu suara kayu tua yang bicara.”
Di dalam, suasana rumah dipenuhi bau benang dan kayu jati yang sudah mengeras oleh usia. Sebuah alat tenun kayu besar berdiri di tengah ruangan, tampak seperti makhluk hidup yang sedang beristirahat.
Ramlah duduk di bangku rendah, menyentuh benang-benang warna hijau zamrud yang siap ditenun. Ia mengajak Fitri mendekat.
“Ini benang sutra dari ulat-ulat yang kami pelihara sendiri. Butuh waktu berminggu-minggu untuk memintalnya. Tapi bagian paling penting adalah motifnya.”
“Motif?” tanya Fitri sambil menyiapkan kamera.
“Setiap motif itu seperti cerita. Ini,” katanya sambil menunjukkan satu bagian dari kain, “namanya balo lobang. Simbol dari keterbukaan hati. Kalau orang Bugis pakai motif ini, artinya dia siap menerima siapa saja, termasuk musuhnya.”
Fitri terkesiap. “Motif yang kamu pakai bisa ngasih pesan sekuat itu?”
Ramlah mengangguk. “Di masa lalu, kita tidak banyak bicara. Tapi ketika perempuan menenun, mereka sedang menyampaikan isi hati mereka. Kalau sedang marah, motifnya rapat dan gelap. Kalau sedang jatuh cinta, warnanya terang dan garisnya lembut.”
Yusuf yang sedari tadi duduk di sudut ruangan ikut bersuara. “Makanya jangan salah kasih kain ke calon mertua. Nanti dikira kamu ngajak berantem.”
Fitri tertawa, tapi kemudian kembali fokus ke Ramlah. “Ibu belajar dari siapa?”
Suara alat tenun
Ramlah menatap tenunannya sejenak sebelum menjawab, “Dari ibu saya. Dan beliau belajar dari nenek saya. Tapi sekarang…” Suaranya melemah. “Sekarang, anak-anak lebih senang main HP daripada memegang benang.”
Fitri menurunkan kameranya perlahan. “Tidak ada yang mau meneruskan?”
Ramlah menggeleng pelan. “Dua anak saya kerja di kota. Mereka bilang, ‘Mak, tenun itu melelahkan, penghasilannya kecil.’ Saya tak bisa menyalahkan mereka. Dunia berubah. Tapi kadang saya takut… takut suatu hari, suara alat tenun ini berhenti untuk selamanya.”
Fitri menatap alat tenun itu, lalu tangan Ramlah yang mulai menenun perlahan. Setiap gerakan tampak seperti tarian kecil: tarikan, lilitan, dorongan. Suara kayu yang beradu ritmis menjadi nyanyian sederhana yang menenangkan.
Ia menyalakan kameranya lagi, tapi kali ini tak hanya untuk merekam. Ia ingin mengabadikan, mengamankan warisan yang hidup dari tangan Ramlah.
“Boleh saya duduk di sebelah Ibu?” tanya Fitri.
“Tentu. Tapi jangan kaget kalau kamu ditarik ikut menenun,” jawab Ramlah sambil tersenyum nakal.
Fitri duduk di bangku kecil, memperhatikan cara Ramlah menyisipkan benang ke celah-celah kain. Ia mencatat dalam benaknya: setiap tarikan benang adalah ingatan. Setiap motif adalah emosi yang dibungkus warna.
Ramlah tiba-tiba berkata lirih, “Kadang saya merasa sedang berbicara dengan masa lalu. Setiap kali saya tenun, saya dengar suara ibu saya membisik, ‘Ramlah, luruskan garisnya. Jangan terburu-buru.”
Filosofi
Fitri menatapnya, dan untuk sesaat, ia merasa seperti anak kecil yang sedang mendengarkan dongeng kuno. Tapi ini bukan dongeng. Ini kenyataan yang perlahan-lahan menghilang jika tidak ada yang menjaga.
Yusuf datang membawa gelas teh hangat. “Ayo, teh dulu. Jangan sampai Fitri pingsan karena terlalu banyak filosofi.”
“Tenang, aku bisa hidup dari teh dan cerita,” kata Fitri sambil menerima gelas. Ia menoleh ke Yusuf dan berkata, “Kita harus buat video yang bukan cuma cantik gambarnya, tapi juga kuat pesannya.”
Yusuf mengangguk serius. “Setuju. Kalau bisa bikin anak-anak kota tertarik pegang benang, itu sudah revolusi.”
Fitri menatap kamera, lalu memandang kembali ke Ramlah. “Kita mulai dari sini, dari tangan Ibu.”
Dan di bawah rumah panggung itu, di tepi danau yang tenang, sebuah warisan kembali berbicara lewat suara kayu, benang yang tertarik, dan tangan yang tak pernah lelah menenun waktu.
Ukiran Kabut dan Tawa Daeng Baco
Mobil yang mereka tumpangi meliuk pelan menyusuri jalanan menanjak. Udara mulai dingin, jendela sedikit berembun, dan pepohonan pinus menjulang seperti pagar hijau yang menjaga tanah Toraja. Kabut turun tipis, menyelimuti lereng-lereng bukit yang sunyi dan memesona.
Fitri menempelkan kamera di kaca jendela, merekam kabut yang menari di antara pepohonan.
“Kalau kita tersesat di sini, kamu yakin bisa hidup dari foto-foto kabut?” tanya Yusuf sambil menyetir pelan.
“Tenang, aku bisa barter hasil jepretan dengan singkong rebus warga,” jawab Fitri.
“Kalau begitu, aku jadi tukang promosinya. ‘Singkong rebus bersertifikat bintang lima oleh videografer Jakarta.’”
Mereka tertawa, tapi kemudian hening sejenak ketika Tongkonan pertama terlihat—rumah adat khas Toraja dengan atap melengkung seperti perahu yang mendarat di pegunungan. Fitri menahan napas. Matanya membelalak kagum.
“Ini kayak dunia lain,” bisiknya.
Bertemu Daeng baco
“Selamat datang di tanah leluhur,” ucap Yusuf. “Dan siap-siap ketemu Daeng Baco. Orangnya… unik.”
Mobil berhenti di halaman rumah adat besar yang dihiasi ukiran warna merah, kuning, dan hitam. Seorang pria paruh baya dengan topi anyaman dan sarung yang dililit longgar di pinggang melangkah ke arah mereka. Senyumnya lebar, matanya jenaka.
“Kamu dari Jakarta?” serunya pada Fitri. “Wah, pasti lebih suka macet di jalan daripada macet ukiran saya!”
Fitri tertawa. “Tergantung, ukirannya bisa viral di TikTok nggak?”
“Kalau kamu yang rekam, pasti bisa,” jawab Daeng Baco sambil menyodorkan tangan.
“Saya Daeng Baco. Pemahat ukiran paling tampan dari semua sudut Toraja. Cuma belum sempat jadi selebgram.”
Yusuf menyenggol lengan Fitri. “Sudah kubilang, unik, kan?”
Mereka duduk di beranda Tongkonan, ditemani secangkir kopi Toraja yang harum dan panas. Daeng Baco menunjukkan beberapa alat ukir dari besi dan kayu, lalu membawa mereka ke dinding belakang rumah.
“Lihat ini,” katanya sambil menunjuk pola berbentuk spiral dan garis-garis yang rumit. “Ini namanya pa’ssura. Ini bukan sekadar ukiran. Ini bahasa.”
“Bahasa?” tanya Fitri sambil mengarahkan kameranya.
“Betul. Ini cerita tentang leluhur. Tentang siapa yang membangun rumah ini, bagaimana mereka hidup, dan bagaimana mereka ingin dikenang. Setiap bentuk punya arti. Garis lurus itu tanda kekuatan, spiral itu kebijaksanaan, dan pola bunga… itu lambang perempuan yang menjaga rumah.”
tidak ada tombol undo
Fitri terpaku. Tiba-tiba, ukiran yang semula tampak seperti ornamen indah berubah menjadi dokumen sejarah. Ia mendekat, menyentuh kayu yang dingin dan keras, tapi terasa hangat karena makna yang terkandung.
“Saya merasa… seperti menyentuh jiwa orang yang sudah lama pergi,” gumam Fitri.
Daeng Baco mengangguk pelan. “Begitulah. Ukiran ini bukan untuk dilihat saja. Tapi untuk diresapi.”
Ia mengambil alat ukir dan mulai menunjukkan proses memahat langsung di selembar papan kayu.
“Begini caranya. Tapi hati-hati… sekali salah, tidak bisa dihapus. Tidak ada tombol undo dalam ukiran.”
Kemudian Fitri tertawa kecil. “Berarti harus fokus, ya?”
“Fokus, sabar, dan… jangan lapar,” jawab Daeng Baco sambil mengerling. “Karena kalau perut keroncongan, tangan suka salah arah.”
“Pantes motifnya bisa jadi bunga padahal maksudnya harimau,” sela Yusuf.
Mereka semua tertawa. Tapi tak lama kemudian, suasana kembali tenang ketika Daeng Baco meletakkan alat ukirnya. Ia menatap dinding Tongkonan, lalu menghela napas.
“Sekarang yang bisa ukir seperti ini tinggal sedikit. Anak-anak muda bilang ini pekerjaan kotor, nggak keren, nggak ada di Instagram.”
“Tapi bisa viral kalau dikemas dengan cerita,” kata Fitri.
“Ah, saya ini cuma tukang ukir. Bukan tukang kemas,” ujar Daeng Baco dengan senyum pahit.
Rekam dari sini
Fitri mendekat. “Tapi cerita ini penting, Daeng. Saya bisa bantu bawa ceritanya ke luar. Supaya orang tahu, supaya anak-anak kota bisa lihat dan mungkin—mungkin saja—mereka jadi penasaran. Atau bahkan tergerak.”
Daeng Baco menatapnya sejenak. “Kalau begitu, rekam dari sini,” katanya sambil berdiri di samping dinding ukiran. “Biar kamu bisa lihat tangan saya yang sudah gemetar, tapi masih mau menuliskan sejarah.”
Fitri mengatur kameranya. Cahaya kabut pagi masih menggantung tipis, menambah dramatis suasana. Di balik sorot lensa, ia menangkap siluet lelaki tua yang memahat kayu seperti sedang menulis puisi di atas batu.
“Kalau boleh tahu,” tanya Fitri, “apa ukiran yang paling penting buat Daeng?”
Daeng Baco diam sejenak, lalu menunjuk satu pola kecil di pojok bawah dinding. “Yang itu. Namanya pa’tedong, motif kerbau. Itu saya ukir waktu ayah saya meninggal. Butuh tiga hari, dan tiga malam. Saya tidak makan, tidak tidur. Tapi saat selesai, rasanya… seperti saya sudah bicara dengan beliau untuk terakhir kalinya.”
Fitri menahan napas. Ia tahu, tidak semua cerita harus panjang. Kadang satu motif kecil bisa memuat seluruh dunia seseorang.
Di akhir kunjungan, sebelum mereka pamit, Daeng Baco memberikan sepotong kecil kayu dengan ukiran sederhana di atasnya.
“Ini untukmu,” katanya. “Ukiran bunga kecil. Biar kamu ingat, bahwa tangan juga bisa bicara.”
Fitri menerima potongan kayu itu seolah menerima pesan rahasia. Ia menatapnya lama, sebelum menyelipkannya ke dalam tas kameranya.
“Terima kasih, Daeng. Saya akan bawa cerita ini ke mana pun saya pergi.”
Dan saat mereka turun kembali dari pegunungan, kabut mulai menghilang, tapi cerita yang mereka bawa justru semakin jelas: tentang tangan yang menciptakan, tentang warisan yang hampir hilang, dan tentang suara kayu yang tak boleh padam.
Warung Kopi dan Jejak Masa Depan
Kemudian Malam turun perlahan di sebuah sudut kota kecil di Toraja. Lampu-lampu temaram menyala malu-malu, dan aroma kopi robusta panggang mulai mengisi udara.
Sebuah warung kopi sederhana, berdinding kayu dan beratap seng, menjadi tempat pertemuan empat orang dari latar berbeda tapi dengan satu kecintaan yang sama: warisan budaya.
Fitri duduk dengan hoodie dan sarung yang baru dibelinya—kombinasi yang membuatnya tampak seperti “pejuang konten budaya” versi lokal.
Di sebelahnya Yusuf, sibuk mengatur sambungan Wi-Fi warung yang lebih sering putus daripada tersambung. Sementara di seberang meja, Ramlah dan Daeng Baco tampak menikmati kopi hitam mereka dengan khidmat.
“Ini kopi tanpa gula, ya?” tanya Fitri sambil menyeruput.
“Kalau manis terus, hidupmu jadi kurang realistis,” jawab Ramlah dengan senyum tipis.
Daeng Baco tertawa kecil. “Betul. Pahit itu perlu. Biar kita tahu nikmatnya manis kalau datang.”
Yusuf menaruh ponselnya dan berkata, “Saya serius mau bahas ini. Bukan cuma soal dokumenter, tapi lebih dari itu. Gimana caranya kita bisa jaga kerajinan tradisional… tanpa membuatnya jadi museum berjalan?”
Fitri mengangguk. “Aku juga merasa begini: waktu pegang kamera di rumah Ibu Ramlah atau lihat tangan Daeng Baco ukir kayu, rasanya bukan kayak kerja. Lebih kayak… panggilan.”
Ramlah menatap mereka satu per satu. “Tapi kalian tahu kan, susahnya ngajak anak-anak muda untuk duduk tenang di depan alat tenun? Mereka lebih pilih scroll TikTok berjam-jam daripada pilin benang sejam.”
Daeng Baco mengangkat alis. “Asal jangan bikin saya jadi selebriti TikTok aja. Nanti saya disangka influencer ukiran.”
Semua tertawa.
Belajar tenun tanpa bicara
Kemudian Yusuf membuka laptop yang dibawanya. “Dengar dulu ideku. Bayangkan ini: seri dokumenter pendek, dibagi jadi episode-episode lima menit. Tiap episode cerita tentang satu pengrajin, satu teknik, satu filosofi. Lalu, kita gabungkan semua di platform online—bisa di YouTube, Instagram, bahkan TikTok.”
“Tetep TikTok juga?” sahut Daeng Baco.
“Tenang, Daeng. Gak perlu joget. Cukup nunjukin tangan kerja, ukiran terbentuk, dan cerita mengalir. Visualnya kuat. Emosinya jalan.”
Selanjutnya Fitri menambahkan, “Dan kita bisa buat katalog online. Foto-foto produk, cerita pembuatnya, bahkan filosofi motif. Jadi orang gak cuma beli kain atau ukiran karena cantik, tapi karena tahu ceritanya.”
Ramlah tampak berpikir. Ia menyesap kopinya, lalu berkata pelan, “Dulu saya diajari menenun tanpa bicara. Cuma amati, tiru, ulangi. Kalau sekarang, anak-anak butuh alasan. Mungkin ini jalannya.”
sehelai kain bersama
“Kita juga bisa buat pelatihan,” ujar Yusuf. “Tapi formatnya kreatif.
Bisa jadi workshop pendek, dikemas kayak bootcamp, dan… kerja sama dengan sekolah-sekolah lokal.”
Fitri menatap mereka semua. “Kita bisa ajak mereka menenun satu helai kain bersama. Satu motif, dari sepuluh anak muda. Kain itu jadi simbol: bahwa warisan ini bisa hidup kalau disentuh banyak tangan.”
Daeng Baco menatap kayu pahatan kecil yang selalu ia bawa di saku. “Kalian serius ya?”
