
Apa Itu Kain Songket? Siapa sangka selembar kain bisa menyimpan cerita, keanggunan, dan kekayaan budaya yang luar biasa?
Ya, itulah kain songket, permata tekstil dari Nusantara yang nggak cuma cantik dipandang, tapi juga penuh makna di setiap helai benangnya.
Di berbagai penjuru Indonesia, songket punya gaya dan istilah yang unik. Misalnya nih, di Palembang, Minangkabau, dan Samarinda, songket di kenal sebagai kain tenun tradisional yang di hiasi benang emas atau perak.
Bayangkan kilau benang emas menyelip anggun di antara warna-warna khas, bikin siapa pun yang memakainya terlihat makin memesona!
Berbeda lagi ceritanya di Timor. Di sini, songket di kenal dengan sebutan kain sotis.
Teknik tenunnya menggunakan pakan yang membentuk ornamen timbul. “Sotis” sendiri berasal dari bahasa Timor yang berarti mengait atau menyungkit benang lungsi pada alat tenun tradisional.
Prosesnya rumit, tapi hasilnya? Luar biasa!
Baca juga: Membedakan Kain Tenun Indonesia: Pembuatan hingga Filosofinya
Karakter pada Benang Emasnya
Lanjut ke Sumbawa, khususnya di Kabupaten Bima, songket di sebut tembe songke, kain tenun dengan hiasan benang emas atau perak.
Tapi kalau benang hiasnya pakai katun berwarna, namanya berubah jadi tembe salungka. Unik banget, kan?
Nah, kalau kamu mampir ke Lombok, jangan heran kalau mendengar kata songket juga.
Tapi di sini, songket merujuk pada kain dengan hiasan timbul dari benang katun, emas, atau perak yang di kerjakan secara telaten oleh tangan-tangan terampil penenunnya.
Jadi, meskipun sama-sama di sebut “songket”, setiap daerah punya ciri khas dan cara menyematkan makna pada kain ini.
Menjelajahi kain songket bukan cuma soal mode, tapi juga petualangan budaya yang sarat filosofi dan sejarah.
Kalau kamu pecinta kain tradisional atau sedang mencari inspirasi liburan budaya, kenapa nggak sekalian langsung ke tempat asalnya?
Rasakan sensasi menyusuri sentra-sentra tenun, bertemu para pengrajin lokal, dan membawa pulang sepotong warisan Nusantara yang penuh cerita.
Keindahan Songket: Ragam Hias Berkilau Cerita
Kalau kita bicara soal kain tradisional yang glamor, elegan, dan penuh sejarah, songket adalah jawabannya! Bayangkan kain yang di sulap dari benang-benang halus sutera, lalu di percantik dengan kilauan emas dan perak.
Nggak heran, songket dari Palembang sering di sebut-sebut sebagai “Ratu dari segala kain tenun.”
Tapi, apa sih sebenarnya yang bikin songket ini begitu istimewa?
Secara teknis, songket itu adalah jenis kain tenun yang punya pola hias tambahan alias pakan tambahan. Tenun dasarnya bisa terbuat dari kapas, sutera, atau campuran keduanya. Nah, yang bikin ‘wow’ itu adalah benang emas atau perak yang di sisipkan secara selang-seling untuk membentuk motif yang berkilau indah.
Jadi, bukan cuma di tenun biasa, tapi benar-benar “di sulam” secara hati-hati hingga menciptakan karya seni tekstil yang menawan.
Menurut Van der Hoop (1949), setiap helai kain songket pasti mengandung ragam hias yang sengaja di buat menonjol.
Menariknya, benang emas itu nggak di pakai untuk seluruh permukaan kain, melainkan di sisipkan hanya pada bagian-bagian motif. Ini dia yang bikin tiap pola jadi terasa hidup dan punya karakter sendiri.
Pendapat para ahli tentang Songket
Puji Yosep, mengutip dari Jasper dan Pingardi, menjelaskan bahwa songket adalah teknik unik menaik-turunkan benang lungsi (benang memanjang) untuk membentuk desain emas yang memesona.
Sementara itu, Sobagiyo (1994) menambahkan bahwa songket pada dasarnya adalah penambahan benang pakan (weft) atau lungsi (warp) yang berwarna atau berbahan logam, tanpa terputus. Artinya, motif-motifnya di bentuk dengan penuh konsistensi dan ketelitian.
Suwati Kartiwa (1989) pun menekankan bahwa benang tambahan itulah yang membuat songket begitu khas. Teknik “menyungkit” atau menyisipkan benang lungsi secara selektif inilah yang menghasilkan pola hias unik yang jadi ciri khas songket.
Nah, seru kan?
