
Pertemuan Tak Sengaja
Teori Modal Sosial. Toko Buku Bekas Blok M, Lorong Seni & Budaya
Lorong itu wangi kertas tua. Bukan bau apek yang mengganggu, tapi aroma nostalgia: seperti surat cinta yang tak pernah dikirim atau catatan kuliah yang masih penuh mimpi.
Di antara tumpukan buku seni yang ditata agak miring, seorang gadis muda dengan tas anyaman dan rambut dikuncir asal-asalan sedang meraba-raba punggung buku.
“Tenun Nusantara… Tenun Nusantara… ah.
Kemudian kenapa semua orang lebih peduli sama batik sih,” gerutunya pelan, setengah untuk dirinya sendiri, setengah berharap semesta menjawab.
“Karena batik lebih fotogenik di Instagram, mungkin?” Sebuah suara perempuan menyela, terdengar setenang AC lobby hotel bintang lima.
Selanjutnya Rara menoleh. Di sebelah rak manajemen, berdiri seorang perempuan berambut lurus rapi dengan blazer pastel dan buku berjudul Hospitality Leadership: Beyond Front Desk di tangannya.
“Eh? Intan?”
“Rara? Ya ampun, ketemunya di antara buku-buku jadul gini. Ironis banget ya, kayak dua dunia bertabrakan di rak diskon.”
Mereka tertawa, walau nadanya masih canggung. Masa lalu mereka sempat bersinggungan, bukan secara langsung, tapi melalui seorang cowok yang kini tinggal nama dan lukisan-lukisan surealis tak laku.
Baru mereka akan lanjut basa-basi, sebuah suara bariton berat terdengar dari belakang tumpukan buku.
“Ah, dua mahasiswa dari dua dunia berbeda. Ini seperti lukisan surealis ketemu menu buffet hotel.”
Pak Damar muncul dari balik rak, membawa tiga buku besar yang tampak lebih berat dari dosen pembimbing skripsi. Wajahnya dihiasi senyum setengah lelah, setengah geli.
“Pak Damar!” seru Rara.
“Kayaknya kamu…” Pak Damar menatap Intan dengan mata menyipit, bukan karena curiga, tapi karena matanya memang minus dua koma lima. “…pernah ikut seminar saya tentang estetika ruang publik di TIM, ya?”
“Wah, iya, Pak. Saya duduk paling belakang. Yang bawa bekal nugget sendiri.”
“Hah! Itu kamu toh. Saya masih ingat aromanya.”
Tawa mereka pecah, mencairkan udara lorong yang sempit. Akhirnya mereka bertiga duduk di pojokan baca toko itu, di atas karpet yang sedikit berdebu tapi nyaman — tempat di mana banyak pertemanan aneh dimulai.
“Apa kabar, Pak? Lagi nyari buku apa?” tanya Rara.
“Buku tentang seni instalasi, tapi malah nemu katalog IKEA tahun 2004. Saya jadi terinspirasi untuk buat karya yang judulnya ‘Ruang Tunggu dengan Dua Kursi dan Satu Kenangan’.”
Intan mengangkat alis. “Kedengarannya kayak mantan yang gak move on, Pak.”
Pak Damar mengangguk khidmat. “Karena seni sejatinya adalah mantan yang selalu kembali dalam bentuk berbeda.”
Teori Modal Sosial. Obrolan pun mulai bergulir, dari kenangan tentang kampus hingga keluhan harga lem kerajinan yang makin naik. Ketiganya tenggelam dalam percakapan yang tak terencana, seperti buku-buku yang mereka temukan hari itu: tak dicari, tapi justru membawa cerita.
Dan di tengah tumpukan buku usang itu, diskusi ringan tentang seni dan hidup pun mulai menyelinap—pelan, hangat, dan penuh tawa kecil yang mengisi celah-celah sunyi lorong tua itu.
Baca juga: Teori Kritik Sosial terhadap Globalisasi: Seni kerajinan di Indonesia
Awal Percakapan Ringan
Tetap di Pojok Baca, Toko Buku Bekas Blok M
Tiga cangkir plastik kopi hitam instan kini berdiri di atas kotak buku bekas yang mereka sulap jadi meja darurat. Pojok baca itu terasa seperti ruang tamu dadakan, dengan tumpukan buku jadi tamu kehormatan.
“Jadi, kamu sekarang lagi bikin proyek apa, Ra?” tanya Intan, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. “Masih rajin bikin gelang-gelangan dari tutup botol itu?”
Rara tertawa. “Wah, itu dulu banget. Sekarang aku lagi fokus ke dokumentasi tenun dari daerah-daerah yang… yah, sinyal aja susah, apalagi perhatian pemerintah.”
Pak Damar menyisip kopi pelan, lalu menyeringai.
“Itu namanya seni berjuang dalam senyap. Seperti mahasiswa yang revisi skripsinya tapi dosennya liburan terus.”
“Tapi bener lho, Pak,” Rara menimpali. “Banyak perajin lokal yang punya teknik luar biasa, tapi karena gak ada jaringan, gak dikenal. Padahal kalau dipikir-pikir, yang bikin kerajinan jalan bukan cuma kualitas karya, tapi juga hubungan sosial mereka.”
Intan mengangguk sambil membuka-buka halaman buku manajemen. “Itu sih masuk banget ke ranah hospitality juga, Ra. Gue belajar kalau layanan itu intinya adalah relasi. Cuma bedanya, kalau di hotel, semua ditulis dalam SOP.”
“Sementara di kampung perajin, SOP-nya adalah ‘asal percaya aja’,” sahut Rara.
“Tuh kan,” Pak Damar terkekeh. “Ini yang saya suka dari kalian. Satu hidup di dunia dengan SOP, satu lagi hidup di dunia ‘sok percaya’. Tapi keduanya sama-sama bicara soal modal sosial.”
Intan menyipit.
“Modal sosial? Itu yang kayak… modal awal buka bisnis?”
“Beda,” jawab Rara cepat, semangatnya menyala. “Modal sosial itu kayak kepercayaan, nilai-nilai bersama, dan jaringan sosial yang bikin orang bisa kerja sama tanpa perlu kontrak tertulis.”
“Ah… jadi kayak hubungan LDR yang berhasil tanpa saling ngecek HP tiap hari?”
“Persis! Tapi lebih sehat,” kata Pak Damar sambil menunjuk Intan dengan ekspresi main hakim sendiri.
Tawa mereka meledak lagi. Seorang pengunjung lain melirik sekilas, lalu tersenyum melihat tiga orang dari latar berbeda tertawa seperti sahabat lama.
“Gue jadi inget mantan gue waktu denger istilah ‘kepercayaan tanpa kontrak’, nih,” kata Intan, nada suaranya setengah bercanda, setengah getir.
“Ah, seni dan mantan. Dua hal yang sering ditinggalkan tapi tetap ditanyakan,” Pak Damar menutup komentarnya dengan nada puitis khas dosen yang terlalu banyak membaca puisi Chairil Anwar di waktu luang.
Rara menatap dua rekannya itu. Ada rasa hangat yang tumbuh pelan. Aneh, pikirnya. Di antara tumpukan buku bekas dan aroma kopi sachet, mereka malah membicarakan hal-hal yang biasanya hanya muncul di ruang kuliah atau sesi curhat tengah malam.
Teori Modal Sosial. Dan obrolan belum usai. Rasanya seperti membuka halaman awal dari buku yang isinya belum selesai ditulis.
Teori Modal Sosial dalam Seni Kerajinan
Tetap di Pojok Baca, sekarang mulai serius tapi tetap santai
Pak Damar menurunkan kacamatanya sedikit ke ujung hidung, gaya khas dosen yang sebentar lagi akan membuka sesi kuliah dadakan.
“Jadi,” katanya, “kalau kalian tadi sudah nyenggol soal kepercayaan, jaringan, dan nilai bersama… sebenarnya kalian berdua sedang membicarakan modal sosial. Tapi tanpa sadar.”
Rara langsung duduk tegak.
“Saya sadar, Pak. Tadi saya bahkan nyebut definisinya.”
Intan tertawa kecil. “Iya, dan aku baru paham bedanya sama modal buka franchise.”
Pak Damar mengangkat alis. “Nah, itu penting. Banyak orang pikir modal itu selalu uang. Padahal di seni—apalagi seni kerajinan—modal sosial itu justru bahan dasarnya.”
Rara mengangguk cepat, seperti kipas angin rusak. “Saya pernah tinggal dua bulan di kampung perajin bambu di Kulon Progo. Mereka gak pernah pakai nota, Pak. Semua berdasarkan kepercayaan. Bahkan bahan baku pun kadang dipinjam antar tetangga.”
“Jadi kayak arisan, tapi yang diputer bukan uang, tapi bambu?” tanya Intan, setengah serius, setengah nyinyir lucu.
“Ya kurang lebih begitu,” jawab Rara sambil tertawa. “Tapi dari situ tumbuh solidaritas, rasa memiliki, dan yang paling penting: rasa tanggung jawab ke komunitas. Mereka bikin karya bukan cuma buat dijual, tapi buat saling menguatkan.”
Pak Damar mengangguk, matanya berbinar. “Nah, itu! Itu kekuatan modal sosial. Putnam pernah bilang—ini saya kutip agak norak ya—‘jaringan sosial bisa meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi koordinasi dan kerja sama.’ Tapi dalam konteks seni, itu juga memperkuat rasa identitas.”
Intan memiringkan kepala.
“Tapi… kalau semua serba modal sosial, tanpa kontrak, tanpa aturan, bukannya rawan konflik?”
“Rawan. Tapi justru di situlah menariknya,” jawab Pak Damar. “Modal sosial bukan berarti semua harus harmonis. Tapi justru ada mekanisme informal yang tumbuh alami: dari obrolan di warung, dari kebiasaan saling bantu, dari cerita-cerita yang diwariskan.”
Rara menambahkan, “Dan itu semua tercermin di karya mereka. Misalnya pola tenunan bisa menyimbolkan hubungan keluarga atau sejarah kampung. Bukan cuma estetika, tapi juga narasi sosial.”
“Berarti… karya seni mereka tuh kayak CV sosial ya?” Intan mulai terlibat lebih dalam. “Ada cerita siapa mereka, dari mana mereka, dan siapa aja yang terlibat.”
“Betul,” Pak Damar tersenyum. “Dan modal sosial itulah yang bikin seni kerajinan bisa bertahan, meski dihimpit industri massal. Karena yang dijual bukan cuma barang, tapi kisah.”
Sesaat, ketiganya diam. Bukan karena kehabisan kata, tapi karena sedang mencerna betapa dalam dan personalnya obrolan ini.
Rara akhirnya bicara lagi, pelan. “Mungkin itu juga yang bikin saya betah di dunia kerajinan. Rasanya… lebih manusiawi.”
Intan mengangguk. “Dan lebih hangat. Gak sedingin SOP atau email formal.”
Pak Damar menutup percakapan dengan gumaman sambil menatap rak buku tua di seberang mereka. “Modal sosial itu seperti toko buku bekas. Mungkin tampak remeh, tapi di dalamnya tersimpan hubungan yang tak tergantikan.”
Teori Modal Sosial. Tawa kecil kembali hadir. Obrolan itu mungkin spontan, tapi menyentuh sesuatu yang dalam. Dan entah bagaimana, toko buku itu terasa sedikit lebih hangat dari biasanya.
Momen Personal
Teori Modal Sosial. Pojok baca yang kini terasa seperti ruang pengakuan
Hening tiba-tiba turun. Bukan canggung—lebih seperti jeda alamiah setelah obrolan yang mendalam. Ketiganya sama-sama menatap rak buku di depan mereka, tapi pikiran mereka entah sudah berjalan ke mana.
Rara memainkan ujung gelang rajut di pergelangan tangannya. “Aku tuh pernah ngerasa… sendirian banget, Pak. Waktu awal-awal riset di desa perajin itu.”
Pak Damar menoleh. “Kenapa?”
“Karena aku datang dari luar. Dari kota. Dari kampus. Aku pikir aku bawa ilmu. Ternyata aku yang belajar lebih banyak dari mereka.”
Intan mengangguk pelan.
“Kadang kita ngerasa jadi orang ‘tercerahkan’ ya… padahal sebenarnya kita cuma belum cukup diam buat mendengarkan.”
Rara tersenyum tipis. “Mereka tuh gak pernah ngomongin ‘modal sosial’, tapi mereka hidupin itu tiap hari. Aku malu sendiri waktu sadar selama ini aku cuma mengerti lewat jurnal, tapi mereka ngerti lewat hidup.”
Pak Damar tak menjawab. Hanya mengangguk perlahan, matanya seperti menatap jauh ke masa lalu yang hanya dia yang tahu.
Lalu, Intan menghela napas. “Dulu, aku pacaran sama anak seni. Dia pelukis. Idealismenya setinggi plafon galeri, tapi dompetnya sering kosong.”
Rara menoleh. “Yang suka pameran di gudang tua itu?”
“Ya, itu,” kata Intan, setengah tertawa. “Aku pernah bantuin dia nyiapin pameran. Aku bawa makanan, bantu pasang lampu, jadi tukang foto. Tapi dia gak pernah mau ngakuin aku bagian dari karyanya. Katanya, ‘ini seni murni, gak boleh terkontaminasi relasi pribadi.’”
Pak Damar mengangkat alis. “Wah. Itu seni atau eksperimen kimia?”
Tawa mereka meledak, tapi ada getir yang tipis menyelinap.
“Dari situ aku belajar,” lanjut Intan, suaranya lebih tenang. “Hubungan yang gak punya modal sosial… ya, rapuh. Sama kayak komunitas yang cuma dibangun di atas nama, tapi gak punya rasa percaya.”
Rara menatap Intan, kali ini tanpa sisa ketegangan masa lalu. “Mungkin karena itu seni kerajinan lebih jujur, ya. Gak ada jarak antara pembuat dan kehidupan mereka. Karyanya tumbuh bareng mereka.”
Pak Damar menyandarkan punggung, menatap langit-langit toko yang catnya sudah mulai mengelupas. “Saya dulu juga idealis. Waktu muda, saya pikir seni harus murni. Harus bebas dari pengaruh luar. Tapi makin tua, saya sadar… justru seni itu kuat karena pengaruh. Karena interaksi. Karena relasi.”
Ia menatap mereka berdua. “Dan kalian baru saja membuktikan itu.”
Hening lagi. Tapi kali ini, hening yang menghangat. Seperti teh yang diseduh lama—diam, tapi menyerap rasa.
Rara tertawa kecil. “Kita jadi kayak sesi terapi ya, Pak.”
“Kalau kalian sembuh, tolong isi form evaluasi ya,” jawab Pak Damar, membuat mereka tertawa lagi.
Teori Modal Sosial. Mereka tidak merencanakan percakapan ini. Tidak ada outline, tidak ada moderator. Tapi mungkin, justru di situlah kekuatannya: spontan, tulus, dan sangat manusiawi.
Perpisahan
Toko Buku Bekas, sore yang mulai berubah jadi senja
Matahari menggeliat turun di balik kaca buram toko buku. Cahaya keemasan menyusup dari sela-sela rak, menciptakan bayangan panjang yang menari-nari di antara buku-buku tua. Waktu berjalan pelan, tapi pasti. Seperti obrolan yang tidak ingin selesai, tapi tahu diri harus pamit.
Rara merapikan tasnya, memasukkan buku catatan kecil dan satu eksemplar Tenun Tradisional Toraja yang ia temukan setengah jam lalu. “Aku harus ke Pasaraya bentar. Mau cari benang warna kunyit. Katanya susah dicari sekarang, kayak cowok yang ngerti makna komitmen,” ujarnya sambil menyengir.
Intan tertawa, mengangkat tas jinjingnya.
“Aku mau langsung pulang. Hari ini… cukup padat secara emosional. Gak nyangka diskusi teori bisa bikin mikir tentang mantan.”
Pak Damar berdiri perlahan, menghela napas seperti baru selesai membaca novel favorit. “Saya mau keliling sebentar. Mau cari rak ‘Seni Timur’ yang katanya baru diisi. Tapi kayaknya saya udah dapat yang paling berharga hari ini.”
Mereka bertiga berdiri di tengah lorong buku, ragu sejenak. Tak ada pelukan, tak ada salam panjang. Tapi ada jeda sunyi yang cukup bicara: bahwa pertemuan ini bukan biasa.
“Pak…” Rara memanggil pelan. “Makasih ya, udah mau ngobrol bareng. Saya jarang nemu diskusi yang rasanya… nyata.”
Pak Damar tersenyum, matanya teduh. “Karena ini bukan diskusi. Ini temu jiwa. Kalau seni cuma soal wacana, dia akan kering. Tapi kalau dia menyentuh hidup… dia jadi abadi.”
Intan menatap keduanya, lalu berkata lirih, “Saya gak janji akan paham seni lebih dalam, tapi hari ini saya merasa… sedikit lebih manusia.”
Rara menatap Intan dan mengangguk. “Aku juga. Terima kasih sudah mau jujur.”
Tiba-tiba, di tengah suasana sendu yang nyaris filmis, Pak Damar menatap mereka serius.
“Kalian tahu gak,” katanya dengan nada misterius.
“Apa, Pak?” Rara dan Intan kompak menoleh.
“Dari tadi kita ngobrol panjang… tapi belum ada yang bayar kopi sachet tadi.”
Tertawa pecah. Meleburkan keharuan yang sempat menggumpal. Seperti pelangi setelah hujan kecil, tawa itu jadi penutup yang sempurna.
Mereka pun berjalan ke arah pintu. Tak bersamaan, tapi seiring. Rara lebih dulu melangkah ke kanan, ke arah Pasaraya. Intan belok ke kiri, menuju halte. Pak Damar tetap di dalam, membalikkan satu buku lagi di rak sambil bergumam, “Hidup ini memang perpustakaan berjalan. Yang penting, kita gak pernah berhenti membaca orang lain.”
Pintu toko tertutup pelan. Di dalamnya, hanya tersisa bau buku tua dan jejak percakapan yang masih menggantung di udara. Tapi di luar, masing-masing dari mereka membawa pulang sesuatu yang lebih berharga dari buku—pemahaman, kehangatan, dan rasa bahwa dalam dunia yang sering terasa asing, selalu ada ruang kecil di mana manusia bisa saling menemui.
TAMAT.
Anonim
wuih..seru juga kisahnya, diksi yang dipilih juga tepat, alur ceritanya pendek tapi pas ngena..sukses
athobasomarannu70@gmail.com
akan seru lagi cerit berkutnya, ikutin terus ya