Ketika Robot Mengambil Alih: Refleksi Hari Buruh Internasional

Bagikan ke
Ketika Robot Mengambil Alih: Refleksi Hari Buruh Internasional

Ketika robot mengambil alih, apakah semua itu menjadi akhir dari perjuangan buruh? Sebuah pertanyaan yang menggelitik, tulisan ini merupakan ulasan dari sebuah artikel yang di tuliskan oleh  Teduh G. Alam, Achmad L. N. Antony, Kezia V. Hotama, dan Syahira S. Kuswandi Universitas Padjadjaran yang di muat dalam jurnal Hubungan Internasional Tahun XII, No.2, Juli – Desember 2019

Saya sangat tertarik dengan ulasan yang ciamik dari penulis, karena mengungkapkan fenomena yang kita alami sekarang ini. Padahal tulisan di buat tahun 2019, sekarang bertepatan dengan hari buruh sedunia 1 Mei 2025.

Enam tahun yang lalu. Tulisan Teduh G dkk ini menyiratkan pandangan masa depan yang menjadi tantangan para buruh sedunia saat ini.

Era kehidupan terus bergerak dan semakin cepat.

Kini kita sedang mengarungi lautan di tengah gelombang besar yang di sebut Revolusi Industri Keempat. Perlahan tapi pasti, tentu cara hidup kita berubah, semua lini kehidupan kita berubah. Terutama soal pekerjaan.

Otomatisasi dan teknologi digital yang semakin canggih mulai mengambil alih banyak peran manusia.

Nggak heran kalau kelas buruh kasar jadi yang paling rentan. Sementara pekerja menengah ke atas justru mendapat lebih banyak ruang untuk berkembang (BBC, 2019).

Masalahnya, sistem pembentukan karakter sosial yang selama ini kita andalkan, mulai terasa kurang cocok dengan dunia yang berubah cepat ini.

Baca juga : Tipografi Ornamen Terali Biola: Menghidupkan Budaya Melayu Deli

Robotisasi dan rutinitas

Saya membayangkan saat ini, manakala kecerdasan buatan (AI) dan robot (Mesin otomatis) sudah menjadi  bagian dari rutinitas dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kita sudah terbiasa menggunakan chatGPT, copilot dan lain-lain atau sudah akrab dengan segala peralatan rumah tangga yang kita kendalikan melalui remote control.

Selanjutnya saya berpikir, sebenarnya apa yang bikin kita tetap menjadi ‘manusia’?

Penulis dengan jeli menjelaskan bagaimana kita sebagai manusia menjaga marwah sertsmempertajam sisi-sisi kemanusiaan kita.

Manusia seharusnya tetap menjaga kemampuan berkomunikasi dengan empati, berpikir kreatif, dan berinovasi untuk menghadapi masalah baru yang terus bermunculan.

Termasuk AI yang semakin ‘cerdas’

Saat kita menjaga jati diri ke’MANUSIA’an kita maka itulah yang membedakan kita dari mesin bukan cuma otak. Tapi juga hati dan imajinasi.

Pernahkah kita berimajinasi seandainya dunia tanpa tukang bangunan, buruh pabrik, atau bahkan petugas perbankan? Mungkin terdengar seperti fiksi ilmiah.

Seperti film-flm yang banyak kita saksikan saat ini.

Tapi setelah saya baca kemudian merenungi artikel menarik dari Teduh Gentar Alam dan timnya. Saya jadi merasa skenario itu bukan lagi sebatas film masa depan.

Tapi sebuah kenyataan yang sedang mengetuk pintu zaman kita.

Tekanan otomaisasi

Sejak abad ke-17, perjalanan hidup pekerja buruh selalu terdengar sama: kerja keras, standar upah rendah, tekanan tinggi. Tapi realitasnya sering menjadi pihak yang paling tersingkir dalam roda sosial.

Di tengah bisingnya geirigi mesin-mesin industri dan ambisi besar korporasi Industri. Para Buruh kerap menjadi korban dari sistem kapitalisme yang dominan mementingkan kuntungan ketimbang kesejahteraan pada pekerjanya.

Kalau sebelumnya para buruh mendapatkan tekanan datang dari jam kerja panjang dan upah kecil. Sekarang tantangannya makin besar dan tidak terkendali yakni ‘otomatisasi‘.

Ya, Industri mulai menggunakan mesin pintar dan robot yag mengambil alih peran yang dulu di kerjakan para buruh.

Persoalan pokoknya adalah Bukan cuma soal menambah kerjaan, tapi buruh saat ini juga terancam kehilangan pekerjaan itu sendiri.

Pada point penting ini, kaum buruh bukan cuma dituntut kuat bertahan dari tekanan, tapi juga harus siap menghadapi perubahan besar-besaran yang akan menggusur mereka dari arena pekerjaan.

Penulis dengan jelas memaparkan periodesasi revolusi industri, pada artikel ini tidak hanya membedah fenomena Revolusi Industri Keempat secara teknis, tetapi juga mengajak pembeca untuk merenung.

