
Koleksi Kain Songket NTB. Siapa sangka, sejak tahun 1976, Museum NTB udah punya koleksi kain songket Lombok yang jumlahnya nyaris lebih dari 300 lembar!
Nggak cuma jadi pajangan cantik di balik kaca, kain-kain ini menyimpan jejak budaya yang kuat dari masyarakat Suku Sasak.
Uniknya lagi, kain-kain tersebut di peroleh lewat kegiatan pengumpulan, museum memberikan imbalan yang pantas ke masyarakat pemiliknya. Jadi, semua prosesnya di lakukan dengan penuh penghargaan terhadap nilai tradisi.
Kalau kita menelusuri sejarahnya, kain songket di Lombok itu nggak sekadar kain biasa. Buat masyarakat Sasak, songket punya fungsi penting dalam momen-momen sakral. Misalnya, di pakai saat upacara adat atau jadi pakaian pengantin.
Baca juga: Membedakan Kain Tenun Indonesia: Pembuatan hingga Filosofinya
Beberapa jenis-jenis kain songket
- Bendang: kain panjang yang biasanya di pakai oleh kaum wanita.
- Selewoq: versi kain panjang buat para pria.
- Dodot atau Leang: saput alias kain yang di lilitkan oleh pria.
- Sabuk Bendang atau Sabuk Anteng: selendang cantik yang juga berfungsi sebagai ikat pinggang bagi wanita.
- Bebet: ikat pinggang khas pria Sasak.
Nah, aktivitas menenun kain songket ini nggak cuma jadi tradisi, tapi juga jadi sumber penghidupan bagi banyak warga Sasak. Mereka tersebar di berbagai pelosok Lombok.
Di Lombok Barat, kamu bisa menemukan para penenun di Dusun Getap (Cakranegara) dan Desa Sukadana (Bayan). Lanjut ke Lombok Tengah, tenunan cantik lahir dari tangan-tangan terampil di Desa Sukarara (Praya Barat) hingga ke Desa Sengkol dan Desa Rembitan di Kecamatan Pujut.
Sementara itu, Lombok Timur juga nggak mau ketinggalan, penenun aktif di temukan di Desa Kembang Kerang dan Desa Sembalun, Kecamatan Sukamulia.
Yang bikin bangga, para penenun ini bukan cuma menjaga budaya, tapi juga menciptakan peluang ekonomi dari tradisi.
Kain songket bukan hanya simbol adat, tapi juga jalan menuju kemandirian masyarakat.
Jadi, kalau kamu ke Lombok, jangan cuma berburu pantai.
Sempatkan mampir ke desa-desa penghasil songket dan lihat langsung proses pembuatannya. Percaya deh, kamu bakal jatuh cinta sama keindahan, detail, dan makna di balik sehelai kain songket.

Ranggon dan Cagcag: Sahabat Setia Penenun Songket
Kalau kamu penasaran gimana cara kain songket Lombok tercipta, jawabannya ada pada alat tenun tradisional yang di kenal dengan nama Ranggon atau Cagcag.
Meski bentuknya sederhana, alat ini punya peran super penting. Tanpa mereka, nggak akan ada lembaran kain songket yang memesona itu. Dan yang bikin makin istimewa, para penenunnya kebanyakan adalah perempuan, terutama para gadis remaja yang dengan sabar dan telaten merangkai benang demi benang jadi mahakarya budaya.
Menenun bagi mereka bukan sekadar pekerjaan. Ini bagian dari hidup, dari jati diri. Di balik satu lembar kain songket, ada cerita panjang tentang ketekunan, tradisi, dan cinta pada warisan leluhur.
Nah, ngomongin soal warisan budaya, kamu pasti pernah dengar nama Koentjaraningrat, kan? Sejarawan dan antropolog Indonesia yang satu ini pernah bilang bahwa kebudayaan itu punya tiga bentuk utama dan semuanya nyambung satu sama lain, nggak bisa di pisah-pisah kayak mie ayam tanpa kuah.
Ide dan gagasan, termasuk nilai, norma, dan aturan adat.
Tindakan atau perilaku, alias kebiasaan atau aktivitas manusia yang berulang.
Benda hasil karya, seperti kain songket itu sendiri.
Koleksi Kain Songket NTB. Jadi, kain songket itu bukan cuma soal motif yang indah atau warna yang mencolok. Ia adalah simbol dari nilai-nilai hidup masyarakat. Setiap helai benang, setiap corak yang di tenun, memuat ide dan filosofi yang sudah hidup lama dalam masyarakat Sasak.
Budaya itu nggak cuma di kepala, tapi juga ada di tangan dan karya. Nilai-nilai adat memberi arah pada cara orang berpikir, bertindak, dan menghasilkan sesuatu yang bisa kita lihat, sentuh, bahkan pakai.
Koleksi Kain Songket NTB. Songket adalah wujud nyata dari perpaduan itu, antara ide, perilaku, dan benda. Maka, setiap kali kamu melihat atau memakai songket, kamu sebenarnya sedang menyentuh jejak budaya yang hidup.

Cerita di Balik Benang Songket Lombok
Kalau kamu perhatikan kain songket Lombok dari dekat, yang pertama kali mencuri perhatian pasti benangnya ya, benang katun yang jadi dasar tenunan.
Tapi bukan cuma itu yang bikin mata nggak bisa berhenti ngelirik. Ragam hias di atasnya juga luar biasa kaya: ada motif flora, fauna, manusia, sampai bentuk-bentuk alam yang di tenun dengan benang warna-warni.
Kontras antar motifnya terlihat jelas, tapi justru di situlah daya tariknya unik, hidup, dan penuh karakter.
Namun, jangan berhenti di permukaan aja. Di balik kecantikan fisiknya, kain songket Lombok menyimpan cerita panjang yang nggak kelihatan mata.
Ada sejarah yang membentuknya, adat-istiadat yang melingkupinya, pilihan bahan yang di gunakan, proses pembuatan yang di wariskan lintas generasi, hingga filosofi dalam setiap elemen seni hias yang tertanam di setiap jalinan benang.
Dengan kata lain, kain songket itu ibarat buku cerita tapi nggak di tulis pakai tinta, melainkan di tenun dengan cinta dan tradisi. Setiap motif punya makna, setiap warna punya rasa.
Dan saat kamu memakainya, kamu sebenarnya sedang membungkus diri dengan warisan budaya yang hidup, bukan cuma sekadar aksesori fesyen.
Songket NTB Dirawat dengan Cinta
Museum NTB nggak cuma jadi tempat “menyimpan barang lama”, tapi juga jadi penjaga setia warisan budaya masa lalu, salah satunya kain songket Lombok.
Sejak dulu, museum ini aktif mengumpulkan kain-kain indah tersebut demi satu tujuan mulia: melestarikan karya budaya yang bisa disentuh, di lihat, dan di maknai.
Tapi mengoleksi saja nggak cukup. Setiap lembar kain songket di sana juga rutin di rawat lewat program konservasi alias perawatan khusus.
Tujuannya? Supaya kain-kain ini nggak cepat lapuk dan nggak jadi santapan empuk para hama iseng. Jadi, bukan hanya tersimpan rapi, tapi benar-benar terjaga seperti harta karun.
Menariknya lagi, Museum NTB nggak pelit informasi. Mereka rajin mengadakan kegiatan edukatif dan kultural buat ngasih tahu ke publik bahwa kain songket bukan cuma soal motif cantik, tapi juga punya cerita yang dalam.
Mulai dari identitas budaya, sejarah pembuatannya, nilai seni, sampai fungsinya dalam kehidupan masyarakat Sasak, semuanya dibongkar dan dikemas dalam bentuk pengetahuan yang bisa kita nikmati bersama.
Nah, di sinilah tantangannya muncul. Sebagai lembaga budaya, museum harus bermain di dua sisi:
Di satu sisi, mereka mesti fokus merawat dan meneliti koleksi, agar setiap benda bisa “bicara”—menceritakan kisah masa lalu lewat benang, warna, dan motifnya.
Di sisi lain, mereka juga harus bisa menyapa dan mengedukasi pengunjung dari berbagai latar belakang, terutama generasi muda yang mungkin belum terlalu akrab dengan istilah “songket” di luar momen kondangan.
Maka, keberadaan Museum NTB hari ini jadi semacam jembatan.
Ia menghubungkan masa lalu dengan masa kini, mengajak kita untuk nggak sekadar melihat kain songket sebagai benda kuno, tapi sebagai warisan hidup yang masih relevan, masih indah, dan masih layak diperjuangkan.

Pengulas: Baso Marannu, owner pengembang website RAHASIA (https://ragamhiasindonesia.id) saat ini sebagai peneliti Ahli Madya pada Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Tinggalkan Balasan