Kehidupan Gen Z. Media sosial telah menjadi ruang ekspresi sekaligus arena kompetisi simbolik bagi Gen Z.
Beberapa penelitian terkini menunjukkan bahwa intensitas penggunaan media sosial berkorelasi dengan meningkatnya tekanan psikologis. Terutama dalam konteks social comparison (perbandingan diri) yang berdampak pada kreativitas personal (Smith & Anderson, 2023; Rahman, 2022).
Dalam konteks ini, individu muda tidak hanya mengonsumsi konten, tetapi juga terlibat dalam proses menilai dan di bandingkan secara terus-menerus terhadap standar kecantikan, kesuksesan, serta pencapaian sosial yang dikonstruksi secara digital.
Fenomena ini menjadikan ruang kreatif di media sosial sarat dengan ekspektasi eksternal, yang sering kali membatasi kebebasan berekspresi secara autentik.
Tekanan Sosial Media dan Perbandingan Diri
Kehidupan Gen Z. Secara antropologis digital, tekanan tersebut dapat di baca sebagai bentuk “ritual sosial baru” di mana validasi publik menggantikan nilai intrinsik dari proses kreatif itu sendiri.
Ketika ekspresi seni, tulisan, atau ide di kalkulasi berdasarkan potensi “likes” atau “followers”, orientasi kreatif bergeser dari eksplorasi menuju adaptasi terhadap algoritma dan selera publik.
Akibatnya, banyak anak muda yang cenderung menahan diri untuk menampilkan karya yang berbeda atau orisinal karena takut terhadap tanggapan negatif.
Dalam konteks ini, kreativitas Gen Z berhadapan dengan paradoks: mereka hidup di era dengan peluang ekspresi tanpa batas, namun sekaligus terperangkap dalam tekanan performatif yang membatasi kebebasan mereka untuk benar-benar kreatif.
Baca juga : Kreativitas Gen Z: Peran Teknologi dalam Kolaborasi dan Inovasi
Kecemasan akan Masa Depan yang Tidak Pasti
Kehidupan Gen ZDalam lanskap sosial yang semakin kompleks, Gen Z hidup di tengah paradoks antara optimisme terhadap kemajuan teknologi dan kecemasan terhadap masa depan yang penuh ketidakpastian.
Berbagai studi menunjukkan bahwa paparan terhadap isu global seperti perubahan iklim, krisis ekonomi, dan percepatan otomatisasi pekerjaan telah menciptakan gelombang baru dari eco-anxiety dan future anxiety (Clayton & Karazsia, 2020; Pratiwi, 2023).
Fenomena ini memperlihatkan bahwa generasi muda tidak hanya menjadi saksi perubahan besar dunia digital, tetapi juga mengalami tekanan emosional yang lahir dari ketidakpastian arah perkembangan sosial dan ekonomi global.
Dalam konteks ini, kecemasan terhadap masa depan bukan sekadar ketakutan personal, tetapi refleksi dari perubahan struktur sosial yang membentuk persepsi mereka terhadap nilai dan makna kerja kreatif.
Kondisi ini membawa implikasi mendalam bagi proses kreativitas Gen Z. Ketika individu terus-menerus di hadapkan pada narasi krisis baik lingkungan maupun ekonomi ruang batin untuk berimajinasi dan bereksperimen menjadi terbatas.
Menurut pendekatan antropologi digital, pengalaman kecemasan ini membentuk “budaya ketidakpastian” yang menggeser orientasi kreatif dari eksplorasi ke adaptasi (Yusran, 2024).
Banyak anak muda kini memilih jalur yang lebih aman dan pragmatis dalam berkreasi, menghindari risiko ide yang di anggap tidak realistis di tengah dunia yang rapuh.
Pada akhirnya, meskipun teknologi membuka peluang luas untuk inovasi, rasa cemas terhadap masa depan sering kali menjadi bayangan psikologis yang menahan generasi ini untuk benar-benar mengekspresikan potensi kreatifnya secara bebas dan mendalam.
Pengukuran Prestasi Berbasis Sosial Media
Dalam ekosistem digital yang semakin terpusat pada algoritma dan metrik popularitas, Gen Z menghadapi realitas baru di mana prestasi kreatif sering kali diukur melalui angka—mulai dari jumlah likes, views, hingga followers.
Studi terkini menunjukkan bahwa fenomena ini di kenal sebagai bentuk gamifikasi sosial, yaitu ketika interaksi digital di reduksi menjadi sistem penghargaan berbasis angka yang membentuk perilaku kompetitif (Chou, 2021; Nurbaya, 2023).
Dalam konteks budaya digital Indonesia, praktik ini tidak hanya mengubah cara individu menilai keberhasilan, tetapi juga membentuk orientasi nilai terhadap kreativitas itu sendiri.
Ketika penghargaan eksternal menjadi tolok ukur utama, ekspresi kreatif berisiko kehilangan makna intrinsiknya sebagai wujud refleksi, imajinasi, dan kebebasan diri.
Lebih jauh, tekanan untuk menjadi “terlihat” di ruang digital menimbulkan konsekuensi psikologis yang signifikan bagi pelaku kreatif muda.
Berdasarkan kajian antropologi digital, fenomena ini membentuk apa yang di sebut sebagai “ekonomi perhatian”, di mana individu bersaing untuk memperoleh pengakuan melalui konten yang menarik algoritma (Fuchs, 2020).
Dalam situasi ini, Gen Z sering kali terdorong untuk menciptakan karya yang aman dan mudah di terima publik demi menjaga relevansi sosialnya. Hal tersebut menyebabkan munculnya kecenderungan homogenitas ide dan penurunan eksplorasi terhadap bentuk-bentuk kreativitas yang lebih eksperimental.
Dengan demikian, meskipun media sosial memberikan ruang bagi demokratisasi ekspresi, ia juga menjadi arena di mana kreativitas dikomodifikasi, dan nilai autentisitas sering kali tersingkir oleh logika popularitas.
Teknologi AI dan Penggantian Pekerjaan
Kemajuan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah membawa optimisme besar terhadap efisiensi dan inovasi. Namun pada saat yang sama menimbulkan kecemasan baru di kalangan Gen Z.
Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa kekhawatiran terhadap otomatisasi dan penggantian peran manusia oleh mesin. Telah meningkat secara signifikan dalam satu dekade terakhir (Frey & Osborne, 2017; Pranata, 2024).
Dalam konteks ini, teknologi bukan hanya di lihat sebagai alat bantu produktivitas. Tetapi juga sebagai ancaman simbolik terhadap nilai dan makna kerja manusia.
Fenomena ini berdampak pada dinamika psikologis generasi muda yang tumbuh dalam dunia kerja yang tidak lagi menawarkan kepastian. Melainkan kompetisi antara manusia dan algoritma.
Akibatnya, meskipun mereka mengakui potensi AI dalam mempercepat proses kreatif, sebagian Gen Z justru mengembangkan sikap ambivalen terhadap teknologi tersebut.
Dari perspektif antropologi digital, kecemasan terhadap penggantian pekerjaan ini tidak hanya terkait aspek ekonomi. Tetapi juga menyentuh dimensi eksistensial dan identitas kreatif.
AI yang mampu menulis, menggambar, atau mencipta musik. Menimbulkan pergeseran cara manusia memahami apa yang di sebut “karya” dan “kejeniusan” (Floridi, 2022).
Dalam kondisi demikian, individu muda dapat merasa kehilangan ruang untuk menegaskan keunikan ide dan kontribusi personalnya. Kekhawatiran ini sering kali menghambat eksplorasi terhadap bidang kreatif yang dianggap akan dikuasai oleh teknologi. Sehingga potensi inovasi justru tereduksi oleh rasa takut.
Dengan demikian, tantangan terbesar bukanlah keberadaan AI itu sendiri. Melainkan bagaimana membangun kesadaran baru bahwa teknologi seharusnya menjadi mitra kolaboratif dalam memperluas kapasitas manusia untuk berpikir, berimajinasi, dan mencipta.
Terjebak dalam Perbandingan Sosial Media
Kehidupan Gen Z. Fenomena perbandingan sosial di media digital menjadi salah satu tantangan psikososial paling signifikan bagi Gen Z.
Riset dalam bidang psikologi digital menunjukkan bahwa praktik social comparison di platform seperti Instagram, TikTok, dan X (Twitter) dapat menurunkan kepercayaan diri serta menghambat ekspresi kreatif individu (Vogel et al., 2020; Putri, 2023).
Dalam konteks budaya digital Indonesia. Perbandingan ini sering kali hadir dalam bentuk simbolik mulai dari estetika visual, pencapaian karier. Hingga gaya hidup yang di konstruksi secara ideal di ruang maya. Akibatnya, banyak anak muda yang secara tidak sadar menilai dirinya melalui standar visual dan sosial yang di bentuk algoritma.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa media sosial tidak lagi sekadar ruang berbagi. Tetapi telah menjadi arena validasi identitas, di mana rasa berharga seseorang sering kali di tentukan oleh tingkat keterlihatannya secara digital.
Dari sudut pandang antropologi digital. Kondisi “terjebak dalam perbandingan” ini membentuk budaya baru yang di sebut sebagai culture of performativity. Yakni ketika ekspresi diri di kendalikan oleh persepsi publik.
Tekanan untuk di terima dan diakui menyebabkan individu lebih memilih aman dan mengikuti arus tren. Ketimbang mengeksplorasi ide-ide yang orisinal dan berisiko. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melahirkan homogenitas kreatif dan menurunkan keberanian untuk berinovasi.
Namun, di sisi lain, kesadaran terhadap dinamika ini juga membuka ruang refleksi baru. Bahwa nilai sejati dari kreativitas tidak bergantung pada “likes” atau “views”. Melainkan pada kemampuan individu untuk menciptakan makna personal dalam karya yang di hasilkannya.
Dengan demikian, pembebasan diri dari siklus perbandingan sosial bukan hanya langkah psikologis. Tetapi juga tindakan kultural yang menegaskan kembali esensi kemanusiaan di tengah arus digitalisasi yang serba kompetitif.
Pengulas: Baso Marannu, pengembang website RAHASIA (https://ragamhiasindonesia.id ) pemerhati kreativitas seni rupa kontemporer, aktivitas sebagai peneliti pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)