
Perjumpaan Di Perpustakaan
Teori Embeddedness dalam Seni Kerajinan. Perpustakaan Fakultas Seni sore itu terasa lebih tenang dari biasanya.
Di sudut ruang baca lantai dua, dekat rak buku yang penuh debu tentang estetika klasik dan teori budaya, Nina sudah duduk rapi. Laptopnya menyala, jari-jarinya cepat menari di atas keyboard, dan meja di depannya penuh dengan buku tebal—sebagian berbahasa Inggris, sebagian lain tampak seperti hasil fotokopian artikel jurnal yang sudah revisi berkali-kali.
Wajahnya serius, matanya tajam, seolah sedang bersiap untuk debat ilmiah tingkat internasional.
“Bourdieu bilang, habitus itu tertanam dalam tindakan sehari-hari… ya, ini bisa jadi pembuka yang bagus,” gumamnya pelan sambil mengetik cepat.
Pintu kayu terbuka pelan.
Masuklah Rama, dengan hoodie lusuh dan rambut acak-acakan.
Di tangan kanannya ada kopi susu sachet dari kantin, di tangan kirinya… donat. Ia mengangguk santai ke arah Nina sambil duduk sembarangan di kursi sebelah.
“Wah, kamu udah kayak mau sidang skripsi, Nin. Santai aja, ini kan cuma diskusi,” katanya sambil mengunyah.
Nina mendesah. “Ini bukan cuma diskusi, Ra. Kita ngomongin embeddedness, teori penting dalam sosiologi ekonomi. Ini bukan bahasan level obrolan warkop.”
Rama mengangguk, pura-pura paham. “Iya, iya. Embeddedness. Kayak kerajinan dari cinta yang tertanam di hati… gitu, kan?”
Nina melotot. “Astaga.”
Beberapa detik kemudian, sosok bersahaja memasuki ruangan. Prof. Suryana, dengan rambut perak yang diikat rapi dan kacamata bulat tipis, membawa tiga buku tebal yang tampak seperti baru saja digali dari perpustakaan nasional.
Ia duduk perlahan, meletakkan bukunya, lalu menatap kedua mahasiswa itu dengan senyum hangat.
“Maaf terlambat. Ada perdebatan batin antara dua buku tadi di rak teori sosial. Akhirnya saya ambil dua-duanya,” ucapnya sambil terkekeh.
“Profesor juga bisa galau, ya,” celetuk Rama.
“Galau intelektual, Rama. Itu penting,” sahut Prof. Suryana tenang.
Nina langsung duduk lebih tegak. “Profesor, saya sudah membaca ulang artikel Granovetter yang tahun 1985. Teori embeddedness itu sangat relevan untuk kerajinan tradisional kita yang…”
“Tenang dulu, Nina,” potong Prof lembut. “Kita nikmati diskusinya pelan-pelan, seperti menikmati ukiran kayu—detail demi detail.
Hari ini kita mencoba menjawab: bagaimana seni kerajinan, yang sering dianggap ‘fungsional’, ternyata penuh makna sosial yang melekat ‘embedded’ dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita.”
Rama mengangkat tangan. “Prof, jadi kayak gini ya, kalau saya bikin gelang dari tali rafia buat gebetan, itu udah seni kerajinan berteori?”
Prof tertawa pelan. “Kalau kamu bikin dengan niat dan konteks sosial yang kuat, siapa tahu kamu sedang mempraktikkan teori Granovetter dengan penuh cinta.”
Nina geleng-geleng, tapi tak bisa menahan senyum. Diskusi pun resmi dimulai, tapi suasana sudah terasa berbeda—hangat, hidup, dan penuh kemungkinan. Seperti Teori Embeddedness dalam Seni Kerajinan.
baca Juga : Teori Modal Sosial dalam Seni kerajinan
Apa itu embeddedness?
Cahaya sore menembus jendela perpustakaan, menghangatkan meja diskusi mereka yang kini sudah dipenuhi catatan, kopi, dan remah-remah donat Rama yang tak kunjung habis.
Setelah pembukaan santai yang sedikit penuh tawa, Prof. Suryana membuka buku catatannya, lalu menatap Nina.
“Nina, mungkin kamu bisa bantu temanmu di sini—” katanya sambil melirik Rama yang sedang mencoba menyeimbangkan pensil di bibir atasnya, “—menjelaskan apa sebenarnya embeddedness itu.”
Nina langsung duduk tegak seperti sedang di sidang terbuka. Ia mengatur nada suaranya, dan mulai dengan gaya yang serius, nyaris teatrikal.
“Teori Embeddedness dalam Seni Kerajinan yang dikembangkan Mark Granovetter menekankan bahwa tindakan ekonomi, termasuk produksi barang dan jasa, tidak bisa dipisahkan dari jaringan sosial yang menaunginya. Artinya, dalam dunia nyata, tidak ada tindakan ekonomi yang benar-benar ‘terlepas’ dari relasi sosial, budaya, dan struktur kekuasaan.”
Rama mengangguk perlahan, berpura-pura paham. “Jadi… kayak saya nggak bisa beli tahu bulat tanpa ngobrol dulu sama abang-abangnya, gitu?”
Nina memutar mata. “Itu contoh… ekstrem.”
Prof tersenyum sabar. “Sebenarnya, contoh Rama ada benarnya. Embeddedness menolak gagasan bahwa pasar dan seni adalah ruang steril. Dalam konteks seni kerajinan, setiap karya adalah cerminan relasi sosial: siapa pembuatnya, siapa konsumennya, dari mana nilai estetikanya dibentuk. Tidak netral.”
Rama mencondongkan tubuh, antusias. “Prof, saya jadi inget ibu-ibu di kampung saya di Sukabumi. Mereka bikin anyaman bambu buat kebutuhan sendiri, tapi bentuk dan warnanya beda-beda, tergantung musim. Kalau musim hujan, mereka pakai motif bergelombang karena katanya itu bentuk ‘air mengalir’. Kalau kemarau, motifnya lebih kaku, kayak retakan tanah.”
Nina terdiam sejenak. Kali ini, wajahnya tak sekeras tadi. “Itu… menarik juga, ya. Jadi, motif kerajinan pun bisa jadi respon sosial terhadap alam.”
Prof mengangguk. “Persis. Dan itulah esensinya. Embeddedness bukan cuma soal pasar atau uang, tapi keterikatan antara manusia, lingkungan, dan makna. Seni kerajinan tidak bisa hanya dinilai dari estetika formal, tapi juga dari bagaimana ia tumbuh bersama masyarakatnya.”
Rama tersenyum bangga, merasa pernyataannya barusan seperti tesis. “Berarti, kalau saya bikin gantungan kunci dari tutup botol bekas karena saya miskin dan sayang lingkungan… saya sedang mempraktikkan embeddedness juga, ya?”
Nina tidak bisa menahan tawa. “Itu… bisa jadi seni aktivisme versi low budget.”
Prof tertawa kecil, senang melihat keduanya mulai saling melengkapi. “Justru di situlah menariknya diskusi kita hari ini. Seni kerajinan bukan soal ‘bagus’ atau ‘jelek’, tapi tentang di mana dan bagaimana ia melekat dalam kehidupan sehari-hari.”
Teori Embeddedness dalam Seni Kerajinan. Suasana jadi hening sejenak, tapi bukan karena bosan, karena masing-masing sibuk memikirkan, mungkin untuk pertama kalinya, bahwa di balik setiap keranjang anyaman atau ukiran kayu, tersembunyi sebuah jaringan tak terlihat dari cerita, musim, dan cinta.
Perdebatan Estetika dalam Konteks Sosial
“Jadi,” kata Nina sambil menyusun kembali catatannya, “dari segi embeddedness, bisa disimpulkan bahwa konteks sosial dan budaya memberi bobot makna pada seni kerajinan. Tapi… ada satu hal yang mengganggu saya.”
Rama langsung menyela dengan suara dramatis. “Wah, ada yang terganggu nih. Saya mundur dulu, siapa tahu ada gempa argumen.”
Nina meliriknya tajam, lalu melanjutkan. “Kalau kita terlalu menekankan konteks sosial, bukankah kita berisiko mengabaikan aspek estetikanya sendiri? Maksud saya, apa indahnya sebuah karya bisa dinilai hanya karena ia berasal dari komunitas tertentu, atau karena punya nilai historis? Bagaimana dengan bentuk, teknik, komposisi?”
Prof. Suryana mengangguk pelan, membiarkan ketegangan itu menggantung.
Rama menyesap kopi susu yang tinggal separuh, lalu bersandar. “Nin, kalau kayak gitu, seni kerajinan tuh jadi kayak orang yang harus cakep dulu baru dinilai baik hatinya. Padahal, kadang yang sederhana, yang nggak kelihatan ‘indah’, justru punya cerita yang dalam.”
Nina mengernyit.
“Saya tidak bilang harus cakep. Tapi kalau karya seni hanya dinilai dari latar belakang sosialnya, bukankah kita kehilangan standar estetik universal?”
“Universal buat siapa?” tanya Rama cepat. “Buat orang galeri di Eropa atau buat ibu-ibu di kampung yang bikin tikar sambil nyuapin anak?”
Prof tersenyum, lalu menengahi dengan suara lembut namun berwibawa. “Pertanyaan yang sangat baik, keduanya. Estetika dan embeddedness sering kali diposisikan berseberangan, padahal keduanya bisa saling memperkuat.”
Ia membuka sebuah buku tua, lalu membacakan kutipan singkat dari seniman Jepang yang tak terkenal. “‘Keindahan bukan hanya apa yang dilihat mata, tapi juga yang dirasakan oleh pengalaman kolektif.’”
“Ciee, Prof jadi puitis,” goda Rama.
Nina, meski sempat panas, mulai melunak. Ia menghela napas dan berkata, “Mungkin saya terlalu terpaku pada pendekatan formal. Tapi saya tetap percaya bahwa ada nilai intrinsik dalam komposisi, warna, teknik. Itu harus tetap dihargai.”
“Dan itu sah-sah aja,” kata Prof. “Tapi kita harus hati-hati agar tidak menjadikan estetika sebagai satu-satunya lensa. Karena kalau begitu, kita bisa kehilangan makna yang lebih luas.”
Rama mengangkat jari, penuh gaya. “Kesimpulan sementara: seni kerajinan tuh kayak nasi goreng. Teknik masaknya penting, tapi bumbu rahasianya itu pengalaman—siapa yang masak, buat siapa, dan kenapa dibikin.”
Nina tak bisa menahan tawa. “Oke, analogi kamu absurd… tapi masuk akal.”
“Makanya,” Rama nyengir. “Saya tuh seniman rasa rumahan.”
Diskusi makin hidup, dan meski sempat berdebat, suasana kembali cair. Ketegangan antara estetika dan konteks sosial belum selesai, tapi benih pengertian mulai tumbuh. Di antara tumpukan buku dan sisa donat, mereka mulai menyadari: perdebatan bukan untuk menang, tapi untuk saling melihat dari sudut yang berbeda.
Kontekstualisasi Seni Kerajinan Lokal
Perdebatan soal estetika dan konteks sosial belum benar-benar selesai, tapi Prof. Suryana tahu kapan harus mengalihkan arah sebelum dua mahasiswanya saling melempar buku tebal.
“Baik,” katanya sambil menepuk buku yang terbuka di depannya. “Sekarang, mari kita lihat bagaimana teori ini bekerja di lapangan. Ada contoh seni kerajinan lokal yang menurut kalian relevan dengan teori embeddedness?”
Nina langsung mengangkat tangan, seperti di kelas SD.
“Batik kontemporer dari Yogyakarta,” jawabnya dengan yakin. “Banyak seniman batik sekarang yang memadukan motif tradisional dengan gaya urban.
Tapi menariknya, mereka tetap mempertahankan teknik pewarnaan alam dan filosofi motifnya. Meskipun sudah masuk galeri internasional, identitas lokalnya tetap kuat.”
Rama mengangguk, berpura-pura paham.
“Wah, batik urban. Jadi kayak batik pakai hoodie, ya?”
Nina menghela napas. “Nggak, Ra. Maksudnya motifnya lebih eksperimental, kadang nyambung ke isu-isu kontemporer. Ada batik dengan motif ‘kemacetan Jakarta’ lho.”
“Wah, itu pasti warnanya dominan merah sama klakson,” celetuk Rama sambil ngakak sendiri.
Prof tersenyum sabar. “Contoh yang bagus, Nina. Batik memang menarik karena ia menunjukkan bagaimana praktik kerajinan bisa bertransformasi tanpa melepaskan akarnya. Tapi tetap—tanpa konteks sosial, makna batik itu bisa hilang, hanya jadi pola di kain.”
“Prof,” sela Rama, “saya juga punya contoh. Di kampung saya, Cirebon, ada pengrajin topeng. Tapi mereka nggak sekadar bikin buat dijual. Ada jenis topeng yang cuma boleh dibuat kalau si pembuatnya udah ‘matang batin’. Ada semacam puasa, meditasi… pokoknya mistis banget.”
Nina terlihat tertarik.
“Itu artinya proses kreatifnya sangat erat dengan nilai spiritual dan sosial, ya?”
Rama mengangguk. “Iya. Dan lucunya, waktu ada turis datang, mereka dikasih versi murahnya. Topeng palsu buat turis. Yang asli, disimpan buat acara adat.”
Prof menyandarkan punggung ke kursi, matanya berbinar. “Itulah contoh nyata bagaimana seni kerajinan bisa berlapis makna. Ada versi pasar, ada versi sakral. Dan itu menunjukkan embeddedness yang fleksibel, tapi tetap kuat.”
Nina menimpali, kini lebih reflektif. “Berarti… kadang yang dijual ke publik itu bukan hanya benda, tapi representasi dari nilai sosial. Tapi kita nggak selalu dapat konteks itu secara utuh.”
Rama mengangkat alis. “Iya, kayak beli oleh-oleh topeng Cirebon tapi nggak tahu itu sebenarnya ‘adik kembarannya’. Versi KW spiritual.”
Semua tertawa. Suasana kembali hangat. Tapi dalam tawa itu, ada kesadaran baru—bahwa seni kerajinan bukan sekadar karya tangan, tapi perpanjangan dari sejarah, kepercayaan, dan hubungan sosial yang tidak terlihat di permukaannya.
“Jadi,” kata Prof pelan, “ketika kita memegang sebuah kerajinan, mungkin kita sedang memegang cerita… bukan hanya benda.”
Nina dan Rama terdiam sebentar. Kali ini, bukan karena tidak tahu harus menjawab apa, tapi karena mereka mulai melihat sesuatu yang selama ini luput: kerajinan sebagai jembatan antara manusia dan dunianya.
Masa Depan Seni Kerajinan
Langit di luar jendela perpustakaan mulai berganti warna—jingga keunguan seperti lukisan cat air yang mengalir perlahan. Jam di dinding berdetak pelan, dan suasana ruangan kini lebih tenang, seolah ketiga tokoh kita pun merasakan bahwa diskusi mereka sudah memasuki babak akhir.
Prof. Suryana menutup bukunya perlahan, lalu melihat ke arah dua mahasiswanya yang kini tidak lagi duduk saling berseberangan, tapi sedikit lebih dekat, seperti dua planet yang akhirnya menyadari mereka bagian dari galaksi yang sama.
“Jadi…” Prof mulai berbicara, “setelah membahas teori, debat soal estetika dan konteks, serta menelusuri contoh-contoh lokal… menurut kalian, ke mana arah seni kerajinan di masa depan?”
Nina mengangkat alis, berpikir sejenak sebelum menjawab. Kali ini tanpa gaya sok pintar.
“Saya rasa, seni kerajinan akan semakin ditantang untuk tetap relevan. Di satu sisi, pasar global mendorong ekspansi, menjual karya-karya itu sebagai ‘produk’. Tapi di sisi lain, kalau kita lepas dari akar sosialnya… kita bisa kehilangan maknanya. Dan itu menyedihkan.”
Rama mengangguk, mengejutkan Nina karena kali ini dia tidak menyela dengan candaan.
“Menurut saya,” ujarnya pelan, “kerajinan itu kayak orang tua. Mungkin nggak selalu tren, tapi kalau dia hilang… kita kehilangan rumah.”
Nina tersenyum, kali ini tulus. “Kamu bisa juga ya ngomong kayak gitu.”
“Sekali-sekali lah. Biar kamu tetap penasaran.”
Prof tertawa kecil. “Kalian berdua sudah menunjukkan esensi dari diskusi hari ini. Embeddedness bukan hanya soal teori, tapi soal keberadaan kita—tertanam dalam hubungan, tradisi, dan perubahan zaman.”
Ia berdiri, merapikan bukunya, lalu menambahkan, “Tugas kita bukan hanya menjaga kerajinan itu tetap hidup, tapi memastikan ia tidak kehilangan jiwanya.”
Rama berdiri, meregangkan punggung sambil bergumam, “Berarti mulai besok saya harus serius bikin gelang dari tutup botol. Siapa tahu masuk Biennale.”
Nina tertawa. “Asal jangan kasih harga pakai konteks sosial ya. ‘Ini gelang, mewakili kisah patah hati dari generasi rebahan.’”
Prof menggeleng sambil tersenyum. “Kalian ini… luar biasa. Dalam caranya masing-masing.”
Mereka berjalan meninggalkan meja, membawa buku dan sisa tawa. Di lorong perpustakaan, langkah mereka pelan, tapi diskusi itu tinggal. Tertanam. Embedded.
Dan entah kenapa, meski hanya diskusi biasa, hari itu terasa seperti karya kecil yang akan mereka kenang—bukan karena siapa yang paling pintar, tapi karena mereka saling mendengarkan, bercanda, dan menanamkan satu benih: bahwa seni, seperti mereka, selalu hidup dalam hubungan. Teori Embeddedness dalam Seni Kerajinan
TAMAT
Anonim
Keren cara menjelaskan sebuah teori lewat cerita pendek
athobasomarannu70@gmail.com
makasih kk