Bagaimana Gen Z memahami Ragam Hias Tradisional

Bagaimana Gen Z memahami Ragam Hias Tradisional

Bagaimana cara Gen Z memahami ragam hias tradisional? Ini pertanyaan sekaligus tantangan buat Gen Z. Mengapa saya katakan demikian, karena sepengetahuan saya, beberapa produksi kerajinan yang berkaitan dengan ragam hias tradisional. Secara visual mereka dapat nikmati namun secara makna atau filosofis mungkin saja sama sekali mereka tidak memahaminya. (tapi ini mungkin hanya sebagian kecil Gen Z).

Mari kita mengulik beberapa hasil karya yang mengutamakan ragam hiasnya. Misalkan kain tenun atau ukiran pahat rumah tradisional atau bahkan lebih akrab dengan kain batik. Semua itu sangat berkaitan erat dengan pola ragam hias atau motif yang memiliki ciri spesifik kedaerahan dan berkaitan dengan tradisi lokal suatu tempat.

Mungkin saja sebagian Gen Z ketika melihat hasil karya kerajinan tersebut. Kemudian berkomentar “waow keren juga ya, tapi kayaknya agak kuno bro, kalo pakai sehari-hari”.

Pada satu sisi mengagumi karya tradisional yang buatan pengrajin lokal. Namun sisi lainnya para Gen Z menilai dari segi tren dan kemoderenan saat ini.

Tentu bedalah! Karena perubahan yang ada saat ini, sangat pesat, termasuk desain, pola ragam hias atau ornamen yang sedang popular, dunia semakin terbuka. Tentu kaitannya dengan ragam hias juga mengalami transmorfasi.

Kita menyadari bahwa ada beberapa bagian yang buat pengrajin lokal tidak mampu mereka lakukan. Atau bahkan mereka tidak bisa mengikuti keinginan pasar. Itulah tradisi, jika mereka berkembang dan jauh meninggalkan pakem yang selama ini mereka anut, itulah yang kita katakan modern.

Pertanyaan sederhana adalah apakah Gen Z masih peduli dengan ragam hias tradisional yang ada di nusantara ini. Terutama di daerah pedalaman, atau mereka (baca: Gen Z). Cuman ikut-ikutan tanpa benar-benar memahami makna dan filosofi dari setiap guratan ragam hias tradisional.

Baca Juga : Industri Kerajinan Tradisional: Akankah Tergerus atau Bertahan?

Benarkah menjadi warisan yang terlupakan?

Bagaimana Gen Z memahami Ragam Hias Tradisional. Saya tidak berani mengatakan bahwa Gen Z benar-benar sepenuhnya sudah melupakan warisan dari nenek moyang mereka. Mungkin masih ada saja yang peduli dan memiliki perhatian yag besar terhadap perkembangan seni ragam hias di Indonesia.

Saya hanya meragukan jumlahnya. Mungkin saja hanya segelintir Gen Z yang memiliki hati dan perasaan untuk memperhatikan perkembangan seni kerajinan. Yang mengutamakan pola ragam hias dalam setiap karyanya.

Ragam hias tradisional bukan hanya persoalan motif yang cantik, indah dan unik. Tapi dari karya itu para pengrajin juga menitipkan pesan tentang nilai budaya, sejarah hingga makna spiritualitas.

Jadi saya ingin katakan bahwa untuk apresiasi dari segi visual. Saya meyakini bahwa mereka para Gen Z sangat perhatian bahkan mereka mengagumi lebih dari sekedar karya kerajinan modern.

Persoalan yang lebih rumit sebenarnya. Ketika Gen Z tidak mampu mendalami dan memahami secara fasih, filosofi dan makna karya yang di buat oleh pengrajinnya. Hanya itu yang dapat mengantarkan mereka lebih paham dan lebih marasuk dalam hati dan pikiran Gen Z.

Motif sekedar penghias di media sosial

Secara pribadi, saya memahami bahwa suatu zaman tidak bisa kita memaksakan suatu generasi untuk tetap mengikuti pola generasi sebelumnya. Gen Z tidak mungkin kita paksakan untuk tetap berpikir dan bertindak seperti generasi baby boomer. Mereka tentu memiki hak untuk memilih atau tidak memilih sama sekali.

Seperti halnya ketika beberapa motif tradisional bersliweran di beranda Tiktok atau IG secara visual mungkin saja mereka senang melihatnya, karena unik dan jarang mereka jumpai. Tapi apakah masih beriringan dengan keinginan untuk mengetahui lebih dalam tentang makna, nilai filosofi?

Apakah mereka mengetahui bahwa batik Kawung itu memiliki simbol iman dan keseimbangan dalam hidup? Atau apakah Gen Z mengerti bahwa Tenun Sumba itu dengan ragam hias yang mereka buat pada kain tenun menggambarkan kuatnya hubungan manusia dengan alam dan leluhur mereka.

Mungkin saja para Gen Z kurang memahami bahwa ukiran jawa yang menggunakan motif tertentu mengandung nilai kesabaran dan mengagumi keindahan serta selalu teliti dalam mempertimbangkan persoalan.

