
Pertemuan di Kafe – “Tiga Perspektif, Satu Meja”
Seni Kerajinan dalam Teori Budaya Konsumerisme. Di sudut lantai dua sebuah mal di Jakarta Selatan, tersembunyi sebuah kafe yang tampak seperti persilangan antara rumah adat Minang dan studio desain Skandinavia. Lampu gantung dari rotan menggantung berdampingan dengan speaker Bluetooth, sementara kursi rotan berwarna pastel berjejer di samping mural besar bertuliskan: “Support Local, Sip Global.”
Rafi Pradipta datang lebih dulu, mengenakan jaket denim belel yang penuh pin dan tambalan motif kain tenun.
Ia memilih meja di dekat jendela, menyilangkan kaki sambil membolak-balik sketchbook.
Sesekali matanya mengamati interior kafe sambil mengernyit. Ia sudah siap menilai—bukan hanya kopi, tapi juga cara tempat ini menjual estetika “tradisional” dengan kemasan modern.
Nadira datang beberapa menit kemudian, tersengal-sengal membawa tote bag besar yang entah mengapa terlihat lebih berat dari badannya sendiri.
“Maaf telat! Ojek online-nya tadi malah ngajak diskusi soal saham,” katanya sambil duduk. “Kafenya estetik banget ya, nuansa tradisional tapi… entah ya, agak terasa plastik?”
baca Juga: Teori Ekonomi Simbolik: Tantangan, Peluang, dan Perspektif Kritis
Rafi tertawa. “Estetik rasa instan.”
Beberapa saat kemudian,
Dr. Suryo muncul dengan tenang, mengenakan batik lengan panjang dan membawa tas kulit usang. Ia tersenyum ramah, lalu duduk sambil menatap sekeliling.
“Saya rasa ini contoh sempurna dari konsumerisme budaya: simbol terlepas dari makna,” ucapnya sambil menunjuk patung wayang yang jadi penyangga buku menu.
Rafi menyeringai. “Budaya kemasan, Pak. Lebih banyak bumbu MSG daripada bumbunya sendiri.”
Nadira menahan tawa. “Jadi kerajinan tradisional sekarang bukan buat kenali, tapi buat di foto, ya?”
“Tepat,” kata Dr. Suryo. “Simbolnya masih ada, tapi narasinya hilang. Kita pakai identitas, tapi hanya di permukaan.”
Seorang barista datang menyodorkan menu, menyela percakapan mereka sejenak. “Ini menu kami, Mbak, Mas, dan Bapak. Kami punya latte rasa klepon dan matcha tape ketan, signature banget!”
Rafi memandang menu itu sejenak. “Ini lagi. Nama-nama minuman kayak proyek kebudayaan experimental.”
“Eh, tapi aku pengin coba deh yang latte klepon,” ujar Nadira sambil terkikik. “Minimal, budaya bisa diminum kalau nggak bisa dimengerti.”
Dr. Suryo tertawa kecil
“Kadang, humor adalah cara terbaik untuk menghadapi ironi.”
Mereka bertiga akhirnya memesan, lalu kembali larut dalam suasana kafe yang makin ramai. Tapi di tengah keramaian itu, di meja pojok yang mereka duduki, percakapan yang akan menyentuh lapisan-lapisan terdalam identitas, produksi, dan resistensi pun mulai terbentuk.
“Aku beneran penasaran,” kata Nadira, mulai serius, “apa kita masih bisa menyebut sesuatu sebagai ‘kerajinan tangan’ kalau itu udah masuk rak display di toko oleh-oleh bandara?”
“Ah, pertanyaan yang bagus untuk diskusi sore ini,” jawab Dr. Suryo dengan senyum penuh makna.
Rafi memutar pensil di jarinya. “Satu hal yang pasti: yang kita anggap tradisi, sekarang bisa pesan online. Lengkap dengan diskon 30%.”
Mereka bertiga saling pandang, dan untuk sesaat, waktu terasa melambat. Di tengah aroma kopi dan musik latar yang samar, mulailah sebuah diskusi yang akan mengupas lebih dari sekadar bentuk luar budaya—mereka akan masuk ke jantungnya.
Dan semuanya bermula dari kopi rasa klepon dan dekorasi yang terasa “plastik.”
Identitas dalam Konsumsi – “Apa yang Kita Beli, Siapa Kita?”
Seni Kerajinan dalam Teori Budaya Konsumerisme. Satu tegukan latte klepon membuat Nadira mengerutkan alis, “Hmm… rasanya kayak gula merah di seduh pakai susu formula.”
Rafi tertawa sambil menyesap espresso-nya yang pahit. “Tapi tetep di beli, kan? Konsumen sejati nggak pernah takut eksperimen.”
Dr. Suryo meletakkan cangkir tehnya perlahan. “Menarik, ya. Bahkan cita rasa pun kini jadi bagian dari identitas. Lihat saja—minum kopi bukan lagi soal butuh kafein, tapi tentang siapa dirimu di mata orang lain.”
Nadira menoleh, penasaran. “Maksudnya, kayak lifestyle?”
“Lebih dalam lagi,” jawab Dr. Suryo. “Kita hidup di zaman di mana barang bukan cuma di pakai, tapi di pamerkan. Termasuk budaya. Ada istilah dalam teori konsumsi—conspicuous consumption—mengonsumsi untuk menunjukkan status.”
Rafi mengangguk, membuka lembaran sketsanya.
“Aku pernah bikin proyek visual, namanya ‘The Branded Identity’. Aku gambar orang pakai pakaian tradisional, tapi penuh logo—ada batik dengan pattern Louis Vuitton, ada selendang tenun motif Adidas.”
“Wow. Konsep yang nyeleneh, tapi jleb banget,” gumam Nadira. “Kayak… budaya kita terseret masuk etalase brand.”
Dr. Suryo tersenyum. “Bukan hanya terseret, tapi sering kali kita sendiri yang dorong. Supaya budaya itu relevan, kita ‘jual’ dia.”
“Kadang aku mikir,” kata Rafi sambil menggambar di udara, “apa jangan-jangan identitas sekarang tuh bukan di bentuk dari mana kita berasal, tapi dari apa yang kita beli?”
Nadira menimpali, “Atau apa yang kita pajang di Instagram.”
Semua tertawa.
Mereka mulai menggali lebih dalam. Nadira berbagi pengamatannya saat magang di marketplace lokal. Ia melihat bagaimana produk kerajinan sering terjual tanpa konteks, hanya sebagai ‘unik’ atau ‘Instagrammable’. “Motif Sumba jadi pouch, di kasih nama ‘Tribal Chic’. Padahal, motif itu cerita tentang leluhur. Tapi orang beli cuma karena lucu.”
Dr. Suryo mengangguk pelan. “Ini contoh paling nyata dari cultural appropriation yang terbungkus sebagai aesthetic consumption. Simbol di serap, tapi makna di abaikan.”
“Aku pernah nemu quote,” ujar Rafi sambil membuka catatan di ponselnya. “‘Orang barat mencuri budaya kita, orang lokal menjualnya. Tapi siapa yang menjaga ceritanya?’”
“Bagus itu,” kata Dr. Suryo. “Dan kita di sini, sedang berupaya jadi bagian dari penjaganya.”
Sesaat, suasana meja menjadi tenang. Bukan karena kekurangan kata, tapi karena semuanya larut dalam kesadaran baru—tentang bagaimana konsumsi bisa menjadi medan pertarungan identitas.
Nadira kemudian tertawa kecil, memecah keheningan. “Eh, tapi aku tetap akan habisin latte klepon ini sih. Walau rasanya kayak nostalgia yang salah paham.”
“Tetap konsisten sebagai bagian dari konsumerisme,” goda Rafi.
“Kita semua bagian dari sistem, Nak,” sahut Dr. Suryo dengan nada bijak. “Tapi kita bisa memilih: ikut arus tanpa sadar, atau sadar lalu berenang lebih dalam.”
Dan di situlah, diskusi baru benar-benar dimulai. Mereka tidak lagi hanya membicarakan benda—mereka sedang mengurai benang kusut antara identitas, sejarah, dan keinginan untuk dimengerti.
Produksi dan Komodifikasi – “Saat Budaya Dijual”
Seni Kerajinan dalam Teori Budaya Konsumerisme. “Jadi,” kata Nadira sambil mencondongkan tubuh ke meja, “kalau kerajinan masuk ke pasar massal, itu artinya dia kehilangan ‘jiwa’-nya?”
Dr. Suryo mengaduk tehnya perlahan, seperti sedang mencari jawaban dalam pusaran air. “Tak selalu. Tapi begitu sebuah benda dibuat untuk memenuhi pasar, bukan untuk memenuhi makna, maka ada yang bergeser.”
Rafi menyilangkan tangan di dada. “Kayak batik print itu, ya? Motifnya dari Solo, cetaknya di pabrik, bahannya dari China. Tapi dijual sebagai ‘Batik Asli Indonesia’. Ironi level dewa.”
Nadira terkekeh. “Dewa marketing, maksudnya.”
“Justru itu,” timpal Dr. Suryo. “Prosesnya menjadi kehilangan nilai kerajinan—karena tangan digantikan mesin, dan cerita digantikan label.”
Rafi menyambar, “Dan labelnya suka lebay. ‘Produk lokal berkearifan budaya’, padahal dijual sama reseller yang nggak tahu bedanya ulos dan lurik.”
“Aku pernah,” kata Nadira, “lihat dompet anyaman dijual di toko bandara. Harganya Rp350.000, katanya dari pengrajin daerah. Tapi pas aku tanya stafnya, mereka nggak tahu itu buatan siapa. Jadi… budaya dijual tanpa produsen yang terlihat.”
“Persis,” angguk Dr. Suryo serius. “Itulah commodification of culture—ketika budaya dikemas menjadi produk untuk memenuhi permintaan, tapi relasi manusia dan maknanya hilang.”
Rafi mengangkat alis.
“Tapi, Pak, saya juga mikir… gimana kalau memang itu satu-satunya cara budaya bisa bertahan? Kan nggak semua orang mau belajar filosofi motif. Kalau dijual, setidaknya masih hidup, kan?”
Pertanyaan itu membuat semua terdiam sebentar.
Dr. Suryo tersenyum samar. “Itu dilema yang saya pikirkan sejak saya pertama kali terjun ke lapangan. Apakah pelestarian budaya harus tunduk pada pasar agar bisa bertahan? Atau justru pasar yang harus kita bentuk agar bisa menghargai budaya?”
Nadira, yang sedari tadi mencatat di buku kecilnya, mengangkat tangan seperti anak sekolah. “Pak, saya ada ide gila.”
Rafi mengangkat alis. “Wah, ini pasti menarik.”
“Gimana kalau kita bikin dua versi produk kerajinan? Satu versi untuk pasar umum, yang affordable dan simpel. Satunya lagi versi ‘makna penuh’, yang bisa dijual dengan storytelling lengkap, bahkan dengan QR code yang ngarah ke video si pengrajin. Biar orang tahu siapa yang bikin.”
Dr. Suryo bersinar matanya. “Sekarang kamu bicara tentang value layering. Memisahkan nilai material dari nilai simbolik. Bagus, Nadira!”
Rafi menambahkan, “Dan versi storytelling-nya bisa kita desain interaktif. Bisa jadi pameran digital. Biar makin terasa ‘hidup’.”
“Dan adain pameran keliling ke kampus-kampus!” seru Nadira.
“Dan… kita cetak mug bertuliskan ‘Saya Tidak Membeli Budaya, Saya Menghargainya’,” celetuk Rafi.
Mereka tertawa bersamaan.
Di tengah obrolan itu, pelayan datang lagi membawa tagihan. Tertulis di bawah logo kafe: “Harga belum termasuk pajak dan service.”
Rafi menunjuk tulisan itu. “Nah, ini juga. Budaya udah termasuk harga, tapi belum tentu termasuk makna.”
Dr. Suryo terkekeh. “Kalimat yang pantas masuk jurnal ilmiah sekaligus caption Instagram.”
Mereka terdiam sejenak, tidak karena kehilangan kata, tapi karena tahu: diskusi ini makin dalam. Dan seperti kerajinan itu sendiri, makna sesungguhnya justru ada pada detail-detail kecil—yang sering kali luput saat kita hanya melihat dari etalase.
Resistensi Melalui Kerajinan – “Simbol yang Melawan”
Seni Kerajinan dalam Teori Budaya Konsumerisme. Langit Jakarta mulai merona jingga di balik kaca jendela. Sinar matahari sore menyusup lewat kisi-kisi kayu jati yang sengaja didesain menyerupai jendela rumah adat.
Tapi bagi Rafi, semua ornamen itu terasa seperti aktor yang sedang memainkan peran—cantik, tapi tak punya naskah.
“Aku kadang pengin teriak,” katanya tiba-tiba. “Lihat batik dijadikan wallpaper kafe, terus orang bilang itu ‘keren dan Instagrammable’. Padahal itu motif Kawung, simbol tentang pengendalian diri dan kekuasaan spiritual.”
Nadira meliriknya.
“Terus kamu ngapain, Fi? Teriak beneran?”
“Enggak. Aku bikin topeng.”
Dr. Suryo mengangkat alis. “Topeng?”
“Topeng dari sisa anyaman bambu. Tapi mukanya dipenuhi harga—ada stiker harga 9.900, barcode, diskon 50%. Aku tempel semua. Aku sebut: Wajah Konsumen.”
Nadira terdiam, antara kagum dan bingung. “Kamu serius?”
“Sangat. Aku pernah pamerin itu di event kampus. Ada yang selfie di depan topengnya, terus nulis caption: ‘keren banget, vibes-nya lokal pride’. Ironi maksimal.”
Dr. Suryo tertawa pelan, “Itulah resistensi pasif—kita menyodorkan cermin, tapi yang terlihat tetap bayangan ilusi.”
Nadira mengangguk pelan. “Aku jadi mikir… mungkin kerajinan itu bukan cuma produk, tapi medium untuk ‘mengatakan sesuatu’. Bahkan untuk melawan.”
“Betul,” kata Dr. Suryo. “Di beberapa daerah, para pengrajin kini mulai menolak permintaan modifikasi motif yang tidak sesuai nilai asli. Itu bentuk resistensi.”
Rafi menimpali, “Kalo di seni rupa, itu disebut symbolic subversion—membalik simbol agar menggugat sistem. Kayak waktu aku bikin lukisan motif ikat tapi warnanya neon, terus aku taruh tulisan ‘TERJUAL’ besar-besar. Banyak yang tersinggung.”
Nadira tertawa.
“Ya pantes sih. Simbol budaya kita ‘dijual’ dua kali. Sekali sama industri, sekali sama kamu.”
“Tapi di situlah letak kritiknya,” kata Rafi, matanya bersinar. “Aku nggak mau budaya kita hanya jadi properti dekoratif. Aku pengin dia bicara, bahkan berteriak.”
Dr. Suryo mengangguk perlahan. “Dan itu tugas generasi kalian—menghidupkan simbol, bukan hanya mengaguminya.”
“Pak, kalau kami bikin proyek kerajinan yang isinya kritik sosial gitu, para pengrajin lokal kira-kira akan terbuka nggak ya?” tanya Nadira.
“Bisa. Tapi kamu harus membangun kepercayaan. Ingat, resistensi bukan cuma soal menolak, tapi juga soal memilih jalan sendiri. Termasuk jalan untuk dipahami.”
Sesaat kemudian, pelayan datang mengisi ulang air minum.
“Terima kasih, Mas,” kata Nadira.
“Terima kasih, Budaya,” celetuk Rafi, membuat semua tertawa.
Sore makin merambat senja. Di luar, lampu-lampu mal mulai menyala, menggantikan cahaya alami yang memudar. Tapi di meja itu, diskusi belum padam—malah semakin menyala.
Dari obrolan ringan soal latte rasa klepon, kini mereka sedang membicarakan perlawanan melalui seni. Dan yang lebih penting: mereka mulai sadar bahwa resistensi bisa datang bukan hanya dari kemarahan, tapi juga dari kreativitas.
“Jadi, proyek kolaboratif?” tanya Rafi.
“Kenapa tidak?” jawab Nadira, semangat.
Dr. Suryo tersenyum lebar. “Saya kira, inilah saatnya budaya tidak hanya dikenang, tapi digunakan—untuk bicara, untuk menggugat, dan untuk menyembuhkan.”
“Membeli atau Memahami?”
Seni Kerajinan dalam Teori Budaya Konsumerisme. Langit malam Jakarta mulai menelan warna jingga, digantikan kelap-kelip lampu dari papan iklan dan mobil-mobil yang mengular. Di dalam kafe, cahaya lampu rotan meredup pelan, membuat suasana makin intim.
Satu per satu pengunjung mulai pulang, tapi di sudut jendela, tiga orang masih bertahan, seperti enggan melepaskan percakapan yang menggugah pikiran sekaligus hati.
Rafi melipat sketchbook-nya, lalu bersandar. “Sumpah, aku ngerasa sore ini kayak kuliah tamu versi santai. Tapi isinya… melebihi seminar nasional.”
“Dan lebih banyak tawa,” tambah Nadira sambil meregangkan tangan. “Biasanya diskusi soal budaya bikin ngantuk. Ini malah bikin pengen lanjut sampai subuh.”
Dr. Suryo tersenyum, lalu membereskan tas kulitnya yang mulai lusuh. “Itu karena kalian tidak hanya belajar. Kalian mengalami. Itulah yang sering hilang dalam diskusi—rasa.”
Pelayan datang membawa tagihan. Nadira langsung menyambar dan membaca cepat.
“Waduh… harga kopi rasa klepon ini bisa buat beli satu keranjang ketan di pasar,” gumamnya.
Rafi menengok.
“Atau beli satu kain tenun ukuran kecil… yang dikerjakan tangan selama seminggu.”
Diam sejenak. Kali ini bukan karena kehabisan bahan, tapi karena kesadaran datang tiba-tiba: kenapa budaya yang dikerjakan dengan cinta bisa kalah nilainya dari secangkir kopi bertema nostalgia palsu?
Nadira lalu berkata pelan, “Kadang aku mikir… kita lebih sering beli budaya daripada memahami.”
“Karena memahami butuh waktu,” jawab Dr. Suryo, “sementara membeli cuma butuh saldo.”
Rafi bangkit dari kursinya, lalu berkata dengan gaya dramatis, “Maka dari itu, teman-teman… mari kita tolak budaya satu klik! Mari kita hidupkan budaya satu pelukan—kepada cerita, kepada proses, kepada para pembuatnya!”
Nadira bertepuk tangan kecil. “Wah, Pak Suryo, kayaknya bisa direkrut jadi juru bicara revolusi seni, nih.”
Dr. Suryo tertawa. “Saya pensiun dari revolusi. Sekarang saya hanya bantu agar kalian yang memimpin.”
Ketiganya berjalan ke luar kafe, menembus riuh mall yang kontras dengan kedalaman diskusi mereka. Di sekitar, orang-orang berlalu-lalang dengan tas belanja, sepatu trendi, dan pose untuk konten media sosial.
Tapi di tengah arus konsumsi itu, ada tiga sosok yang membawa oleh-oleh berbeda: ide.
Sebelum berpisah, Nadira berkata, “Aku janji bakal bikin riset serius soal ini. Aku pengen mulai dari para pengrajin kecil di pinggiran kota.”
“Aku bakal olah semua ini jadi karya visual,” timpal Rafi. “Topeng, lukisan, mural. Budaya harus bicara, walau lewat cat semprot.”
Dr. Suryo menepuk bahu mereka dengan hangat. “Jangan hanya jadi pembeli budaya. Jadilah penjaga dan perakit ulangnya.”
Mereka pun berpisah di pelataran mall, di bawah cahaya lampu dan semilir angin malam. Bukan dengan pamit yang klise, tapi dengan semangat yang menyala—seperti bara kecil yang baru saja ditiup kehidupan.
Karena terkadang, yang paling bernilai dari sebuah pertemuan bukanlah apa yang dibawa pulang, tapi apa yang tumbuh di dalam.
SEKIAN