Teori Ekonomi Simbolik: Tantangan, Peluang, dan Perspektif Kritis

Teori Ekonomi Simbolik: Tantangan, Peluang, dan Perspektif Kritis

Teori ekonomi simbolik. Jam makan siang di warteg Bu Rahayu selalu ramai. Suara sendok beradu dengan piring, sinetron dari TV kecil di pojok beradu dengan tawa pelanggan.

Tapi di meja dekat jendela yang agak berdebu, diskusi yang tak biasa sedang berlangsung.

Empat orang dari dunia yang berbeda duduk melingkar: Ardi, mahasiswa seni yang doyan ngutip filsuf Prancis; Naya, konten kreator yang tiap hari ngobrol sama kamera; Pak Harto, pengrajin kayu Jepara yang lebih sering ngobrol sama pahat; dan tentu saja Bu Rahayu, pemilik warteg dengan tangan penuh bumbu dan pikiran penuh hikmah.

Sambil mengaduk sayur asemnya, Ardi membuka percakapan. “Bourdieu bilang, nilai dalam ekonomi simbolik itu bukan dari bahan atau waktu produksinya, tapi dari makna yang lekatkan. Produk jadi bernilai karena citra, konteks budaya, dan siapa yang ‘mengabsahkannya’.”

Naya mengangguk sambil nyeruput es teh.

“Kayak konten, kadang cuma ngopi di kafe pinggir jalan, tapi kalau estetik dan relate, bisa jadi duit. Caption sedikit: ‘healing setelah overthinking’, langsung rame like-nya.”

Pak Harto berhenti mengunyah. “Lha saya bikin meja ukir sebulan, terjual lima ratus ribu. Tapi begitu masuk galeri Jakarta, harganya dua puluh juta. Itu simbolik ya?”

Bu Rahayu nyeletuk sambil menuang sambal, “Kalau gitu, saya masak orek tempe pakai resep nenek, bumbunya tujuh macam, kenapa masih bilang lauk murah? Padahal chef di YouTube cuma tumis tahu, penontonnya jutaan.”

Baca juga : Memotret Kerajinan di Sulbar: Warna Laut di Anyaman Waktu

Mereka semua tertawa. Suasana makin hangat.

“Ya itu,” kata Ardi, “karena yang mengabsahkan bukan kita. Ada sistem, ada pasar, ada algoritma yang mengatur siapa yang ‘layak’ dapat sorotan.”

Naya terdiam sejenak. “Jadi selama ini kita cuma ‘pemain figuran’ dalam ekonomi simbolik?”

Pak Harto menggeleng. “Tapi kalau nggak ada kita, yang bikin, yang masak, yang motong kayu—mereka mau jual simbol apanya?”

Seketika semua terdiam.

Dialog yang awalnya mengalir santai, mulai menyentuh kedalaman.

Bu Rahayu berkata pelan, “Dulu saya buka warteg karena butuh makan. Tapi lama-lama saya sadar, warteg ini bukan cuma tempat makan. Ini ruang ngobrol, tempat orang nyari rasa—rasa kenyang, rasa aman, rasa terima. Itu juga simbol, bukan?”

Ardi mengangguk. “Itu makna yang nggak bisa terbeli di restoran mewah, Bu.”

Naya tersenyum kecil. “Bu, boleh besok saya bikin konten tentang warteg ini? Tapi bukan review makanan. Saya mau cerita soal rasa dan makna tadi.”

“Boleh, asal jangan bikin saya joget TikTok ya,” Bu Rahayu terkekeh.

Tawa mereka pecah lagi. Pak Harto ikut menimpali, “Kalau saya disuruh joget, meja saya bisa mogok produksi seminggu.”

Obrolan berlanjut, semakin akrab. Di antara nasi, sambal, dan ucapan-ucapan sederhana, mereka menemukan satu hal: bahwa ekonomi kreatif bukan hanya soal “kreatif bikin duit”, tapi juga soal siapa yang memegang narasi, siapa yang dianggap layak, dan bagaimana hal-hal sederhana bisa punya nilai tak ternilai.

Dan di pojok warteg itu, ekonomi simbolik tak lagi hanya teori buku, tapi hadir nyata—di balik orek tempe, pahatan kayu, skripsi yang belum kelar, dan video yang sedang tersusun.

Karena ternyata, yang membuat sesuatu bernilai… bukan hanya bentuknya, tapi ceritanya.

Dan di warteg Bu Rahayu, cerita itu terus hidup.

“Nasi, Nilai, dan Narasi di Warteg Bu Rahayu”

Teori Ekonomi Simbolik. Bu Rahayu menyendok sayur lodeh ke piring Ardi sambil menghela napas. “Kalau begitu, siapa yang nentuin harga sebenernya? Saya juga masak tempe orek pakai resep warisan, tapi yang naik daun malah chef di YouTube. Padahal dia cuma ngomong, ‘Hai, bestie!’ sambil goreng tahu.”

Tawa meledak. Naya sampai hampir keselek es tehnya. “Aduh Bu, saya pernah bikin video begitu! Tapi serius ya… kadang saya juga capek jual ‘personal branding’. Tiap hari harus tampil bahagia, padahal di balik layar lagi mumet mikirin engagement turun. Dan yang paling laku tuh, yang palsu-palsu. Yang pura-pura kaya, pura-pura sayang, pura-pura hidup sempurna.”

Pak Harto menatap kosong ke nasi di depannya. “Saya nggak ngerti istilah ‘personal branding’, tapi saya ngerti rasa capek karena merasa nggak hargain. Waktu saya kirim ukiran ke galeri di Jakarta, mereka suka… tapi bilang, ‘Kita nggak bisa kasih banyak, Pak, karena belum ada nama’. Padahal yang saya kirim itu ukiran harimau batangan, saya buat tiga minggu tanpa tidur malam.”

Ardi mengangguk, matanya mulai serius. “Itu yang disebut kapitalisasi kreativitas. Karya kita—entah makanan, seni, atau konten—jadi komoditas. Nilainya ditentukan pasar, bukan karena proses atau kualitas, tapi karena siapa yang bisa menjual ‘citra’. Bahkan kejujuran bisa jadi strategi jualan.”

Bu Rahayu nyeletuk lagi, “Berarti saya mesti ganti nama warteg ini jadi ‘Warteg Vibes’ terus pasang ring light di etalase ya?”

Semua ketawa ngakak.

Naya sampai tepuk-tepuk meja. “Bu, kalau Bu Rahayu bikin konten mukbang sambil cerita cinta pertama, saya yakin viral!”

Ardi masih senyum, tapi sorot matanya menyimpan tanya. “Jadi, kalau semua sudah dikemas, bahkan kesederhanaan pun jadi strategi, apa yang tersisa dari makna asli?”

Pak Harto menjawab pelan, “Yang tersisa itu niat. Saya ukir bukan cuma buat uang, tapi karena saya diajari dari kecil—kayu itu hidup. Kita bentuk dia bukan untuk dijual saja, tapi untuk diwariskan.”

Suasana mendadak hening. TV di pojok menampilkan sinetron penuh konflik, tapi yang terjadi di meja warteg jauh lebih menyentuh.

Naya menatap Pak Harto. “Saya pengen bantu, Pak. Nggak tahu gimana caranya, tapi mungkin saya bisa bikin cerita tentang ukiran Bapak, tentang filosofi kayu itu. Biar orang tahu, biar nggak cuma lihat harga tapi ngerti maknanya.”

Pak Harto tersenyum kecil. “Kalau kamu bisa bikin orang merasa, itu lebih dari cukup.”

Bu Rahayu menaruh kembali centongnya dan duduk. “Kalau gitu, saya juga mau mulai nulis resep saya. Biar nanti ada yang nerusin. Bukan cuma warteg, tapi cerita hidup saya juga.”

Ardi bersandar ke kursinya, napasnya dalam. “Mungkin ini yang disebut ekonomi kreatif dari bawah. Bukan soal produk apa yang dijual, tapi bagaimana kita saling jaga—makna, nilai, dan satu sama lain.”

Teori Ekonomi Simbolik. Angin siang berembus dari jendela. Di luar, Jakarta tetap sibuk, penuh hiruk-pikuk. Tapi di dalam warteg Bu Rahayu, empat orang dari dunia berbeda saling menyadarkan bahwa dalam tumpukan nasi, pahatan kayu, video singkat, dan teori buku—ada satu hal yang mengikat mereka semua: keinginan untuk dihargai sebagai manusia.