Kalau kamu sedang cari destinasi budaya yang kaya akan wastra tradisional, Palembang wajib masuk daftar kunjunganmu! Di sana, kamu bisa menyaksikan langsung proses penenunan songket, ngobrol bareng para pengrajin yang sudah turun-temurun menjaga warisan leluhur, dan bahkan mencoba mengenakan kain songket yang anggun dan memikat itu.
Jadi, jangan cuma baca, datangi langsung, rasakan atmosfernya, dan bawa pulang cerita serta kain yang menyimpan jejak sejarah peradaban!
Ranggon, Alat Tenun Tradisional
Kalau kamu jalan-jalan ke daerah sentra tenun di Indonesia entah itu di Lombok, Sumatera, atau Sumba, jangan cuma terpukau sama keindahan kainnya.
Coba tengok lebih dekat ke balik layar alias dapur produksinya. Di sana, kamu akan bertemu dengan Ranggon, si jantung dari proses menenun tradisional.
Ranggon bukan nama orang, ya. Ini adalah perangkat alat tenun tradisional yang terdiri dari beberapa komponen kayu dan bambu, yang kalau di lihat sekilas mungkin tampak sederhana.
Tapi jangan salah, setiap bagiannya punya fungsi yang saling terhubung dan tak tergantikan. Seperti orkestra kecil yang menciptakan simfoni benang!
Nama bagian dari Alat tenun
- Ane : Balok kayu memanjang dengan tiga kaki yang siap mengatur benang lungsi jadi dua bagian: atas dan bawah. Selain itu, Ane juga berperan penting dalam merancang balengun, alias bagian dasar dari kain tenun.
- Batang Jajak : Ini adalah dua batang kayu yang fungsinya sebagai penyangga jajak. Tanpa mereka, struktur alat tenun bisa goyah!
- Jajak : Nah, batang kayu yang satu ini berdiri gagah di atas batang jajak dan menjadi tempat penting untuk menambatkan tutuk—semacam papan penggulung benang.
- Tutuk : Sebilah papan mungil yang terlihat sederhana, tapi di sinilah benang lungsi di gulung dan di kendalikan sebelum di sulap jadi kain indah.
- Suri : Kalau kamu lihat seperti sisir besar yang di selipkan di alat tenun, itulah suri! Ia bertugas mengatur jarak benang lungsi dan menekan benang pakan agar motif yang tercipta jadi lebih rapat dan rapi.
- Golong : Terbuat dari bambu, alat ini berfungsi untuk meratakan serta memisahkan benang lungsi atas dan bawah. Biar proses menenun lancar tanpa benang saling bersilang atau kusut.
Peralatan selanjutnya
- Gun : Namanya memang singkat, tapi fungsinya krusial. Gun ini adalah batang bambu dengan diameter sekitar 1 cm yang di masukkan ke dalam balen gun untuk membantu menaik-turunkan benang lungsi atas dan bawah. Bisa di bilang, dia si “pengatur lalu lintas” benang supaya semuanya tetap rapi di jalurnya!
- Belida, : kalau yang satu ini bentuknya mirip pedang kecil dan terbuat dari kayu asam. Belida di gunakan untuk merapatkan benang pakan dengan cara di hentakkan. Jadi jangan heran kalau kamu mendengar bunyi duk-duk saat melihat proses menenun—itu suara belida bekerja!
- Apit adalah bilah kayu yang berfungsi untuk menggulung bagian kain yang sudah ditenun. Fungsinya ibarat tempat penyimpanan hasil karya sebelum dilipat jadi kain utuh. Simpel, tapi penting banget!
- Lekot Ini dia alat yang paling “personal” bagi penenun. Lekot adalah kayu berbentuk seperti busur panah yang menjadi sandaran pinggang penenun. Supaya nyaman saat bekerja berjam-jam, lekot ini diikatkan ke ujung apit menggunakan tali, agar posisi duduk tetap stabil dan penenun bisa fokus tanpa pegal.
- Tekah adalah batang bambu ramping (diameter sekitar 0,8 cm) yang berfungsi untuk meratakan atau merentangkan bidang tenunan. Fungsinya penting banget agar suri (alat sisir tenun) nggak mudah patah saat bekerja. Bisa dibilang, tekah ini si bodyguard-nya suri!
- Peniring Terakhir, ada peniring alat sederhana dari bambu yang digunakan sebagai tempat menggulung benang pakan. Kecil, ringan, tapi jadi bagian penting dari irama menenun.
Pengulas: Baso Marannu, owner pengembang website RAHASIA (https://ragamhiasindonesia.id ) saat ini sebagai peneliti Ahli Madya pada Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)