
Anak Perempuan di Dermaga
Surat Dari Bulukumba. Perempuan Pengrajin Perahu PhinisiSaya tiba di Bulukumba pada pagi yang cerah, dengan sisa embun masih menempel malu-malu di kaca jendela penginapan. Kota ini punya aroma asin yang tak bisa di hindari—udara laut yang bercampur debu kayu dan sedikit suara ombak dari kejauhan. Orang-orang di sini menyapa dengan senyum dan tangan yang tak pernah diam bekerja. Kayu-kayu besar berjejer di sepanjang galangan, menunggu di ubah jadi perahu pinisi yang gagah dan elok.
Saya datang bukan sebagai pelancong, tapi sebagai penulis yang mencari cerita—dan percaya, setiap bunyi pahat dan guratan luka di tangan tukang kayu adalah bagian dari kisah yang patut di tulis. Tapi seperti biasa, cerita terbaik sering datang dari arah yang tidak saya duga.
Di antara para lelaki dewasa, dengan lengan kekar dan suara keras, ada satu sosok yang tak sesuai dengan pemandangan itu: seorang gadis remaja, dengan rambut terkuncir asal-asalan dan celana kerja yang kebesaran beberapa nomor. Ia sedang memanggul papan kayu bersama dua pria dewasa, dan tidak terlihat kalah sigap sedikit pun.
Namanya Ria. Usianya tujuh belas. Kata mandor bengkel, ia anak magang yang suka ngotot, kerja lebih cepat dari kebanyakan, dan sering mengkritik hasil kerja orang lain. “Cuma dia yang berani nyuruh saya ngulang ngeraut papan,” kata salah satu tukang kayu sambil tertawa.
Saya mendekatinya ketika ia sedang istirahat, duduk di atas kayu gelondongan sambil mengunyah biskuit yang sudah remuk. Ia melihat saya sekilas, lalu kembali fokus ke camilannya.
“Namamu siapa?” saya tanya.
“Ria,” jawabnya singkat.
“Saya Bas—eh, saya penulis. Lagi cari cerita.”
“Ceritain aja pinisi. Orang sini udah biasa di liput,” katanya tanpa menatap saya.
“Tapi kamu kayaknya bukan ‘biasa’. Perempuan, kerja di bengkel, kuat lagi.”
Ia tersenyum tipis, lalu berkata, “Kalau saya bisa bikin perahu, saya juga bisa pulang kapan aja.”
Saya tertawa pelan. Tapi dia tidak.
Ada jeda aneh dalam kalimatnya. Seperti pintu yang di buka sedikit, cukup untuk melihat bayangan di baliknya, tapi belum boleh masuk. Di balik senyumnya yang tipis dan sikapnya yang tampak tak peduli, saya menangkap sesuatu—entah luka, entah rindu, atau mungkin, keduanya.
Kami berbincang seadanya sore itu. Tentang pekerjaan, tentang kayu, tentang perahu. Tapi bukan itu yang saya ingat paling kuat. Yang melekat justru caranya memandangi laut—lama, diam, dan penuh tanya.
Surat Dari Bulukumba. Seperti seseorang yang menunggu sesuatu… atau seseorang.
Baca juga: Teori Postmodernisme Seni Kerajinan: Resistensi Di Era Digital
Surat yang Tidak Pernah Dikirim
Sore kedua saya di Bulukumba di habiskan di dermaga, bersama Ria dan dua gelas es kelapa muda. Salah satunya tetap utuh, es-nya sudah mulai mencair, sementara Ria sibuk menggambar sesuatu di permukaan kayu bekas dengan ujung paku berkarat.
Ia bukan tipe yang suka bicara banyak. Tapi kadang, orang seperti itu hanya perlu ruang yang cukup tenang untuk mulai membuka pintu.
“Mau lihat sesuatu, Om?” katanya pelan, nyaris tak terdengar di tengah suara ombak dan ketukan palu dari kejauhan.
Saya mengangguk.
Dari dalam kantong kecil yang tergantung di pinggangnya, ia mengeluarkan selembar kertas yang di lipat berkali-kali. Kertas itu sudah kusam, agak lecek, dan ada bekas tinta yang seperti pernah tergenang air. Ia menyerahkannya dengan dua tangan, seperti sesuatu yang sakral.
“Itu surat. Saya tulis waktu kelas dua SMP. Buat Ibu,” katanya, masih menatap laut. “Tapi gak pernah saya kirim.”
Saya membuka lipatannya dengan hati-hati. Kertas itu penuh tulisan tangan kecil, rapi tapi tergesa, dengan coretan di sana-sini. Surat itu di tulis dengan suara seorang anak yang mencoba terdengar biasa, padahal sedang menahan gemuruh.
Ibu, apa di sana dingin? Di sini panas terus. Saya sudah bisa masak nasi, walau kadang gosong. Bu, saya ambil baju kamu yang warna biru. Yang ada bunga kecil di lengan. Boleh kan? Rasanya kaya kamu ada di rumah.
Ibu, saya masih hafal suara kamu. Tapi takut lama-lama lupa. Bisa gak kirim rekaman suara? Atau apalah. Saya kangen. Kangen yang susah jelasin pake kata-kata.
Saya berhenti membaca. Tenggorokan saya tercekat. Ria masih menatap jauh, pura-pura tidak peduli.
“Kenapa gak dikirim?” saya tanya perlahan.
“Gak tahu alamatnya. Terakhir katanya di Johor, tapi terus pindah-pindah. HP-nya mati. Terus orang-orang mulai ngomong yang enggak-enggak. Saya takut…”
“Takut apa?”
Ia diam cukup lama sebelum menjawab, “Takut surat ini sampai… tapi gak dijawab. Takut ternyata benar dia lupa. Atau… udah gak mau inget.”
Saya menatap surat itu lagi. Tinta yang memudar, lipatan yang nyaris robek di ujung, kalimat-kalimat jujur yang ditulis dengan rindu anak-anak—semuanya seperti sisa dari percakapan yang tak pernah terjadi.
Saya menghela napas. “Tapi kalau gak pernah dikirim, kamu gak akan pernah tahu jawabannya, kan?”
Ia mengangkat bahu. “Mungkin saya gak butuh jawabannya. Cuma pengin percaya kalau dia masih inget. Gitu aja.”
Sore itu, matahari tenggelam pelan, menumpahkan warna oranye ke laut yang tenang. Surat itu tetap di tangan saya, hangat, seolah masih menyimpan jejak jemari kecil yang menulisnya dengan harapan dan sedikit takut.
Dan saya mulai paham—ada rindu yang tak mencari pelukan. Ia hanya ingin tempat untuk hidup, meski dalam sunyi.
Malam Panjang Menjelang Lebaran
Lebaran tinggal tiga hari lagi. Bulukumba mulai dipenuhi suara takbir dari masjid-masjid kecil, anak-anak menyalakan petasan di pinggir jalan, dan warung-warung memasang lampu hias seadanya. Ada semacam keramaian yang tumbuh dari rasa rindu: rindu akan rumah, akan pelukan, akan masa lalu yang ingin dipeluk ulang walau cuma sebentar.
Saya masih rutin mampir ke bengkel kayu, tapi bukan lagi untuk melihat perahu, melainkan untuk berbincang dengan Ria—yang kini lebih sering duduk diam sambil memandangi ponsel mati di tangannya. Ia sudah mencoba mengisi daya, tapi baterainya rusak. Katanya, “Mungkin HP-nya ikut menyerah kaya saya.”
Saya tidak bisa tinggal diam. Ada dorongan dari dalam dada, bukan sebagai penulis, tapi sebagai manusia yang tahu rasanya menunggu sesuatu yang tak pasti. Malam itu, saya menawarkan satu hal kecil.
“Kalau kamu mau, suratmu bisa saya kirimkan lewat email. Siapa tahu… dia masih buka,” saya berkata hati-hati.
“Email? Saya gak tahu alamatnya.”
“Coba kita cari. Kadang yang kita anggap hilang cuma sedang menunggu ditemukan.”
Butuh waktu satu jam untuk mengorek ingatan Ria tentang nama lengkap ibunya, nama panggilan yang biasa dipakai, bahkan ejaan lama akun Facebook-nya. Dengan sedikit keberuntungan dan bantuan mesin pencari, saya menemukan sebuah alamat email yang terhubung ke akun lama yang fotonya masih sama: seorang perempuan dengan senyum lelah, berdiri di depan kontrakan sempit entah di mana.
Saya ketik ulang isi surat Ria, persis seperti yang ia tulis dulu—tanpa editan, tanpa koreksi. Kalimat yang goyah tetap saya pertahankan. Karena justru di sanalah letak kejujurannya.
Sebelum saya tekan tombol “Kirim”, saya menoleh ke Ria. “Yakin?”
Ia mengangguk pelan. “Kalau memang gak dibaca… setidaknya saya udah nyoba.”
Malam itu, kami duduk di dermaga seperti malam-malam sebelumnya. Angin bertiup lebih kencang, membawa aroma laut dan suara takbir dari kejauhan. Di langit, bulan sabit menggantung malu-malu, seolah ikut menanti sesuatu yang entah datang atau tidak.
Ria menggenggam kelopak bunga kamboja yang ia petik dari halaman sekolah. Katanya, “Kalau dia beneran pulang, saya mau kasih ini. Biar tahu, saya nungguin. Dari dulu.”
Saya hanya mengangguk. Di usia semuda itu, Ria sudah mengerti satu hal yang butuh waktu seumur hidup bagi sebagian orang: bahwa menunggu itu bukan perkara waktu, tapi tentang seberapa kuat kita bertahan tanpa kehilangan harap.
Dan malam itu, saya mulai berdoa. Bukan doa yang megah, hanya bisikan lirih: semoga ada satu pesan, satu suara, satu tanda kecil… yang bisa membuat Ria percaya bahwa rindu yang dijaga diam-diam, tetap bisa menemukan jalan pulang.
Pesan yang Terlambat
Malam takbir datang dengan segala gegapnya: bedug dari mushola sebelah, anak-anak berlarian sambil menjerit “Lebaraaaan!”, dan langit dipenuhi percikan kembang api seadanya.
Tapi di dermaga itu, kami hanya berdua. Saya dan Ria, duduk di atas papan tua yang sudah mulai lembab. Kami menatap laut yang gelap, seolah berharap ada perahu datang dari kejauhan, membawa seseorang dengan senyum yang ia rindukan selama lima tahun.
Ponsel saya tergeletak di antara kami. Tak ada notifikasi, email masuk. Tak ada tanda bahwa dunia di seberang sana masih terhubung dengan rindu seorang anak yang menunggu.
“Kayaknya gak akan dibaca, ya?” bisik Ria. Suaranya pelan, tapi cukup untuk mengoyak.
Saya tidak menjawab. Kadang, keheningan adalah satu-satunya bahasa yang bisa mengerti kesedihan yang terlalu penuh untuk dijelaskan.
Tapi lalu, ponsel saya bergetar. Sekilas. Satu pesan suara dari nomor tak dikenal. Durasi 27 detik.
Saya dan Ria saling menatap. Ia gemetar. Matanya membesar, seolah tubuhnya belum siap menerima harapan yang terlalu tiba-tiba datang setelah lama ia matikan di dalam diri.
Saya tekan tombol putar.
Suara perempuan. Serak. Berat. Seperti ditarik dari dasar dada yang lelah terlalu lama.
“Maaf, Nak…”
Sunyi.
“Ibu sebenarnya selalu baca suratmu. Tiap ulang tahun kamu, Ibu buka lagi. Tapi… Ibu gak bisa jawab. Karena… Ibu gak tahu harus mulai dari mana.”
Ria menunduk. Nafasnya tertahan. Ia memejam, seolah suara itu bisa ia peluk.
“Kalau kamu denger ini… mungkin Ibu udah gak bisa pulang. Ibu sakit. Udah lama. Dan sekarang udah gak kuat.”
Saya menatap langit. Malam yang tadinya terang terasa tiba-tiba menjadi sempit.
“Maaf, Nak. Maaf karena harus pulang lewat mimpi. Kamu anak hebat. Jangan benci Ibu, ya…”
Klik. Pesan terputus. Tak ada lanjutan. Tak ada kabar lain.
Ria masih diam. Ia tak menangis. Tidak langsung.
Ia hanya membuka lipatan surat yang sudah usang itu, membacanya sekali lagi, lalu memeluknya — seperti memeluk seseorang yang pernah ada, dan kini hanya tinggal di antara kenangan.
Di sekeliling kami, dunia tetap merayakan kemenangan. Tapi di dermaga itu, satu anak perempuan baru saja mengerti bahwa tidak semua yang ditunggu, akan pulang dalam bentuk yang diharapkan.
Dan saya… saya hanya bisa duduk di sampingnya, menulis kalimat ini dalam hati: kadang, rindu tidak ditakdirkan untuk berakhir dengan pelukan. Tapi dengan penerimaan yang diam-diam, dan air mata yang jatuh tanpa suara.
Tak Ada Pelukan di Pelabuhan
Pagi Lebaran di Bulukumba datang dengan segala yang biasa: suara takbir dari masjid besar, aroma opor dari dapur warga, anak-anak mengenakan baju baru dan sandal mengilap, serta ibu-ibu yang sibuk menyiapkan piring meski mata masih setengah mengantuk.
Tapi di pelabuhan, tak ada yang benar-benar merayakan.
Saya datang lebih dulu, duduk di atas palka kayu dengan baju koko kusut dan sandal jepit. Satu jam kemudian, Ria menyusul. Ia mengenakan blouse lama berwarna biru pudar—mungkin milik ibunya—dengan celana jeans dan sepasang sepatu lusuh. Di tangannya, segenggam bunga kamboja yang masih segar.
Kami duduk berdampingan, tapi tidak bicara. Mata kami sama-sama mengarah ke laut, menunggu sesuatu yang kami tahu tak akan datang. Tapi tetap kami tunggu.
Waktu berlalu. Matahari naik perlahan, dan dermaga mulai ramai oleh orang-orang yang akan mudik ke pulau seberang. Tapi tidak ada satu pun perahu yang datang.
Tak ada pelukan. Tak ada wajah yang dicari-cari. Hanya laut yang terus bergerak, dan angin yang tak pernah tinggal.
Ria berdiri, menggenggam bunga itu erat-erat. Lalu ia melangkah ke ujung dermaga. Saya pikir ia akan membuang bunga itu, tapi tidak. Ia menunduk, memeluknya sebentar, lalu meletakkannya pelan di atas papan kayu yang lembab.
“Dia gak datang. Tapi saya tetap nunggu,” katanya pelan. “Karena kadang… kita cuma butuh tahu, bahwa cinta itu pernah jalan ke arah kita. Walau gak sampai.”
Ia berbalik, tersenyum kecil. Senyum yang bukan bahagia, tapi pasrah. Senyum yang mengerti bahwa kehilangan tak selalu berarti kekosongan — kadang justru di sanalah kenangan tinggal.
Saya tak tahu harus berkata apa. Saya hanya mengangguk, dan menatap bunga kamboja itu—yang perlahan diterbangkan angin, jatuh ke air, lalu hanyut entah ke mana.
Penutup
Saya menulis cerita ini malam itu juga, di kamar sempit dengan lampu kuning dan suara takbir yang masih samar-samar terdengar. Saya tidak tahu apakah tulisan ini akan dibaca banyak orang. Tapi saya tahu, kisah seperti Ria bukan milik satu orang saja. Ia milik siapa pun yang pernah menunggu, pernah berharap, dan akhirnya… belajar melepaskan.
Karena dalam hidup, tidak semua pulang berarti kembali. Kadang, pulang adalah tentang menerima. Tentang berdamai. Tentang memeluk yang tak lagi bisa disentuh, tapi tetap bisa dikenang.
Ima
Mantap om bas
athobasomarannu70@gmail.com
nulis cerita menjelang lebaran ji kodong, karena tidak buat burasa wkwkw
Rosmini
Kisahnya sangat menyentuh dan menginspirasi bahwa kerinduan seorang anak tak bisa di ukur begitupun sebaliknya, jika seandainya seorang hamba Allah mampu juga merasakan kerinduan kpd Sang Khaliq nya bisa juga merasakan betapa kerinduan itu bisa mengeluarkan semua Maslaah yg di hadapi, Krn adanya kedekatan batin maka terciptalah kedaian dalam hati, inilah yg m mbedakna cinta kasih dan kerinduan kpd ciptaan dan rasa rindu kpd yg menciptakan jauh berbeda antara langit dan bumi,cinta kpd yg di ciptakan menciptakan kesedihan dan keputusasaan tapi cintavkpd sang pencipta mendatang bahagia dan ketenangan, terimah kasih adik om Ato berkarya dan berkarya terus
athobasomarannu70@gmail.com
terima kasih bu Rosmini, sehat selalu dan tetap semangat, salam untuk keluarga mohon maaf lahir dan batin