Kemana arah nasib kaum buruh saat robot dan kecerdasan buatan mengambil alih peran pekerjaan yang saat ini mereka lakukan?

AI dan Internat

Penulis juga memberikan penjelasan bahwa Kalau kita bicara soal Revolusi Industri Keempat, sebenarnya kita sedang membicarakan sesuatu yang lebih dari sekadar teknologi canggih.

Perkembangan Ini membicarakan tentang bagaimana batas antara pasar dan investor makin kabur. Bagaimana beberapa bidang pekerjaan dari pertanian sampai teknologi luar angkasa. Mulai saling berkolaborasi secara ketat. Tentang bagaimana kecerdasan buatan dan internet secara brlahan namun pasti mengambil peran besar dalam hidup kita sehari-hari (Xu et al., 2018).

Nah, saya memahami bahwa poin terakhir yakni AI, teknologi dan internet, jadi bahan pertimbangan serius para ahli menyambung kesenjangan dalam dunia kerja para buruh.

Mereka melihat bahwa perkembangan ini nggak cuma akan mengubah cara kita bekerja, tapi juga bisa memberikan pangaruh yang besar pada nasib para buruh secara umum.

Bukan karena mereka nggak tidak mampu menyesuaikan diri, tapi karena “lawan mainnya” sekarang bukan manusia lain, melainkan teknologi AI dan Robot yang nggak pernah capek dan mampu bekerja 24 jam tanpa henti.

Cerita Besar di Balik Dunia Otomatisasi

Artikel ini menjelaskan dengan gamblang dan narasi yang kuat tentang bagaimana robot dan AI menjadi penguasa dan pengubah permainan dalan kehidupan manusia.

Mengutip World Economic Forum 2016, para penulis dengan cermat menjelaskan bagaimana teknologi telah merangsek ke semua lini kehidupan mulai dari dunia bermain anak-anak, ruang belajar, dunia kerja, hingga kehidupan sehari-hari.

Bahkan tak tanggung-tanggung, para ilmuan dalam pertemuan tersebut langsung menyodorkan satu pertanyaan besar: apakah ini akhir dari buruh di seluruh dunia?

Ngeriii!

Tapi sabar dulu, krena nggak semua kabar dari Revolusi Industri Keempat itu bikin jantung hampir copot.

Di balik kekhawatiran soal mesin yang katanya akan “mencuri” pekerjaan manusia, namun pada sisi lain yang justru membuka peluang.

Tenaga kerja dan rata-rata upah buruh di Indonesia tahun 2024

Dunia kerja masa depan

Menurut prediksi yang dil akukan oleh Schwab (2016), ada empat hal besar yang bakal membentuk dunia kerja ke depan:

  • Bagaimana membuat harapan pelanggan yang makin tinggi (customer expectation) dapat terpenuhi secara optimal.
  • Membuat pengembangan produk yang makin canggih (product enhancement) namun tetap memanusiakan manusia.
  • Membentuk kolaborasi lintas bidang yang makin dinamis (collaborative innovation) dengan pelibatan semuah kemampuan manusia
  • Melakukan perubahan dalam bentuk organisasi kerja itu sendiri (organizational forms).

Apa Artinya? Kecerdasan buatan (AI) dan robot itu nggak melulu kita jadikan sebagai “penjahat” dalam segala aspek kehidupan ini.

Justru AI dan Teknologi digital bisa jadi partner kerja baru yang membuka lapangan pekerjaan jenis bar.

Bukan malah menciptakan sebuah gelombang pengangguran secara massal seperti yang sering di khawatirkan dan mulai terlihat feknya saat ini dan mungkin masa mendatang.

Tantangannya, ya pekerja (baca:buruh) harus siap belajar hal-hal baru dan adaptif menghadapi perubahan, terutama perkembangan teknologi.

Buat saya, yang menarik dari artikel ini adalah bagaimana penulisnya tidak hanya menyajikan data kering, tapi juga menuliskan secara runtut tentang sejarah revolusi industri dari yang pertama hingga keempat.

Kita di bawa untuk memahami bahwa setiap lompatan teknologi selalu punya konsekuensi logis, terutama bagi pekerja yang menggantungkan hidup dari pekerjaan fisik dan berulang secara rutinitas.

Tenaga Otot ke Intelektual Digital

Ada bagian favorit ketika artikel ini menjelaskan transformasi buruh dari sekadar “tenaga kerja” menjadi “buruh intelektual.”

Di era serba digital, yang di butuhkan bukan hanya kekuatan otot, tapi juga kecakapan berpikir, kemampuan beradaptasi, dan kreativitas.

Para penulis mengutip studi dari Frey & Osborne (2013), yang menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan yang mengoperasikan sesuatu seperti operator mesin dan telemarketer berisiko tinggi tergantikan oleh mesin.

Ketika robot dan AI mengambil alih sebagian besar pekerjaan, saat Revolusi Industri Keempat ini tentunya dapat di katakan berbeda di bandingkan tiga revolusi sebelumnya.

Perubahan wajah industri

Nggak cuma sekadar upgrade mesin atau penemuan baru, tapi lebih ke soal bagaimana seluruh wajah industri berubah total. Xu dkk. (2018).