“Serius, Daeng. Ini bukan proyek biasa buat saya,” kata Fitri, suaranya lebih dalam.
“Saya sudah ke banyak tempat. Tapi baru di sini saya merasa… saya gak cuma merekam. Saya sedang menyelamatkan.”
Hening sejenak. Di luar, suara serangga malam menyusup lewat celah dinding. Warung itu seperti ruang kecil di mana masa lalu, masa kini, dan masa depan duduk bersama minum kopi.
Ramlah akhirnya mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan lupa, ini bukan hanya soal teknik. Ini soal hati. Kalau tidak datang dari hati, benang itu akan kusut.”
Daeng Baco menepuk pundak Yusuf. “Dan jangan lupa: ajari anak-anak itu sabar. Karena mengukir itu bukan urusan sehari, tapi seumur hidup.”
Yusuf tersenyum lebar. “Saya siap. Kita mulai dari sini. Dari warung kopi ini.”
Fitri mengangkat cangkir kopinya. “Untuk benang, kayu, dan tangan-tangan yang tak pernah lelah.”
Semua mengangkat cangkir mereka. Tidak ada sorak sorai. Hanya senyum dan tatapan yang saling memahami: bahwa malam itu, di warung kecil yang nyaris tak terdeteksi Google Maps, sesuatu sedang dimulai.
Sesuatu yang akan menyulam masa depan dengan benang dari masa lalu.
Pameran Mini di Sekolah Lokal
Pagi itu, halaman sekolah dasar di pinggir kota kecil Wajo berubah jadi semacam galeri budaya mini.
Tiang bendera dihiasi kain tenun, dan papan-papan kayu dipasang di sudut halaman untuk memamerkan ukiran simbol-simbol leluhur.
Beberapa guru mematung kagum saat melihat deretan alat tenun sederhana berdiri berdampingan dengan pahatan kayu yang menggambarkan rumah Tongkonan.
Yusuf berdiri di tengah lapangan, mengenakan sarung dan kaos polos. Ia menyambut anak-anak yang datang berlarian dengan penuh semangat.
“Masuk, masuk! Tapi jangan langsung tanya mana snack-nya ya. Ini bukan ulang tahun!”
Anak-anak tertawa, sebagian langsung mengerubungi meja yang memajang benang warna-warni. Di sisi lain, Fitri sibuk memasang tripod dan mengecek lensa. Wajahnya berbinar.
“Kalau ini berhasil,” katanya pada Yusuf, “kita bisa bikin program keliling sekolah. Satu kabupaten, satu warisan.”
Suara doa, suara rindu
Yusuf mengangguk, sambil melirik Ramlah yang sudah duduk bersila di atas tikar. Kemudian Di hadapannya, benang-benang disusun rapi di alat tenun, dan tiga anak perempuan duduk penuh penasaran.
“Kalau mau menenun, pertama-tama yang dibutuhkan bukan tangan,” kata Ramlah dengan suara lembut, “tapi hati yang sabar.”
Kemudian Salah satu anak mengangkat tangan. “Bu, kalau saya gak sabaran, bisa gak tenunnya pakai mesin aja?”
Juga Ramlah tersenyum. “Kalau semua pakai mesin, nanti kainnya hilang suaranya.”
“Suaranya?” tanya anak lain.
“Ya. Kain dari tangan manusia menyimpan suara. Suara ibu yang menunggu, suara doa, suara rindu. Mesin hanya cepat, tapi tak punya cerita.”
Namun Tak jauh dari sana, Daeng Baco berdiri di depan papan kayu besar. Di tangannya, sebilah alat ukir seperti tongkat sihir, dan di wajahnya—senyum khas yang tak pernah padam.
“Nah, anak-anak, ukiran itu kayak menulis diary. Tapi pakai kayu!” katanya penuh semangat. Selanjutnya “Kalau kamu lagi senang, garisnya bisa melengkung. Kalau kamu habis dimarahi ibu… garisnya bisa tajam!”
