Memahami Nilai Estetis: Keindahan Bukan Sekadar Cantik

posted in: RAGAM HIAS | 0
Memahami Nilai Estetis: Keindahan Bukan Sekadar Cantik

Memahami nilai estetis. Kalau ngomongin keindahan, sebenarnya kata ini punya perjalanan panjang banget. Dari bahasa Latin bellum, lalu berubah jadi beau di Prancis, bello di Italia dan Spanyol, sampai akhirnya jadi beauty di Inggris.

Semua kata itu punya makna yang nggak sekadar “bagus di mata”, tapi juga nyangkut soal kebaikan dan kebenaran.

Jadi, keindahan itu levelnya memang nggak main-main bukan cuma buat memanjakan mata, tapi juga hati dan pikiran.

Nah, orang Yunani kuno aja udah mikir jauh ke sana. Buat mereka, keindahan nggak terbatas pada visual doang.

Bukan cuma soal lukisan indah atau patung keren, tapi juga bisa tercermin dari cara berpikir, sikap, bahkan perilaku sehari-hari.

Jadi, kalau ada orang bilang hidupnya sederhana tapi penuh ketenangan, itu juga bentuk keindahan. Malah ada dimensi spiritualnya, lho.

Keindahan bisa muncul saat jiwa kita merasa selaras, kayak ketemu “klik” dengan sesuatu yang lebih besar dan transenden.

Sumardjo (2000) juga punya pandangan menarik. Katanya, estetika itu bagian dari filsafat, alias bukan sekadar soal gaya atau seni doang, tapi juga tentang nilai yang kita pegang.

Dari sini, kita bisa nangkep kalau “nilai keindahan” itu punya orientasi sendiri. Nggak bisa disamain dengan sekadar “cantik” ala iklan kosmetik.

Jadi, kalau mau jujur, keindahan itu bisa banget hidup dalam berbagai bentuk. Dari senyum nenek-nenek yang sabar antri di pasar, sampai momen sunyi ketika kita ngopi sendirian sambil mikir masa depan.

Estetika itu hidup di sekitar kita, cuma kadang kita aja yang suka kelewat fokus sama yang “wah” dan lupa sama yang sederhana. Hehe, iya kan?

Baca juga: Souvenir Khas Eropa: Bisa Dijadikan Cinderamata Berkesan

Konsep-Konsep Keindahan: Dari Filosof Sampai Ngopi di Warung

Memahami nilai estetis. Ngomongin keindahan itu nggak pernah ada habisnya. Tiap orang punya cara sendiri buat mendefinisikan apa itu “indah”.

Nah, beberapa tokoh besar ternyata udah kasih pandangan yang lumayan gokil juga kalau dipikir-pikir. Yuk, kita bahas satu-satu, tapi santai aja ya, nggak usah tegang kayak mau ujian filsafat.

Herbert Read

Menurut Herbert Read, keindahan itu hadir ketika ada “kesatuan bentuk” di dalam kesadaran persepsional kita.

Bahasa gampangnya, sesuatu baru terasa indah kalau bentuk-bentuknya nyambung dan bikin otak kita bilang, “Eh, pas banget nih!” Bayangin aja pas kita lihat batik dengan motif yang selaras langsung terasa klop, kan?

Benedetto Croce

Beda lagi dengan Croce. Katanya, keindahan itu muncul kalau intuisi kita berhasil menemukan cara buat diungkapkan.

Jadi, kalau kamu punya perasaan atau ide, lalu berhasil menuangkannya jadi lukisan, puisi, atau bahkan status WA yang bikin orang “oh iya ya” nah, itu keindahan versi Croce. Intinya, jangan pendam inspirasi, ungkapin aja!

Hegel

Hegel agak serius nih. Menurut dia, keindahan itu kesempurnaan spiritual yang hadir lewat bentuk indrawi. Kalau dibawa ke kehidupan sehari-hari, keindahan bukan cuma dilihat mata, tapi juga dirasa jiwa.

Contohnya? Saat kita denger musik yang bikin merinding, itu bukan sekadar suara, tapi ada “roh” yang kita tangkap. Dalam bahasa gaul: vibes-nya dapet banget!

Eric Newton

Nah, kalau Eric Newton punya definisi yang lebih “psikologis”. Katanya, keindahan itu muncul dari gejala-gejala yang masuk lewat indra, lalu otak kita olah berdasarkan pengalaman hidup.

Jadi, misalnya kamu lihat senja buat sebagian orang itu romantis, tapi buat orang lain bisa jadi malah inget utang. Hehe. Intinya, keindahan itu personal banget, karena tiap orang punya memori dan tanggapan yang beda.