Xu sebagai penulis memberikan penjelasan bahwa setiap gelombang revolusi industri memang selalu datang membawa perubahan besar, dan salah satu yang paling mencolok adalah hilangnya sejumlah pekerjaan yang dulu di anggap penting banget di eranya.

Tapi jangan langsung panik dulu. Menurut mereka, perubahan ini terjadi karena perekonomian global juga ikut bergeser, bukan pelan-pelan, tapi dalam tempo yang cukup ‘dramatis’.

Kenyataannya saat ini dunia kerja sekarang sedang melahirkan tipe buruh baru.

Bukan lagi buruh yang mengandalkan kekuatan otot semata. Tapi buruh yang punya kapasitas intelektual lebih tinggi, yang di tuntut bisa berpikir kritis, adaptif, dan kreatif dalam menghadapi serbuan teknologi AI.

Kapitalisme Baru dan Ketimpangan Lama

Salah satu kritik tajam dalam artikel ini adalah terhadap sistem kapitalisme. Para penulis menilai bahwa pemilik modal kini punya ‘senjata’ baru dalam bentuk mesin yang tidak perlu digaji, tidak cuti, dan tidak pernah sakit.

Sementara itu, buruh dituntut meningkatkan kualifikasinya dan potensi yang lebih dari biasanya agar tidak tersingkir.

Dengan mengutip Marx hingga Schumpeter, artikel ini berhasil menghubungkan pergeseran ekonomi makro dengan dinamika mikro di lapangan kerja.

Yang menyentuh, penulis mengingatkan bahwa perkembangan teknologi yang luar biasa ini, jika tidak dikawal, hanya akan memperlebar jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin.

Sebuah refleksi yang sangat relevan, terutama untuk negara-negara berkembang.

Zaman berubah, dan begitu juga lawan tanding di arena kerja. Kalau dulu perjuangan kelas buruh lebih banyak berhadapan dengan sistem dan para pemilik modal, sekarang mereka punya “lawan” baru yang nggak pernah tidur, nggak minta gaji, dan nggak pernah sakit: kecerdasan buatan alias AI.

Brynjolfsson dalam laporan World Economic Forum (2017) sempat kasih semacam survival guide buat generasi buruh masa kini.

Ia menyarankan strategi tiga langkah yang cukup sederhana tapi penuh makna:

  1. Pekerja di harapkan melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh mesin kalaupun bisa hasil akan berbeda;
  2. Saatnya kita sebagai manusia, dalam menyelesaikan tugas harus mampu bekerja sama dengan mesin, bukan melawannya apalgi mematikannya;
  3. Jangan mencoba keunggulan yang secara alamiah kita tidak dapat mengalahkan AI atau robot, bersaing langsung dengan mesin, karena, ya jujur saja, manusia bakal kalah.

Intinya, manusia punya keunggulan di bidang yang nggak bisa diukur dengan angka—seperti empati, kreativitas, dan intuisi.

Jadi daripada ngotot jadi lebih cepat dari robot, lebih baik kita fokus pada hal-hal yang cuma manusia yang bisa lakukan.

Menurut Brynjolfsson bukan lagi soal hapalan atau pekerjaan mekanis, tapi soal bagaimana memupuk kreativitas dan skill unik yang nggak bisa dicontek mesin.

Sebuah Panggilan untuk Bertindak

Kalau kita lihat lebih dekat Ketika robot mengambil alih, buruh di era Revolusi Industri Keempat ini sebenarnya sedang berdiri di persimpangan jalan.

Ada dua ‘resiko’ yang kemungkinan besar yang bisa terjadi, dan keduanya cukup kontras.

Pada satu sisi, risiko kehilangan pekerjaan karena otomatisasi dan teknologi mulai menggantikan banyak tugas rutin yang sebelumnya di kerjakan manusia.

Tapi di sisi lain, justru ada peluang terbuka lebar di pekerjaan level menengah hingga atas yang menuntut keterampilan lebih tinggi.

Dengan kata lain, situasinya mirip kayak sedang main game: kalau kita stuck di level dasar, bisa-bisa tergeser.

Tapi kalau bisa naik level, belajar skill baru, dan adaptif, justru bisa naik kelas dan dapet “quest” yang lebih seru dan bergengsi.

Tantangannya, tentu saja, adalah bagaimana kita siap menghadapi perubahan ini dengan bekal yang tepat.

Membaca artikel ini seperti menatap cermin besar dunia kerja kita hari ini—penuh ketidakpastian namun juga penuh peluang.

Bukan saatnya kita bertanya “Ketika robot mengambil alih?” tetapi “apa yang bisa kita lakukan sebagai seorang manusia?”

Dan mungkin, di sanalah masa depan buruh berada.

Selamat Hari Buruh Sedunia 1 Mei 2025

Pengulas: Baso Marannu (pemerhati seni kerajinan Indonesia) owner pengembang website www.ragamhiasindonesia.id. saat ini sebagai peneliti Ahli Madya pada Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban – BRIN