Masa Depan Kriya Indonesia: Saat Teknologi Bertemu Tradisi

Bagikan ke
Masa Depan Kriya Indonesia: Saat Teknologi Bertemu Tradisi

Masa depan kriya Indonesia mungkin ada saja yang pesimis dengan perkembangannya. Namun tidak sedikit juga yang tetap optimis, walaupun sekarang tren pasa global dengan kebijakan trump semakin besar pengaruh eksport.

Lalu Apa jadinya manakala warisan kriya (kerajinan) di Indonesia. Yang sarat nilai tradisional dan filosofi kemudian berhadapan langsung dengan mesin-mesin modern dan teknologi digital? ngeri juga ya?

Akankah warisan itu kehilangan jiwanya atau malahan menemukan bentuk dan nilai baru yang lebih hidup dan relevan? itu bisa saja! Nggak mustahil kan!

Jawabannya sebagai ada dalam artikel yang menurut saya sangat menarik berjudul “Transformasi Kriya dalam Berbagai Konteks Budaya pada Era Industri Kreatif”. Judulnya saja terlihat adanya fenomena yang menarik.

Artikel yang merupakan karya Alvi Lufiani Artikel yang merupakan karya Alvi Lufiani. Dari Program Studi Kriya Seni, Jurusan Kriya, Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Artikelnya terbit dalam ARS: Jurnal Seni Rupa dan Desain Volume 21 Nomor 2 – Agustus 2018. Menjadi salah satu jawaban seni kriya kita masa depan.

Artikel ini menarik bukan sekadar analisis biasa. Tulisan ini menjadi kisah perjalanan kriya Indonesia dari masa lalu yang penuh kearifan. Menuju masa depan yang penuh tantangan dan peluang.

Baca juga ; Motif Kalong Serawak: Jejak Simbolik Orang Ulu

Seni Kriya yang Tak Lagi Diam

Masa depan kriya Indonesia . Pada bagian awal artikel dalam pembukaannya. Penulis ngajak kita untuk menyadari bahwa seni kerajinan bukanlah seni yang beku di masa lalu. Ia adalah bentuk seni yang dinamis, selalu berkembang, berevolusi bersama zaman, masyarakat, dan teknologi.

Artinya tidak statis sebagaimana pesepsi kita pada umumnya tentang sebuah hasil seni kerajinan. Ya gitu-gitu aja! Bahkan kita menyebutnya monoton!

Bedalah! karena apa yang Alvi tulis pada artikel itu, menekankan bahwa transformasi kriya tidak hanya terjadi pada aspek visual (intra-estetik), tetapi juga pada peran sosial dan ekonomi (ekstra-estetik) kriya itu sendiri.

Artinya perubahan bukan hanya visualnya tapi konsepnya juga terus berkembang.

Sebelumnya, kriya terkadang diasosiasikan atau konotasinya dengan peralatan rumah tangga, alat dapur, atau benda budaya sehari-hari yang kita gunakan ataupun yang kita jadikan hiasan rumah.

Namun di era industri kreatif, kriya menjelma menjadi produk dengan identitas kompleks, menyerap nilai teknologi, ekonomi, bahkan strategi branding.

Semua menyatu dan saling menguatkan!

Teknologi dan Tangan: Dua Dunia yang Kini Bersalaman

Teknologi dan Tangan: Dua Dunia yang Kini Bersalaman

Salah satu kekuatan utama artikel ini adalah pada bagaimana penulis menyampaikan bahwa dunia kriya tidak menolak teknologi, tetapi justru merangkulnya. Inliah tawaran yang menarik dalam dunia kerajinan!

Penulis memberi contoh menarik dari luar negeri—seperti Rona Fisher, perancang perhiasan dari Philadelphia yang kini menggunakan aplikasi teknologi CAD (Computer-Aided Design) dalam merancang karya, tanpa meninggalkan nilai keterampilan tangan.

Inilah yang saya maksudkan bahwa penulis mampu membrikan tawaran dan contoh menarik bahwa kerajinan itu selalu berkembang.

Namun yang paling menggugah adalah contoh dari dalam negeri: Dedy Shofianto, kriyawan asal Jambi lulusan ISI Yogyakarta, yang menciptakan kumbang kinetik dari kayu.

Ungkapan karya seni kerajinan itu secara bebas di ungkapkan oleh Dedy.

penulis juga memberikan contoh pada Kisah lain datang dari Kirsten Hassenfeid, yang menciptakan perhiasan rumit berbahan dasar kertas dan memanfaatkan teknologi laser cutting untuk menciptakan detail yang mustahil dilakukan secara manual.

Ini adalah titik temu seni kerajinan tradisional dan teknologi yang ajaib antara kerajinan tangan dan presisi digital menyatu dan saling mendukung.

Kumbang itu tak hanya menjadi karya visual, tetapi juga bergerak secara mekanis, Dedy Shofianto mampu menggabungkan seni, budaya lokal, teknologi, dan kenangan masa kecil.

Dalam karya Dedy, kita menyaksikan bagaimana kriya bisa bergerak—secara harfiah dan filosofis. kemudian ada teknologi yang menempel, tapi bukan sekedar nempel, namun ada maknanya

Transformasi sebagai Nafas Baru

Penulis dengan jeli dan menjelaskan dengan sederhana dala artikel tersebut menunjukkan bahwa transformasi teknologi digital bukanlah ancaman, melainkan justru jalan untuk menyelamatkan kriya dari stagnasi.

Di era ketika produk kriya bersaing di pasar global, inovasi menjadi kunci. Dan justru karena Indonesia kaya akan budaya lokal dan teknik kriya tradisional, kita memiliki modal kuat untuk tampil di panggung dunia dengan keunikan yang tak dimiliki negara lain.

Sebagai penulis, Alvi menyampaikan bahwa kolaborasi antara pengrajin, akademisi, praktisi, dan pemerintah adalah kunci untuk menciptakan ekosistem kriya yang kuat.

Ia menekankan pentingnya tidak hanya menjadi pengikut tren, tetapi juga penciptanya, dan inilah yang saat ini peran kriyawan yang di tunggu-tunggu.

Apa yang Bisa Kita Petik?

Bagi pembaca umum, artikel ini membuka mata bahwa kriya bukan sekadar kerajinan tangan dari masa silam.

Kerajinan adalah cerminan dari masyarakat yang adaptif, inovatif, dan penuh semangat untuk terus berkembang.

Bagi pelaku industri kreatif, artikel ini adalah pengingat bahwa mempertahankan nilai tradisional tidak berarti menolak teknologi.

Bukan antipati dengan teknologi digital! tidak!

Justru dengan menggabungkan keduanya, kerjainan mampu naik kelas menjadi produk unggulan yang dapat lebih berbicara dan menempatkan dirinya sebagai kerajinan hebat pada ranah internasional.

Kriya yang Bergerak ke Masa Depan

“Transformasi Kriya dalam Berbagai Konteks Budaya pada Era Industri Kreatif” bukan hanya jurnal yang mengulas pergeseran bentuk seni.

Ia adalah catatan penting tentang bagaimana Indonesia, dengan segala keragaman budaya dan kekayaan lokalnya, bisa menjadikan kerajinan sebagai wajah baru dari kreativitas masa kini.

Jika kamu ingin memahami bagaimana kerajinan tidak hanya bertahan tapi juga bersinar di era digital, jurnal ini adalah pintu masuk yang kaya inspirasi.

Tertarik membaca jurnal aslinya?

Cek di ARS: Jurnal Seni Rupa dan Desain, Volume 21 Nomor 2 – Agustus 2018
Penulis: Alvi Lufiani, ISI Yogyakarta

Jika saat ini kamu sedang membuat karya di bidang seni atau kriya, mungkin ini waktunya berhenti bertanya “teknologi akan menggantikan tangan manusia?”, dan mulai bertanya:
“Bagaimana tangan manusia bisa bersinergi dengan teknologi untuk menciptakan sesuatu yang belum pernah ada?”

Bagaimana? bolehlah komentar lainnya untuk memberikan arti pada seni kriya Indonesia.

Pengulas: Baso Marannu (pemerhati seni kerajinan Indonesia) owner pengembang website www.ragamhiasindonesia.id. saat ini sebagai peneliti Ahli Madya pada Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban – BRIN