Jika hal ini telah mereka sadari, dan mau belajar pada generasi sebelumnya, tentu saja kita akan bangga dengan Gen Z yang semakin hari hanya hidup dengan smartphone serta bergelut dengan teknologi kecerdasan buatan (AI)

Tren Gen Z memperlakukan warisan budaya?

Bagaimana Gen Z memahami Ragam Hias Tradisional dan Tren Gen Z memperlakukan warisan budaya?

Pertanyaan ini juga yang selalu bikin sesak napas, kalo nanya pada mereka jawabnya, Pak itu zaman Bapak, kalau sekarang ini, sudah ketinggalan zaman pak!!! Mestinya para pengrajin itulah yang bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman! Benar juga ya! He..he..

Ketika lebih dalam kita menanyakan bagaimana mereka memperlakukan warisan budaya? Jawabnya sederhana, ikuti aja bagaimana mereka menyikapi perkembangan itu sendiri.

Namu ada yang menarik dari fenomena gaya Gen Z untuk menyikapi sesuatu yang mungkin kita sebagai generasi sebelumnya nggak sempat terpikir, bagaiman mereka memperlakukan warisan budaya mereka.

Fenomena “yang penting Trendy dulu!”

Ada beberapa model atau batik yang biasa mereka pakai, entah itu sekedar ke mall atau pertemuan semi resmi, buat mereka memakai “batik” itu sesuatu yang unik dan menarik.

Yang mereka utamakan adalah coraknya yang ngejreng srta desain yang lebih modern. Tentu ini sangat berbeda dengan motif batik yang tradisional. Jadi mereka menggunakna ‘batik’ tapi mereka sendiri mungkin saja tidak memahami motif yang mereka gunakan. Pertanyaan yang biasa Gen Z lontarkan adalah apakah perlu mengetahui makna untuk menggunakan sesuatu?

Produk Lokal yang sedang Viral

Memang pertanyaan sebelumnya itu buat mereka dilematis, satu sisi mereka harus belajar makna dan filosofi, dan scara bersamaan mereka juga diharapkan menggunakan produk lokal yang tradisional.

Beberapa Batik, sepatu atau baju bahkan jaket sukses bikin produk lokal mereka tren dan viral di media sosial, nah buat Gen Z yang cenderung fomo, maka kesempatan buat mereka menggunakannya, jadi mereka pakai atau tidak sebenarnya tergantung viral atau tidaknya produk tradisional tersebut di media sosial.

Ada tas yang motifnya dari batik, bahkan snakkers yang memakai desain ragam hias tradisional menurut mereka sangat fashionable, jadi ketertarikan mereka menggunakan atau membelinya hanya faktor viral saja.

Kembali pada bagaiman makna dan filosofinya? Ya..menurut saya pribadi, gen Z cuek saja dengan persoalan itu, mereka sebagai pengguna saja, mereka sebagai penikmat dari karya itu, nah kalau demikian sebenarnya perlu dibalik nih.

Pengrajin menyesuaikan diri dengan keinginan Gen Z, bagaimana?

Kurang edukasi tentang makna ragam hias

Harus kita akui dan itulah menjadi kelemahan kita yang melahirkan gen Z. Mestinya mereka kita berikan pelajaran dan pemahaman tentang Ragam hias, makna motif serta filosofi dari ornamen tradisional.

Pemerintah, terutama sekolah mestinya memberikan pelajaran berkaitan dengan bagaimana mereka menghargai dan mewarisi budaya nusantara. Termasuk memberikan pencerahan terkait kerajinan yang bernuansa ragam hias tradsional.

Bagi Kementerian Kebudayaan atau juga Kementerian Pariwisata dan ekonomi Kreatif perlu memikirkan hal ini. Gen Z perlu menjadi perhatian utama, karena merekalah yang akan menjadi pelaku utaa pada masa mendatang.

Jika mereka hanya menikmati hasil karya kerajinan secara visual. Maka dapat dipastikan beberapa tahun mendatang, hasil karya kerajinan tradisional akan hilang dan tinggal sejarah.

Melestarikan atau sekedar memakai saja?

Ya dua-duanya dong! Penting memakainya, karena hal itu akan menghidupkan produksi kerajinan tradisional. Tidak mungkin Gen Z melestarikan karya seni kerajinan tradisional hanya dengan melototin aja karya tersebut.

Agar Gen Z diberikan pembelajaran dan pengetahun tentang ragam hias tradisional seperti

Pertama memberikan pengenalan tentang makna Filosofi setiap motif dan ragam hias yang ada di setiap daerah. Sesuai dengan pemaknaan yang mungkin saja subyektif.

Kedua mendukug aktivitas pengrajin lokal dengan cara. Memberikan penghargaan tentunya dengan membeli produk yang mereka hasikan tanpa harus menawar di harga yang terendah. Saya yakin pengrajin tidak terlalu mendapatkan keuntungan yang besar, dibanding dengan waktu pembuatannya.

Ketiga, Gen Z harus memberikan rasa bangga dengan menggunakan produk kerajian tersebut

Terakhir bagikan cerita dengan orang lain dalam bentu cerita yang membuat pengrajin termotivasi untuk terus berkarya. Itu saja cukup untuk memberikan support bagi Pengrajin Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *