Ornamen di Bagas Godang, Buat kamu yang belum membaca bagian pertama. Biar nggak bingung alangkah baiknya kamu klik aja yang Part#01, biar kita langsung jelasin lanjutannya.
Baca juga : Bolang di Bagas Godang: Ngulik Ornamen Mandailing (Part #01)

5. Bintang na Toras: Simbol Kepemimpinan dan Kekuatan
Bintang na toras kalo kita sepintas kayak tanda kali aja, (mirip rambu lintasan kereta api). Setelah memperhatikannya secara detil, ornamen ini bentuknya mirip bungan dengan empat kelopak dan ada sati garis tegak pada bagian tengahnya.
Oya, ornamen ini sama seperti sebelumnya tersusun rapi tetap di bagian depan Bagas Godang. Seperti penutup rumah yang berbentu segitiga tepat di atas pintu masuk. Tapi hiasan ornamen ini bukan sekedar hiasan biasa, karena juga memiliki makna yang mendalam.
Bintang na toras mempunyai makna mendalam yakni sebagai simbol kepemimpinan dan kekuatan pada Huta (ngerti kan Huta? Kalo nggak yang baca bagian part #01).
Mengapa posisinya di depan pintu masuk sebelum orang melangkah ke dalam Bagas Godang? Maknanya agar orang selalu menghargai dan menghormati adat dan pemerintahan yang yang telah terwariskan para leluhur Mandailing.
Oya para sahabat Indonesia. Dalam adat dan tradisi Mandailing, sebuah Huta nggak berdiri sendiri. Ada Natoras, yakni para tetua adat yang memimpin pemerintahan sekaligus untuk mengawal dan menjaga nilai-nilai tradisi.
Merekapun tidak bekerja sendiri tapi dukugan kuat oleh berbagai tokoh penting. Misalkan para hulubalang yang bertugas menjaga keamanan, Bayo-bayo Nagodang selaku penasehat. Serta Datuk dan sibaso yang berperan aktif dalam aspek spiritual dan kebijaksanaan.
Keberadaan mereka semua itulah menyebabkan Huta bisa berjalan dngan tertib dan harmonis. Tetap berpegang teguh pada nilai adat yang sudah terwariskan secara turun-temurun.
Bintang na toras juga memiliki makna filosofi kepemimpinan yang dalam. Keempat kelopaknya melambangkan keseimbangan antara kekuatan, kebijaksanaa, perlindungan dan Spiritualitas. Empat pilar ini menjadi bagian utama dalam menjalankan pemerintahan adat masyarakat Mandailing.
Sementara bagian tengah yang tegak lurus itu, melambangkan keteguhan seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Dari sinilah kita dapat belajar pada suku Mandailing. Bahwa seorang pemimpin bukan hanya orang yang memiliki kuasa, tapi juga harus jadi panutan, pelindung dan penjaga budaya. Agar adat Mandailing tetap lestari dari generasi ke generasi.
6. Rudang: Simbol Kesempurnaan Huta

Rudang adalah ornamen khas Mandailing yang punya makna dalam tentang kesempurnaan sebuah Huta. Bentuknya segitiga dengan tiang lurus di tengah, terinspirasi dari bunga kelapa yang masih kecil dalam seludangnya.
Dalam susunan Bindu Matoga Matogu, Rudang selalu berada pada bagian paling atas. Kenapa? Karena sebuah Huta akan sempurna kalau adat dan simbol kebesarannya sudah lengkap.
Sama seperti bunga kelapa yang terus tumbuh, sebuah Huta juga harus berkembang dengan nilai-nilai adat yang kuat dan terwariskan ke generasi selanjutnya.
Tapi kesempurnaan sebuah Huta nggak cuma terlihat dari rumah-rumah atau bangunannya aja. Ada banyak elemen penting yang bikin sebuah Huta benar-benar hidup!
Mulai dari pakaian adat yang mencerminkan identitas budaya, uning-uningan atau alat musik tradisional yang bikin suasana makin meriah, sampai senjata adat yang melambangkan kekuatan dan perlindungan.
Semua ini bukan sekadar pajangan, tapi simbol bahwa Huta bukan cuma tempat tinggal, melainkan pusat peradaban dan kebanggaan masyarakat Mandailing.
Filosofi Rudang ngajarin kita bahwa sebuah komunitas baru bisa sempurna kalau adat dan budayanya tetap terjaga.
Sama seperti bunga kelapa yang harus terawat sebelum mekar, sebuah Huta juga perlu lestari supaya nilai-nilai adatnya nggak hilang tertelan zaman.
Jadi, kesempurnaan itu bukan cuma soal fisik, tapi juga tentang bagaimana kita menyeimbangkan tradisi, identitas, dan perkembangan zaman biar semuanya tetap selaras.
7. Raga-raga: Simbol Keteraturan dan Keharmonisan

Raga-raga adalah ornamen khas Mandailing yang jadi simbol keteraturan dan harmoni dalam kehidupan sosial. Bentuknya mirip huruf “X” yang tersusun dari bilah-bilah bambu yang saling bersilangan.
Dalam susunan Bindu Matoga Matogu, Raga-raga ada di baris keempat dari atas—menggambarkan betapa pentingnya keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kayak bambu yang kuat tapi tetap lentur, hubungan antar manusia juga harus fleksibel tapi tetap punya aturan, supaya hidup jadi lebih selaras dan damai.
Makna Raga-raga nggak cuma soal keteraturan, tapi juga soal hubungan kekerabatan yang erat dalam budaya Mandailing.
Di sini, hubungan sosial nggak cuma berdasarkan darah, tapi juga lewat marbagas, alias perkawinan antarmarga.
Nggak heran kalau pernikahan dalam adat Mandailing itu bukan sekadar penyatuan dua orang, tapi juga dua keluarga, bahkan dua Huta. Lewat tradisi ini, masyarakat tetap terhubung satu sama lain, menciptakan jaringan sosial yang kuat dan saling mendukung di segala aspek kehidupan.
Lebih dari sekadar hiasan, Raga-raga ngajarin bahwa kehidupan yang harmonis itu dasar banguannya adalah saling menghormati, memahami, dan menjaga keseimbangan antara individu dan komunitas.
Kayak bilah bambu yang saling bersilang untuk menciptakan kekuatan, hubungan sosial yang erat juga bikin masyarakat jadi lebih solid, rukun, dan penuh kebersamaan.
Dengan filosofi ini, orang Mandailing ngajak kita tuh, untuk terus menjaga tali persaudaraan dan memperkuat kebersamaan, biar masa depan tetap cerah dan penuh harmoni.
8. Sancang Duri: Simbol Kejadian Tak Terduga dan Nilai Kemanusiaan

Sancang Duri adalah ornamen Mandailing yang punya filosofi unik tentang kejutan dalam hidup. Bentuknya mirip susunan duri ikan yang arahnya saling berlawanan. Menggambarkan bahwa hidup itu penuh dengan lika-liku dan hal-hal tak terduga.
Kadang rezeki datang tiba-tiba, kadang juga ada cobaan yang nggak tersangka-sangka. Dalam Bindu Matoga Matogu, Sancang Duri ada di baris keempat dari bawah, sebagai pengingat bahwa dalam perjalanan hidup, kita harus selalu siap menghadapi perubahan dengan bijaksana.
Tapi, Sancang Duri nggak cuman soal ketidakterdugaan, lho! Di balik simbol ini, ada nilai kemanusiaan dan kebersamaan yang kental dalam adat Mandailing. Contohnya, kalau ada orang asing datang ke Huta dan langsung menuju Sopo Godang—pusat pemerintahan dan musyawarah—para Namora Natoras (tetua adat) wajib menjamunya.
Bahkan setelah dia pergi, dia masih harus memberikan bekal untuk perjalanannya. Ini menunjukkan betapa kuatnya semangat gotong royong dan kepedulian sosial dalam budaya Mandailing, tamu nggak cuma dihormati, tapi juga dianggap seperti keluarga. Keren kan!
Filosofi Sancang Duri ngajarin kita bahwa hidup ini penuh kejutan, tapi dalam menghadapi ketidakpastian, kita tetap harus berpegang pada nilai-nilai kemanusiaan.
Saling membantu dan berbagi rezeki itu bagian dari adat yang harus terjaga, karena siapa pun bisa saja suatu hari jadi tamu atau musafir yang butuh pertolongan.
Kayak duri ikan yang tajam tapi tersusun rapi, hidup mungkin penuh tantangan. Tapi kalau kita hadapi dengan kebijaksanaan dan solidaritas, semua rintangan pasti bisa terlewati.
9. Jagar-jagar: Simbol Kepatuhan Masyarakat terhadap Adat-Istiadat

Jagar-jagar adalah ornamen Mandailing yang punya makna mendalam tentang kepatuhan terhadap adat dan aturan turun-temurun.
Bentuknya menyerupai tanda silang dan mirip putik kelapa kecil jika terlihat dari atas. Simbol benih kehidupan yang harus tumbuh dalam tatanan adat yang kuat.
Dalam Bindu Matoga Matogu, urutan Jagar-jagar ada di barisan kedua dari bawah, menegaskan bahwa adat adalah fondasi utama dalam kehidupan masyarakat Mandailing.
Sama seperti putik kelapa yang nantinya tumbuh menjadi buah yang bermanfaat, kepatuhan terhadap adat akan membentuk masyarakat yang harmonis dan berbudaya.
Setiap Huta punya aturan adat yang mengatur segala aspek kehidupan sosial.
Ada Adat Marraja yang berkaitan dengan pemerintahan, Adat Marmora untuk kaum Mora, Markahanggi untuk kaum Kahanggi, Maranak Boru yang mengatur hubungan orang tua dan anak boru, sampai Adat Naposo Nauli Bulung yang mengatur kehidupan anak muda.
Semua aturan ini bukan sekadar tradisi, tapi bagian dari sistem sosial yang bikin masyarakat Mandailing tetap rukun dan tertata.
Setiap individu punya peran masing-masing, dan kepatuhan terhadap adat inilah yang menjaga keseimbangan dalam kehidupan bersama. Filosofi Jagar-jagar ngajarin kita bahwa kehidupan yang teratur itu nggak datang begitu saja, tapi harus terpelihara lewat kepatuhan dan penghormatan terhadap nilai-nilai adat.
Kayak putik kelapa yang butuh perlindungan sebelum tumbuh sempurna, masyarakat juga perlu tumbuh dalam bingkai adat supaya tetap kokoh dan bermartabat.
Dengan memegang teguh adat-istiadat, kita nggak cuma menjaga warisan leluhur, tapi juga menciptakan kehidupan yang lebih tertata, rukun, dan penuh makna.
10. Bondul na Opat: Simbol Keadilan dalam Penyelesaian Perkara Adat

Bondul na Opat adalah sebagian dari ornamen khas Mandailing yang jadi simbol penting dalam hal keadilan.
Bentuknya segi empat berlapis-lapis, mencerminkan memegang teguh sistem hukum adat yang kuat dan tertata rapi.
Dalam Bindu Matoga Matogu, ornamen ini berada pada bagian tengah, seolah menegaskan bahwa keadilan harus selalu jadi pusat dalam setiap keputusan dan tindakan dalam masyarakat Mandailing.
Sama seperti urutan lapisan dalam motifnya, penyelesaian perkara adat juga harus dilakukan secara bertahap, dengan tetap mempertimbangkan semua sisi agar nggak ada yang merasa rugi ataupun untung secara sepihak.
Pada Huta, setiap perkara adat selesai di Sopo Godang, yaitu balai sidang tempat Namora Natoras (tetua adat) berkumpul untuk bermusyawarah.
Di sini, keputusan yang diambil nggak boleh asal pilih atau memihak salah satu pihak. Semua harus berdasarkan kebijaksanaan dan keseimbangan, supaya keputusannya adil dan bisa diterima semua orang.
Prinsip ini bukan cuma buat menyelesaikan masalah di permukaan, tapi juga menjaga hubungan baik dalam masyarakat Mandailing.
Filosofi Bondul na Opat ngajarin kita bahwa keadilan itu pondasi utama dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan penting untuk selalu menjaga keseimbangan hidup.
Setiap keputusan harus terpikirkan secara matang-matang. Kayak segi empat yang semua sisinya sama panjang—melambangkan keseimbangan dan kesetaraan dalam hukum adat Mandailing.
Dengan berpegang pada prinsip ini, masyarakat Mandailing nggak cuma menjaga nilai-nilai kearifan lokal, tapi juga memastikan setiap masalah bisa selesai dengan bijak, damai, dan tetap berlandaskan adat yang berlaku di Mandailing.
Ucapan terima kasih
tulisan ini merupakan bagian terkecil dari tulisan Toyba Lubis1, Herlina2*
Program Studi Sastra Batak, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang sudah dipublikasikan pada Journal of Language Development and Linguistics (JLDL) Vol. 1, No. 1, 2022: 55-70.
Juga ucapan terimakasih buat andreasmalango yang termuat dalam https://budaya-indonesia.org/BOLANG-Ornamen-Tradisional-Mandailing