Anak-anak tertawa.
Beberapa mulai mencoba memahat dengan tangan gemetar, sementara Daeng Baco berdiri di belakang mereka, memberi arahan sambil melontarkan komentar yang membuat semua guru ikut tersenyum.
“Eh, ini ukiranmu mirip tapak kucing! Tapi gak apa-apa, itu artinya kamu pecinta binatang!”
Fitri terus merekam. setelah itu Lensa kameranya menangkap cahaya matahari yang jatuh ke serat benang, ke mata anak-anak yang berbinar, ke tangan-tangan kecil yang mulai mengenal warisan mereka.
Sesekali ia berhenti, menurunkan kameranya, dan hanya… mengamati. Meresapi.
Ini bukan sekadar proyek.
Ini sebuah permulaan.
Kembali ke Jakarta dengan Hati yang Penuh
Beberapa hari kemudian, Fitri kembali ke Jakarta. Di bandara, ia duduk sambil memutar ulang beberapa video di kameranya.
Setelah itu Terlihat Ramlah sedang menenun dengan sabar, suara alat tenun beradu seperti denting harapan.
Sebaliknya Terlihat Daeng Baco memahat sambil tertawa, dikelilingi anak-anak yang sudah lupa kalau mereka sedang belajar sesuatu yang “tidak gaul”.
selanjutnya Di dalam pesawat, Fitri menatap langit senja dari balik jendela. Di tangannya, ia masih memegang potongan kayu kecil yang diberikan Daeng Baco.
Ukiran bunga kecil di permukaannya kini terasa seperti simbol yang menyimpan seluruh perjalanannya.
Beberapa minggu kemudian, tulisannya tayang di blog pribadi yang mulai ramai pembacanya. yang Judulnya sederhana:
“Jejak Tangan di Atas Kain”
Kemudian “Saya bertemu tangan-tangan yang tak hanya menciptakan, tapi menjaga. Menenun dengan cinta, memahat dengan ingatan. Mereka tidak sekadar membuat barang—mereka merawat identitas.”
Juga Di Sengkang, saya belajar bahwa sehelai kain bisa menjadi suara hati yang tak terdengar. Di Toraja, saya menyadari bahwa ukiran bisa menjadi cara untuk mengingat siapa diri kita.
Kemudian Ramlah bilang, ‘Kain ini menyimpan rindu.’ Daeng Baco bilang…
“Yang kita ukir bukan cuma kayu, tapi ingatan orang tentang siapa kita dulu.”
Dan saya percaya, selama masih ada yang mau mendengar, merekam, dan meneruskan, jejak itu tidak akan hilang. juga Ia hanya menunggu untuk ditemukan kembali oleh tangan-tangan baru.
Kemudian Tulisan itu dibagikan ribuan kali. Beberapa media mengangkat kisahnya. Sekolah-sekolah mulai mengundang Fitri dan Yusuf untuk bercerita. Bahkan, ada pesan masuk dari seorang anak SMA:
“Mbak, aku pengin belajar menenun. Kira-kira Ibu Ramlah mau ngajarin aku nggak?”
selanjutnya Fitri tersenyum sambil menatap layar.
Ya, pikirnya. Mungkin inilah tujuan semua ini.
Tentu Bukan sekadar menjaga tradisi, tapi membuat orang ingin menyentuhnya lagi—dengan tangan, dengan rasa, dan dengan harapan.
aLim albugis
inspiratif, madeceng
athobasomarannu70@gmail.com
Terima ksih om Alim, bagaimana buka puasa di makassar? jangan bikin ngiler om wkwkwk
Anonim
Menarik sekali om, Keren..
tulisannya mengena, bener bener membawa pembaca seperti dalam cerita sebenarnya. Pilihan diksi bahasa juga sangat menggambarkan piawai nya penulis ini✨
athobasomarannu70@gmail.com
terima kasih, semoga bisa menulis dengan cerita yang lain, sekali lagi makasih