Teori Estetika Aristoteles. Kalau ngomongin soal seni, Plato itu bisa dibilang agak “galak”. Dia nganggap seni cuma bikin orang bengong dan malah menjauh dari kebenaran.
Ironisnya, padahal doi sendiri juga doyan nulis puisi, ibarat orang yang ngomel-ngomel soal kopi sachet tapi diam-diam masih suka nyeduh kalau lagi kepepet.
Nah, muridnya yang keras kepala, Aristoteles (384–322 SM), datang buat ngegas balik pendapat gurunya.
Aristoteles nggak main-main, bro. Dia bikin teori sastra yang sistematis banget, sampai-sampai orang zaman dulu bisa punya pondasi kokoh buat mikirin seni secara serius.
Bayangin aja, kayak kamu nongkrong di warkop terus tiba-tiba ada yang buka buku tebal, lalu bilang: “Nih, seni tuh gini lho logikanya.”
Bedanya, teori Aristoteles bukan cuma buat sastra, terutama tragedi yang dia bahas panjang lebar, tapi gampang banget dialihin ke bidang seni lain, mulai dari teater, musik, sampai seni rupa.
Intinya, Aristoteles bikin seniman punya alasan buat pede. Karya seni nggak cuma hiburan asal-asalan, tapi punya struktur, punya makna, dan ada logika di baliknya.
Jadi kalau hari ini kamu nonton film, lihat lukisan, atau bahkan scroll konten kreatif di medsos, jejak pemikiran Aristoteles masih nyangkut di situ.
Aristoteles dan Seni Sebagai “Mimesis” yang Positif
Teori Estetika Aristoteles. Kalau Plato melihat seni kayak bayangan tipis yang bikin orang salah fokus dari kebenaran, Aristoteles justru punya cara pandang yang lebih adem.
Buat dia, seni itu mimesis alias tiruan, tapi jangan salah, tiruannya bukan sekadar fotokopi buram dari realitas. Lebih tepatnya, seni itu kayak “versi upgrade” yang bikin kita paham sesuatu lewat cara lain.
Aristoteles melepaskan diri dari idealisme gurunya. Kalau Plato bilang dunia indrawi (apa yang kita lihat, dengar, rasakan) itu cuma bayangan dari dunia ide yang lebih “asli”, Aristoteles ngejawab: “Eh, nggak gitu juga, Bos!”
Menurutnya, ide itu nggak berdiri di langit sana, tapi justru nempel dan hidup di dunia nyata. Bayangan kursi bukanlah kursi, tapi kursi yang kita duduki ya punya bentuk sekaligus materi dan keduanya nggak bisa dipisahin.
Makanya, buat Aristoteles, nggak masuk akal kalau dunia nyata dianggap lebih “rendah” daripada dunia ide. Semua yang ada itu kombinasi bentuk dan materi.
Jadi, karya seni yang katanya cuma “tiruan” itu sebenarnya sama sahihnya dengan realitas sehari-hari. Ibaratnya, kalau ada orang bilang: “Ah, film itu cuma bohongan,” Aristoteles mungkin bakal senyum tipis sambil jawab, “Bohongan? Atau justru cara lain untuk membuka mata kamu?”
Seniman Bukan Tukang Fotokopi
Nah, di sinilah Aristoteles benar-benar “ngegas” bantahannya terhadap Plato.
Kalau Plato bilang seniman itu kayak tukang fotokopi, cuma bikin salinan samar dari kenyataan Aristoteles dengan enteng bilang: “Salah besar, Pak Guru!” Bagi dia, karya seni bukan sekadar ngegandain realitas yang kita lihat sehari-hari, tapi menciptakan kemungkinan baru.
Coba bayangin gini: penulis nggak cuma menceritakan apa yang benar-benar terjadi, tapi apa yang mungkin bisa terjadi.
Jadi kalau ada tragedi Yunani yang ngomongin soal perang Troya, fokusnya bukan di detail sejarah: siapa mukul siapa, siapa jatuh duluan. Itu mah urusan sejarawan.
Seniman lebih tertarik pada hal yang tipikal, bagaimana manusia, dalam kondisi tertentu, bertindak dengan cara tertentu.
Artinya, karya seni bukanlah catatan kronologi, tapi semacam “peta pola” yang bisa bikin kita paham sifat dasar manusia. Di sinilah seni jadi lebih filosofis dibanding sejarah.
Kalau sejarah sibuk dengan detail kecil (“tanggal sekian, si ini melakukan itu”), seni justru ngulik yang lebih dalam: apa sih yang selalu muncul dalam diri manusia?
Makanya Aristoteles berani bilang sastra lebih dekat dengan kebenaran abadi ketimbang tulisan sejarah.
Kebebasan Kreatif Sang Seniman
Teori Estetika Aristoteles. Di titik ini, Aristoteles kasih “angin segar” buat para seniman. Menurut dia, seniman nggak harus ngikutin detail sejarah atau kenyataan persis seperti yang terjadi. Justru, demi kebenaran yang lebih dalam, seniman berhak ngolah, ngubah, bahkan “ngarang” peristiwa sesuai tujuan seninya.
Bayangin kayak gini: seorang pengarang nggak wajib nurut sama catatan sejarah yang kaku. Kalau demi pesan yang lebih kuat, dia bisa ubah alurnya, ganti tokoh, atau bahkan nyiptain adegan yang sebenarnya nggak pernah ada.
Sama juga dengan pelukis, dia bebas bikin objek yang di dunia nyata mustahil kita temukan. Misalnya, melukis kuda bersayap atau manusia berkepala singa.
Buat Aristoteles, itu bukan kebohongan murahan, tapi cara untuk nyampein sesuatu yang lebih “kena” ke hati dan pikiran penikmatnya.
Dengan kata lain, seni nggak harus tunduk pada fakta mentah. Seni itu soal menciptakan kemungkinan, membuka imajinasi, dan kadang lewat “ketidakbenaran” itulah justru lahir kebenaran yang lebih dalam.
Ibarat film fiksi ilmiah, meski ceritanya jelas nggak nyata, kadang justru dari sana kita belajar soal manusia, etika, sampai masa depan.
Mana yang Bisa Dimaafkan, Mana yang Tidak
Aristoteles ngerti banget kalau seniman itu manusia biasa nggak selalu bisa sempurna dalam menggambarkan kenyataan.
Jadi, kalau seorang seniman bikin “kesalahan fakta” dalam karyanya, itu masih bisa dimaafkan. Asal, kesalahan itu bukan karena dia malas atau nggak punya skill, tapi karena memang keterbatasan pengetahuan.
Nah, yang nggak bisa ditoleransi justru kesalahan estetis. Artinya, kalau sebuah karya jelek bukan karena “kurang tahu”, tapi karena “kurang mampu”, itu baru bikin sakit kepala.
Dalam hal ini, kemampuan mencipta adalah ujian sesungguhnya.
Tapi jangan salah: Aristoteles tetap kasih ruang besar untuk kebebasan imajinasi. Seniman boleh banget menggambarkan hal yang mustahil, asal secara estetis tetap masuk akal dan bisa nyampe ke hati orang yang menikmatinya.
Misalnya, bikin tokoh dengan kekuatan super, dunia paralel, atau bahkan makhluk yang secara sains mustahil ada. Buat Aristoteles, kalau itu bisa menghadirkan “kebenaran batin” dan bikin karya lebih autentik, ya sah-sah aja.
Lucunya, menurut dia, dalam seni sesuatu yang mustahil tapi berasa nyata justru lebih kuat daripada sesuatu yang mungkin tapi terasa hambar.
Dengan kata lain, lebih baik nonton film fantasi yang nggak mungkin ada tapi bikin merinding kagum, ketimbang baca kisah nyata yang secara teknis mungkin terjadi tapi flat dan nggak menyentuh rasa.
Katarsis: Kenapa Kita Suka Tragedi
Buat Aristoteles, nilai sebuah karya seni nggak bisa di ukur cuma dari seberapa “benar” isinya. Yang lebih penting justru efek yang di timbulkan pada penonton atau pembacanya.
Kalau karya itu bisa bikin hati bergerak, pikiran teraduk, dan perasaan ikut terseret, barulah seni itu punya nilai.
Makanya, pas ngomongin tragedi (dan musik), Aristoteles nyebutin efek yang jelas banget: tragedi harus bikin kita merasa “iba” dan “takut”.
Tapi uniknya, dari rasa iba dan takut itu, kita malah dapat semacam pemurnian emosional yang nikmat banget, istilah kerennya katarsis.
Jadi kalau kamu pernah nonton film yang bikin nangis kejer atau teater yang bikin merinding tapi setelahnya hati terasa lebih lega, itu persis yang di maksud Aristoteles.
Seni bukan bikin kita rusak kayak kata Plato, tapi justru menyehatkan jiwa dengan cara menyalurkan emosi yang numpuk.
Di sinilah Aristoteles balik ngegas ke gurunya. Kalau Plato nganggep seni berbahaya karena mengguncang perasaan, Aristoteles jawab: “Justru di situlah letak kekuatannya!”
Teori Estetika Aristoteles. Seni yang baik mampu mengolah emosi kita, bikin kita menghadapi ketakutan dan kesedihan tanpa benar-benar harus ngalamin tragedi itu di dunia nyata.
Emosi: Musuh Menurut Plato, Sahabat Menurut Aristoteles
Teori Estetika Aristoteles. Plato itu ibarat bapak kos yang super disiplin: semua harus nurut akal budi, jangan kasih celah sedikit pun buat nafsu dan emosi.
Makanya dia nganggap tragedi berbahaya, karena bikin penonton kebawa perasaan, lalu jadi susah mikir jernih. Buat Plato, hidup susila berarti menekan serapat mungkin semua dorongan emosional.
Aristoteles beda jalur. Menurut dia, emosi itu bukan musuh, asal muncul di waktu dan tempat yang tepat. Bahkan, emosi bisa punya nilai moral.
Contohnya sederhana: kalau kita lihat ketidakadilan tapi diam saja tanpa marah, itu justru tanda karakter kita lemah.
Malah nggak masuk akal kalau nggak marah dalam situasi kayak gitu, karena kemarahan itu reaksi yang wajar sekaligus sehat.
Nah, dari sini Aristoteles menekankan bahwa pendidikan moral bukan soal “mematikan” perasaan, tapi melatih kendali batin.
Jadi perasaan kita cuma aktif kalau situasinya memang butuh. Dan seni khususnya tragedi, punya peran penting banget dalam proses ini.
Dengan tragedi, penonton di ajak merasakan iba dan takut pada momen yang pas, sehingga emosi mereka terlatih untuk lebih selaras dengan akal budi.
Simpelnya, buat Aristoteles, seni itu kayak gym buat perasaan. Bukan bikin kita liar, tapi justru bikin emosi kita lebih terlatih dan sehat.
Resep Tragedi yang “Nendang” Menurut Aristoteles
Aristoteles memang nggak kasih petunjuk super detail tentang gimana tepatnya tragedi harus berjalan, tapi ada garis besar yang jelas.
Intinya, tragedi sukses kalau bisa bikin penonton ngerasain dua afek utama: keibaan (atau keluhan) dan ketakutan (atau kengerian).
Nah, gimana cara munculin dua rasa ini? Pertama, lewat penggambaran penderitaan yang seharusnya nggak pantas di alami seseorang. Itu bikin penonton ikut iba.
Kedua, lewat momen ketika penonton merasa dirinya bisa aja bernasib sama kayak tokoh di panggung. Dari situ muncul rasa takut atau malah merinding, karena sadar: “Waduh, itu bisa kejadian sama gue juga.”
Tapi syaratnya, tokoh tragedi nggak boleh terlalu sempurna, tapi juga nggak boleh terlalu bejat.
Kalau tokohnya orang jahat banget, penonton nggak bakal kasihan; kalau tokohnya super malaikat, penonton justru marah kenapa dia di hukum.
Yang pas itu tokoh yang mirip sama kita-kita: punya kelemahan, bisa salah, tapi tetap punya martabat.
Contoh klasiknya ya Oidipus. Dia jatuh karena kesalahan dirinya sendiri, tapi tetap di pandang sebagai raja besar. Kesalahannya bikin tragedi masuk akal, tapi kebesaran karakternya bikin kita tetap kagum.
Dari kombinasi inilah, rasa iba dan takut meledak di penonton, lalu mengarah pada katarsis.
Singkatnya, tragedi yang baik itu ibarat racikan kopi pas: nggak terlalu pahit, nggak terlalu manis, tapi ada tendangan yang bikin hati “melek” setelahnya.
Katarsis: Seni Sebagai Katup Emosi
Aristoteles selalu tekankan bahwa tujuan tragedi bukan sekadar bikin penonton nangis atau merinding. Itu baru separuh jalan. Yang lebih penting justru apa yang muncul setelahnya: pemurnian emosi alias katarsis.
Logikanya begini: kalau emosi kuat kayak marah, sedih, atau takut terus-terusan di pendam, lama-lama bisa numpuk dan meledak jadi kekerasan.
Nah, seni hadir sebagai “katup pengaman”. Dengan nonton tragedi, orang bisa ngerasain emosi itu secara aman, lalu melepasnya tanpa bikin kerusakan di dunia nyata.
Bahkan, seni bisa jadi semacam latihan batin. Penonton di ajak bergaul dengan rasa iba, takut, atau sedih dalam porsi yang pas.
Jadi ketika menghadapi situasi nyata, emosinya lebih terlatih dan terkendali. Inilah kenapa Aristoteles nganggep tragedi bukan berbahaya, tapi justru menyehatkan jiwa.
Kuncinya ada di ilusi. Seni bikin peristiwa di panggung terasa dekat, kayak nyata. Tapi penonton tetap sadar kalau semua itu cuma pertunjukan.
Justru karena ada kesadaran ganda dekat tapi fiksi emosi bisa tersulut tanpa benar-benar bikin chaos. Hasil akhirnya? Penonton pulang dengan hati yang lebih ringan, pikiran lebih jernih, dan perasaan kayak habis “di bersihin”.
Sederhananya, buat Aristoteles seni itu bukan sekadar hiburan. Seni itu therapy room kolektif, tempat manusia belajar memahami sekaligus menyalurkan emosinya.
Seni: Bagian dari Hakikat Manusia
Buat Aristoteles, drama dan seni pada umumnya bukan mainan remeh yang bisa di abaikan. Justru sebaliknya, seni adalah bagian mendasar dari hakikat manusia.
Sama seperti akal budi yang bikin kita beda dari binatang, kemampuan untuk meniru (mimesis) juga jadi ciri khas manusia sejak lahir.
Anak kecil belajar dunia lewat meniru, entah cara bicara, gerakan, atau ekspresi orang tuanya. Dari situlah manusia pertama kali dapat pemahaman.
Dan karena kita memang suka memahami, maka kita juga secara alami suka pada tiruan. Bahkan ketika seni menggambarkan sesuatu yang jelek, buruk, atau menyakitkan, tetap ada daya tariknya.
Seakan-akan, dengan menonton penggambaran itu, keburukan nyata jadi “netral”, nggak lagi menakutkan.
Teori estetika Aristoteles. Nah, dari sini Aristoteles sampai pada kesimpulan yang sederhana tapi kuat: seni nggak perlu repot-repot di bela pakai argumen utilitas atau kegunaan praktis.
Cukup lihat fakta bahwa seni bikin kita senang, memberi rasa gembira, dan lewat itu ikut menyumbang pada kebahagiaan manusia. Dengan kata lain, seni itu udah “pembenaran dirinya sendiri.”
Pengulas: Baso Marannu, owner pengembang website RAHASIA (https://ragamhiasindonesia.id ) saat ini sebagai peneliti Ahli Madya pada Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Tinggalkan Balasan