Dan entah bagaimana, semua itu dimulai dari tempe orek dan sayur lodeh.

Menjembatani Rasa dan Ragam

Pak Harto menggenggam sendoknya pelan. Nasi dan ayam goreng di piringnya sudah hampir habis, tapi pikirannya masih penuh. Ia berkata lirih, tapi mantap, “Tantangan terbesar kami para pengrajin itu ya pemasaran. Saya nggak ngerti algoritma, tapi saya ngerti urat kayu. Mana yang keras, mana yang lentur. Mana yang bisa dibentuk jadi kepala singa, mana yang cuma cocok buat kaki meja.”

Naya menyender, meletakkan ponselnya di meja. “Kalau kolaborasi? Saya bisa bantu bikin kontennya Pak Harto. Saya udah punya kamera, mic, lighting. Kita bisa buat konten storytelling: dari kayu mentah sampai jadi ukiran hidup.”

Pak Harto terlihat ragu sejenak, lalu mengangguk kecil. “Tapi jangan disuruh joget-joget ya.”

Tawa meledak. Ardi sampai hampir tumpah sambal di bajunya. “Tenang Pak, ini bukan TikTok-nya remaja, ini seni rakyat digital!”

Bu Rahayu nyeletuk sambil menuangkan kuah soto ke piring sendiri, “Kalau gitu saya juga mau dong, nanti kalau ada program masak bareng, saya ikut. Tapi syaratnya satu…”

Naya penasaran, “Apa tuh, Bu?”

“Jangan disuruh masak mi instan terus di-review kayak makanan dewa. Saya tersinggung!” katanya sambil manyun pura-pura, lalu semua kembali tertawa.

Ardi mengetuk sendok ke gelas, seperti pembicara seminar dadakan. “Eh, ini serius ya. Ini bisa jadi proyek ekonomi kreatif lintas bidang. Kita punya pelaku budaya—Pak Harto, Bu Rahayu. Kita punya kanal distribusi dan komunikasi—Naya. Dan ada saya, anak seni yang belum lulus tapi penuh mimpi.”

“Plus,” tambah Naya, “ada warteg yang siap jadi basecamp diskusi, produksi, dan… healing.”

Pak Harto mengangguk perlahan. Wajahnya yang biasanya kaku mulai melunak. “Kalau bisa bikin orang tahu bagaimana saya ukir satu per satu, mungkin mereka nggak cuma beli meja. Mereka beli cerita.”

Ardi berseri-seri. “Itu! Nilai simbolik. Kita ubah cara pandang orang tentang produk lokal. Bukan ‘murah karena dari desa’, tapi ‘bernilai karena punya jiwa’.”

Bu Rahayu meletakkan sendok, memandang mereka satu per satu. “Dulu saya pikir saya cuma masak biar dapet uang. Tapi kalau kalian lihat warteg ini sebagai ruang budaya, ya saya terharu. Siapa sangka sambal terasi bisa menginspirasi?”

Naya mengangguk. “Bu, sambal Ibu tuh bikin netizen auto-ngelike. Pedasnya itu, loh… kayak mantan yang ninggalin pas lagi sayang-sayangnya.”

Semua meledak tertawa. Bahkan Pak Harto sampai tepuk meja sambil bilang, “Itu sambal atau cerita horor, Mbak?”

Di balik canda, mereka sadar ada benang merah yang mengikat: semua dari mereka ingin didengar. Ingin karyanya dilihat bukan hanya sebagai barang jualan, tapi sebagai warisan rasa dan identitas.

Teori ekonomi simbolik. Dan di sudut warteg yang sederhana itu, lahir sebuah gagasan: kolaborasi yang bukan hanya soal viral atau cuan, tapi tentang saling menguatkan. Masing-masing membawa potongan puzzle—seni, cerita, keterampilan, dan pengalaman hidup—dan bersama, mereka mulai merakit gambaran baru tentang ekonomi yang lebih manusiawi.

Ekonomi yang tidak sekadar menghitung angka, tapi juga mendengarkan rasa.

Ruh dalam Rasa, Jiwa dalam Karya

Bu Rahayu meletakkan sendok dengan tenang. Suaranya lembut, tapi penuh makna. “Kreatif itu jangan lupa rasa. Entah itu masak, bikin video, atau ukiran. Kalau terlalu mikir duit doang, hilang ruh-nya.”

