Stereotip Ragam Hias Tradisional dalam Media Kontemporer

Stereotif ragam hias tradisional dalam media kontemporer

Eksploitasi Keunikan

Stereotip ragam hias tradisional membuat saya kadang kepikiran juga, mengapa setiap ngomongin ragam hias tradisional,

kita yang terbayang kalo nggak batik, ukiran kayu, kerajinan hingga motif-motif anyaman yang klasik.

Pertanyaan sederhananya, mengapa selalu saja kepikiran kehal-hal itu? Padahal cakupan ragam hias tradisional di Indonesia ini sangat luas dan memiliki keunikan yang khas.

Termasuk beberapa cabang atau variasi dari seluruh media dengan beberapa macam produk kreatifnya.

Kenyataannya saat ini, media kontemporer sering sekali mempersepsikan ragam hias

Terbatas pada pelengkap dekorasi yag ‘eksotis’ dan ‘estetis’ tanpa mengenali makna filosofisnya.

Seni ragam hias itu, dulunya memang tidak sekedar ‘penghias’ dari elemen yang mengikutinya,

tapi makna simbolik menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Setiap menghasilkan produk ragam hias, setiap motif dan pola yang terbentuk selalu ada cerita

ada sejarah termasuk simbol-simbol yang dulunya sakral.

Namun realitasnya saat ini secara perlahan terjadi pengurangan makna, ragam hias dulunya dengan berbagai simbol

kini hanya sekedar ornamen cantik pada baju kaos atau di wallpaper smartphone kita.

Baca Juga: Kekuatan simbolik

Identitas budaya tidak harus ‘seragam’

Kembali pada persoalan stereotif, hal tersebut membuat orang enggan dan malas mengeksplorasi keunikan dari berbagai daerah yang  beragam di Indonesia

Salah satu kecenderungan yang ada misalkan pola-pola tradisional sering mengelompokkannya dalam kota yang sangat sempit, misalkan hanya paham tentang ragam hias Jawa, pola Bali atau Nusa Tenggara.

Padahal Indonesia memiliki ribuan hingga jutaan motif ragam hias yang memiliki karakter dan identitas serta cerita yang sangat berbeda.

Sekali lagi, nggak harus seragam, kalau kita memliki cara pandang yang beda maka tidak harus menyeragamkannya, biarkan tiap ragam hias memiliki karakter tersendiri.

Tidak harus sudut pandangnya hanya keindahan visual, biarkan juga ragam hias berkembang dengan dirinya seperti kritik sosial, keberagaman ekspresi budaya, cara komunikasi visual.

Menurut saya, kebebasan untuk ‘tidak seragam’ ini justru lebih baik, dan ini juga yag membuat generasi muda lebih menyukainya.

Nah, hal tersebut tidak boleh berlarut, dari pada terus menerus stuck di stereotif yang buat bosan untuk ngomonginnya, saya rasa lebih seru kalau kita mulai mendiskusikan ragam hias sebagai suatu yang dinamis dan memiliki kreativitas yang tinggi.

Saya membayangkan, sebuah karya yang kreatif dan menyegarkan manakala menghidupkan makna dan nilai-nilai tradisi dalam ragam hias tradisional pengolahannya dengan bijak menjadi elemen modern bahkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap isu sosial.

Sekali lagi, ini bukan soal meninggalkan tradisi, tapi soal menyegarkan dan menghidupakan kembali kearifan lokal dalam konteks saat ini.

Kalau ingin lebih kritis, mungkin saja konsep keberagaman dan pengolahan ragam hias sesuai selera sekarang dapat menjadi pertimbangan.

Mengapa Ragam hias tradisional tereduksi sekadar ornamen dekoratif di media kontemporer?

Ragam hias tradisional saat ini cenderung terkomodifikasi budaya, hal ini terkait dengan kecenderungan pasar yang menginginkan perubahan.

Perkembangan teknologi AI dan media sosial mainstream yang selalu gencar menawarkan hal-hal yang baru.

Hiasan-hiasan yang menampilkan secara visual dengan konsep dekoratif dari ornamen-ornamen etnik yang estetik menjadi pilihan utama.

Akhirnya dalam konteks filosofi serta historisnya terkadang kurang menjadi perhatian, maklum saja karena hanya mengejar visualisasinya.

Maka dalam proses ini, makna yang seharusnya membawa misi identitas lokal, spiritual atau mungkin simbol perlawanan anggapannya “tidak” menjual atau mungkin “tidak relevan”

Jadi ragam hias tradisional yang yang berbasis konsumerisme, sebagai produk simbiosis mutualisme dan menampilkan estetika modern lebih dapat menerimanya secara global.

Hasilnya, ragam hias tradisional yang demikian, dalam arti berbasis komersialisme tanpa memperhitugkan akar budaya daerah setempat.

Akan menciptakan representasi yang dangkal dan mengakibatkan strereotif yang berlebihan.

Bagaimana stereotip ragam hias tradisional memengaruhi pelestarian budaya di Indonesia?

Stereotif tersebut pastilah sangat memengaruhi budaya dari daerah penghasil seni ragam hias

Terutama daerah-daerah yang kurang memperkenalkan dirinya, secara bijak mestinya kita harus mengangkat daerah-daerah yang mungkin saja jarang orang kenal,

misalkan daerah Maluku atau mungkin Kalimatan Barat atau pada pulau-pulau yang tersebar pada daerah Indonesia Timur.

Jika kita hanya mengangkat derah-daerah tertentu saja, dan selalu itu yang menjadi pembicaraan,

Maka dapat memastikan bahwa daerah lain yang berpotensi juga kurang terdengar, akibatnya potensi ragam hias yang juga kurang terekspose.

Akibat terburuk, banyaknya barisan budaya dan tradisi lokal yang akan kehilangan relevansi pada generasi saat ini, mereka tidak akan mengenalnya akhirnya hilang tertelan masa

Paling mengkhawatirkan adalah stereotip ini membuat genersi penerus bangsa memotret budaya dan tradisinya sendiri sebagai sesuatu yang statis serta membosankan

Bagaimana media kontemporer dapat mengangkat ragam hias tradisional tanpa jatuh ke dalam stereotip?

Stereotip ragam hias tradisional agar cara yang paling ideal adalah media-media mainstream

harus mulai menggali narasi yang sederhana namun mudah memahaminya secara filosofi ragam hias tradisional tersebut.

Literasi seni dan estetika tentang ragam hias juga harus menjadi bagian dari strategi pengenalan budaya secara luas

Misalkan, sebuah ragam hias pada batik sebagi ‘pakaian nasional’ maka media dapat memotret perjalanan sejarah batik sebagai simbola perjuangan mempertahankan tradisi.

Atau bisa jadi para seniman dan pengrajin untuk seni ragam hias menampilkan karya tradisional mereka dengan menghungkannya dengan menjaga lingkungan

Keindahan dan estetika dari suatu karya tidak perlu menyeragamkannya, biarkan masyarakt memberikan persepsi dan penilain sendiri dan beragam

Para pengamat karya seni terapan tidak perlu menggiring penikmat untuk memaksakan pendapatnya oleh masyarakat yang seragam

Apapun yang pengerjaan oleh seniman atau pengrajin merupakan hasil karya seni yang harus kita hargai Karena setiap karya memiliki misi, filosofi dan nilai yang sangat beragam, untuk itu stereotip tidak harus memaksakannya dalam karya seni ragam hias tradisional, itu saja.