Malvin Rader

Menurut Malvin Rader, keindahan itu muncul ketika kita berhasil mengekspresikan hakikat sesuatu. Bahasa gampangnya: keindahan hadir kalau ekspresinya kena, pesannya nyampe, dan ada “klik” antara si pembuat karya sama yang menikmatinya.

Kayak pas kamu dengerin lagu galau, tiba-tiba liriknya nusuk ke hati, nah, itu ekspresivitas yang berhasil.

Mortimer Adler

Nah, beda lagi dengan Mortimer Adler. Katanya, keindahan itu sifat dari suatu benda yang ngasih kita rasa seneng tanpa harus mikir untung-rugi.

Jadi, kalau kamu lihat sunset di pantai, kamu otomatis senyum dan tenang, meski sunset itu nggak bisa kamu bawa pulang buat dijual.

Hehe. Intinya, keindahan menurut Adler bikin kita bahagia secara murni, tanpa embel-embel kepentingan.

Yoganatha

Sekarang giliran Yoganatha, yang bahasanya agak filosofis. Dia bilang, keindahan (ramaiya) itu rasa kenikmatan yang beda sama sekadar “joy” atau kegembiraan biasa.

Keindahan nggak nyangkut soal guna, juga nggak sebatas perasaan pribadi. Lebih dari itu, keindahan sifatnya universal dan transenden.

Kalau mau contoh gampang: keindahan kayak langit malam penuh bintang—semua orang, dari ujung dunia manapun, bisa ngerasain “wah” yang sama, meski dengan kata-kata yang berbeda.

Memahami nilai estetis: Berbagai pendapat ahli tentang keindahan

Keindahan Alam: Lukisan Gratis dari Sang Pencipta

Memahami nilai estetis. Kalau ngomongin keindahan alam, jujur aja kita nggak perlu bayar tiket mahal ke galeri seni. Tinggal keluar rumah, lihat langit sore, atau jalan sebentar ke sawah, boom! Kita langsung dapet pameran visual gratis dari Sang Pencipta.

Bedanya, ini bukan karya manusia, tapi “karya orisinal” semesta yang udah ada jauh sebelum Instagram lahir.

Menurut Erich Kahler, keindahan alam itu bisa muncul dalam banyak wajah. Kadang bikin hati adem, kadang bikin kening berkerut, tapi tetap aja bikin kita kagum.

Mari kita bongkar satu-satu dengan bahasa nongkrong, biar gampang cerna.

Harmony (keserasian)

Bayangin pemandangan sawah hijau yang ketemu sama langit biru cerah. Rasanya klop banget, kayak duet suara Ariel Noah sama Andra and The Backbone, beda karakter tapi nyambung.

Extreme disharmony (ketakserasian luar biasa)

Nah, ini agak tricky. Misalnya, gunung yang meletus. Dari sisi “alam”, itu nggak serasi, bahkan bikin ngeri. Tapi kalau kita lihat fotonya (dari jarak aman ya, bukan nekat selfie di bibir kawah), kadang ada sisi indah yang bikin merinding.

Colorful (berwarna-warni)

Pelangi, bunga liar, atau pasar ikan di tepi laut, semua penuh warna. Indahnya nggak bisa dibeli, apalagi dipoles filter. Kadang Tuhan memang lebih jago ngasih gradasi ketimbang aplikasi edit foto.

Sensational (menggemparkan)

Pernah lihat ombak gede di pantai selatan? Deg-degan, tapi keren. Alam bisa ngasih show yang lebih heboh dari konser musik manapun.

Calm (tenang)

Ini favorit banyak orang. Duduk di pinggir danau, denger suara jangkrik, terus angin sepoi-sepoi ngelewatin rambut, rasanya kayak di-reset ulang setelah seminggu kerja.

Idyllic (sederhana)

Kadang keindahan justru ada di hal-hal receh. Misalnya, kabut tipis di pagi hari, atau ayam berkokok dari kejauhan. Sederhana, tapi ngena.

Vast (luas)

Memahami nilai estetis. Pernah berdiri di tepi pantai, terus lihat horizon yang nggak ketahuan ujungnya? Itu momen di mana kita merasa kecil banget. Tapi justru di situlah letak keindahannya.

Mysterious impenetrability (ketakterpahaman yang pelik)

Gunung berkabut, hutan lebat, atau langit malam penuh bintang, semua bikin kita mikir, “Ada apa ya di balik semua ini?” Misterius, tapi bikin nagih.

Memahami nilai estetis: Keindahan dengan berbagai aspek pendukungnya

Pengulas: Baso Marannu, owner pengembang website RAHASIA (https://ragamhiasindonesia.id ) saat ini sebagai peneliti Ahli Madya pada Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *