
Motif Gurda Batik Larangan adalah jenis motif yang sangat popular pada batik larangan Yogyakarta. Karena selain makna motif secara visual, ada makna sakral yang perlu kita ketahui.
Pada bagian awal, dari artikel ini menuliskan tentang apa itu Gurda, secara gambalang menebutkan bahwa Gurda sama dengan Garuda.
Garuda adalah suatu makhluk khayalan atau mitos, dipercaya sebagai makhluk perkasa, sakti, dan mempunyai bentuk badan manusia, kepalanya seperti burung raksasa dan bersayap
Di balik keanggunan kain batik yang di kenakan para bangsawan Keraton Yogyakarta. Kita dapat menemukan sebuah motif tua yang melintasi zaman
Motif Gurda. sebagai sebuah karya seni baik, motif tersebut bukan sekadar bentuk visual, bukan pula hanya goresan ornamen semata. Melainkan sebuah cerita yang bernarasi kosmologis, tentang status sosial, dan refleksi filosofi dalam kehidupan orang Yogya.
Melalui Artikel bertajuk “Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna Simbolik Motif Gurda pada Batik Larangan Yogyakarta“. Karya Septianti dari Universitas Maarif Hasyim Latif.
Pembaca di ajak untuk menyelami lebih dalam kisah di balik motif yang selama ini menghiasi lembar kain batik larangan, bahkan menjadi popular ketika motif =nya menjadi bagian dari lambang Korpri.
Baca juga : Masa Depan Kriya Indonesia: Saat Teknologi Bertemu Tradisi
Narasi Mitologi Motif Gurda
Saat ini menjadi popular suatu karya seni tradisional yang mengikutsertakan narasi mitos, karena hal ini juga menjdi bagian dari strategi promosi produk tradisional.
Entah itu mitos atau mistis!
Dalam penjabaran naskah artikel Septianti memberikan gambaran bahwa Gurda sebagai representasi dari Garuda. Hewan mitologis dalam budaya Hindu-Jawa, simbol kekuasaan, pelindung, dan menjadi penghubung antara dunia manusia dan dewa.
Namun dalam bentuknya yang tampil di batik larangan Yogyakarta, Seiring dengan perkembangan seni batik secara keseluruhan. Motif Gurda mengalami stilisasi. Ia di modifikasi menjadi visual yang adaptif terhadap estetika batik, tanpa kehilangan jiwanya.
Jadi nggak heran banyak model motif gurda yang secara hakiki hampir mirip satu dengan yang lainnya
Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan estetika, sejarah, dan sosiologi untuk menganalisis Gurda dalam tiga dimensi utama: bentuk, fungsi, dan makna simbolik.
Berawal dari sanalah, pembaca di ajak untuk memahami bahwa motif ini tidak hanya menghiasi kain, melainkan juga merepresentasikan sistem nilai dan struktur sosial masyarakat Jawa.

Batik Larangan dan Kekuasaan
Menurut beberapa tulisan dan sejarah menyebutkan bahwa Motif Gurda tergolong dalam kategori batik larangan, yaitu jenis batik yang secara historis hanya boleh di kenakan oleh kalangan tertentu di lingkungan keraton.
Itulah mengapa jeni motif ini sebagai motif yang ‘mahal’. Moif yang yang hanya orang bangsawan keraton yang sering memakainya.
Motif Gurda, terutama dalam bentuk sawat ageng (dua sayap besar dan ekor terbuka). Menjadi motif yang hanya di peruntukkan bagi raja, permaisuri, dan putra mahkota.
Septianti menuliskan bahwa hal yang menarik, setiap bentuk motif Gurda memiliki tingkatan makna terutama ‘yang layak’ menggunakannya yaitu:
- Motif Sawat: hanya di kenakan oleh Sultan atau penguasa tertinggi.
- Motif Mirong dan Lar: di gunakan oleh pangeran dan bangsawan.
- Semen biasa (tanpa Gurda): di kenakan oleh kerabat jauh seperti Raden Mas.
Jadi, tak hanya sebagai ragam hias, pengguunaan motif Gurda juga menjadi penanda strata sosial. Ia adalah simbol hierarki yang di kenakan di tubuh, yang hanya dapat di kenali oleh mereka yang memahami narasi budaya di balik setiap goresannya.
Gurda Sebagai Kosmologi dan Spiritualitas
Penulis mengupas nilai simbolik Gurda dengan mengaitkannya pada kosmologi Jawa. Dalam sistem ini:
- Motif Gurda (burung) melambangkan dunia atas – spiritualitas, kemuliaan, dan pencerahan.
- Stilisasi Pohon beringin melambangkan dunia tengah – kehidupan manusia yang fana.
- Motif Ular melambangkan dunia bawah yakni melambangkan sebuah lembah penderitaan dan hawa nafsu manusia.
Motif Gurda di batik larangan, khususnya yang di kenakan dalam upacara daur hidup, menjadi bagian dari perlindungan spiritual—semacam perisai simbolik dalam bentuk kain.
Motif yang sangat menarik dan mmberikan kesan sakral ini sering di kenakan dalam momen tradisi Jawa seperti midodareni, peningsetan, hingga pernikahan sebagai bentuk doa visual agar pemakainya senantiasa di beri keselamatan dan kekuatan serta percaya diri.
Dari Sakral ke Komoditas: Evolusi Nilai Gurda
Yang menarik dari artikel ini adalah, pembahasan berkaitan dengan ulasan pergeseran fungsi Gurda dari Motif yang menyimbolkan kesakralan menjadi komoditas industri. Kini.
Jangan heran kalau saat ini Gurda tidak lagi eksklusif di dalam tembok keraton.
Ia bisa di temukan di Pasar Beringharjo, bahkan menjadi motif seragam KORPRI.
Fenomena ini mencerminkan dinamika budaya: ketika nilai-nilai aristokrat bergeser menjadi bagian dari ekspresi masyarakat umum. Ini bukan degradasi. Tapi demokratisasi simbol, selama pemahaman terhadap nilai-nilai aslinya tetap di jaga dan di kenali.
Mengapa Artikel Ini perlu
Artikel ini bukan hanya sekedar hasil penelitian, tapi Sptianti sebagai penulis mampu menuliskan pembacaan budaya yang cermat dan kaya narasi. Ia menyajikan fakta ilmiah dengan pendekatan humanis, sehingga bisa di nikmati oleh pembaca umum, akademisi, maupun pecinta batik.
Septianti tidak hanya menguraikan motif, tapi mampu menyulam pemahaman baru: bahwa batik bukan sekadar busana etnik, tapi tulisan simbolik tentang manusia, kekuasaan, dan hubungan spiritual dengan semesta.
Sayap Gurda, Sayap Kehidupan
Motif Gurda adalah bahasa simbol. Ia menuturkan kisah tentang kekuasaan yang bijak, tentang kehidupan yang bergerak dari bawah menuju atas, dari dunia fana ke dunia spiritual.
Artikl ini berhasil menyuarakan pesan bahwa kekayaan budaya Indonesia terletak bukan hanya pada bentuk visualnya, tapi pada narasi dan makna yang diembannya.
Jika Anda seorang perancang batik, peneliti budaya, atau sekadar penikmat batik, Artikel ini seperti membuka pintu ke dunia yang selama ini tersembunyi di balik motif guratan malam di atas kain.
Judul Artikel:
Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna Simbolik Motif Gurda pada Batik Larangan Yogyakarta Penulis: Septianti – Universitas Maarif Hasyim Latif. Terbit di: Jurnal INVENSI, Volume 5 No. 1, Juni 2020
Pengulas: Baso Marannu (pemerhati seni kerajinan Indonesia) owner pengembang website www.ragamhiasindonesia.id. saat ini sebagai peneliti Ahli Madya pada Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban – BRIN