Kalimat itu menggantung di udara seperti aroma sambal goreng kentang yang belum juga hilang sejak tadi. Semua terdiam. Bahkan sinetron di TV yang biasanya ribut, terasa seperti pelan mendadak.

Ardi bersandar, menatap langit-langit warteg. “Bu Rahayu itu… kayak ibu-ibu yang udah baca Gramsci tapi nggak sadar.”

Naya tertawa kecil. “Atau kayak dosen filsafat yang kerja sambilan jadi chef!”

Pak Harto menatap Bu Rahayu dengan mata yang teduh. “Saya baru sadar, mungkin yang saya ukir selama ini bukan cuma kayu. Tapi harapan. Harapan kalau suatu hari, ada yang mengerti maksud saya tanpa saya harus teriak.”

Bu Rahayu tersenyum. “Pak Harto, kalau Bapak teriak, nanti kayunya bisa protes.”

Kreatif tidak selalu ingin viral

Semua tertawa lagi, tapi tawa kali ini hangat. Bukan cuma karena lucu, tapi karena mereka merasa sedang mengalami sesuatu yang jarang terjadi—sebuah percakapan yang benar-benar menyentuh, lahir dari tempat yang sederhana tapi membongkar lapisan demi lapisan persoalan yang sering diabaikan.

Naya melihat ke arah jendela, lalu membuka aplikasinya. “Aku serius nih. Aku mau mulai bikin serial konten tentang orang-orang kayak kalian. Yang bukan cuma ‘kreatif karena viral’, tapi karena mereka memang hidup dari karya dan rasa.”

Ardi mengangguk cepat. “Saya juga. Ini bisa jadi bahan skripsi. Judulnya ‘Ekonomi Kreatif dari Warteg: Sebuah Antitesis Kapitalisme Estetik’.”

Judulnya panjang banget,” keluh Bu Rahayu sambil geleng-geleng. “Nanti kalau masuk koran, yang kelihatan cuma ‘Warteg’ doang.”

Pak Harto menambahkan, “Kalau masuk medsos, paling disingkat: ‘EKDW-SAKE’—kayak nama klub bola.”

Tawa kembali mengisi meja. Tapi di sela canda, ada rasa yang tak bisa dijelaskan: rasa bahwa sesuatu telah berubah. Bukan dunia luar, tapi dunia dalam diri mereka sendiri.

Selalu ada lucu

Warteg itu tetap ramai. Orang masih antre minta tambah nasi. Anak SMA di pojok masih rebutan kerupuk. Tapi di meja itu, empat orang dari dunia berbeda telah menemukan benang merah yang menyatukan mereka: makna.

Makna bahwa karya tidak selalu harus megah untuk jadi berharga. Bahwa ide besar bisa lahir di antara orek tempe dan es teh manis. Dan bahwa kreativitas sejati adalah yang tidak kehilangan rasa meski dikepung oleh algoritma, pasar, atau tekanan ekonomi.

Ardi berdiri, merapikan sketchbook-nya. “Bu, saya boleh gambar Bu Rahayu buat tugas saya?”

“Boleh, asal jangan diedit jadi glow up ya. Ntar saya disangka selebgram,” sahut Bu Rahayu sambil cekikikan.

Pak Harto menepuk pundak Naya. “Kalau nanti kontennya jadi, saya mau kirim link ke anak saya di pesantren. Biar dia tahu bapaknya masih ada gunanya.”

Dan Naya, dengan suara pelan tapi mantap, menjawab, “Bapak bukan cuma berguna. Bapak itu penting.”

Langit siang makin cerah. Di luar warteg, Jakarta tetap berputar cepat. Tapi di dalam, waktu seolah melambat. Karena di sana, empat orang sedang menutup sebuah percakapan yang tak hanya menambah kenyang, tapi juga mengisi jiwa.

Teori ekonomi simbolik.. Dan seperti itu pula, ekonomi simbolik menemukan bentuk nyatanya. Bukan hanya di pasar seni atau layar kaca. Tapi di meja makan sederhana, dengan sendok, sambal, dan sepiring refleksi.

TAMAT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *